Di sebuah desa kecil di tepi pantai, hiduplah seorang gadis bernama Syafa. Sehari-harinya, Syafa bekerja sebagai nelayan, menghabiskan waktu di laut dan mengumpulkan ikan bersama ayahnya. Kehidupan di desa ini sederhana, namun selalu penuh kehangatan dari kebersamaan warganya. Namun, ada satu hal yang membuat Syafa berbeda dari yang lain, yaitu kegemarannya menghabiskan waktu di ujung pantai. Pantai itu disebut masyarakat setempat dengan sebutan Pantai Seruni kependekan dari "Syafa Termenung Sendiri", itu adalah gelar pantai tersebut karena seringnya Syafa termenung di pantai itu. menanti sesuatu yang tak seorang pun tahu.
Setiap sore, Syafa akan duduk di sebuah batu besar di ujung pantai, menatap laut yang luas sambil menunggu. Ayahnya, Pak Darma, sering menemaninya sesaat sebelum kembali ke rumah. "Apa yang kau tunggu, Syafa?" tanya ayahnya suatu sore. "Aku menunggu sesuatu yang akan datang dari laut, Ayah," jawab Syafa sambil tersenyum, namun tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
Sebenarnya, Syafa menunggu seseorang, seorang teman masa kecil yang pernah berjanji akan kembali suatu hari. Namanya adalah Arka, anak dari seorang pelaut yang sering berlayar jauh. Sebelum Arka pergi bersama ayahnya, mereka sering bermain di pantai, membangun istana pasir, dan bermimpi tentang petualangan besar di laut lepas.
"Suatu hari nanti, aku akan kembali, Syafa. Kita akan berlayar bersama dan menjelajahi dunia," kata Arka sebelum perahu mereka berangkat. Syafa menggenggam erat janji itu dan percaya bahwa Arka pasti akan kembali.
Tahun demi tahun berlalu, Syafa tetap setia menunggu. Setiap kali perahu datang dan pergi, hatinya selalu dipenuhi harap dan kecemasan. Namun, tak ada kabar dari Arka. Meskipun begitu, semangatnya tak pernah pudar.
Suatu hari, ketika Syafa sedang duduk di batu besar seperti biasa, dia melihat sebuah perahu mendekat. Perahu itu terlihat tua dan usang, namun ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Jantungnya berdebar-debar saat melihat seorang pria melambaikan tangan dari kejauhan. Syafa berdiri dan mengerjapkan mata, memastikan bahwa yang dilihatnya bukanlah khayalan.
Ketika perahu itu akhirnya mendarat, pria itu turun dengan terburu-buru dan berjalan ke arah Syafa. "Syafa?" panggilnya. Suara itu, meskipun lebih berat dan matang, masih terasa familiar. Syafa menahan napas. "Arka?" tanyanya ragu-ragu.
Pria itu tersenyum lebar. "Ya, ini aku, Syafa. Aku kembali," katanya. Air mata kebahagiaan mengalir di wajah Syafa. Mereka berpelukan erat, seolah ingin menebus tahun-tahun yang hilang.
"Maaf, aku butuh waktu lama untuk kembali," kata Arka dengan nada penuh penyesalan. "Banyak hal yang terjadi di perjalanan kami, dan aku tidak bisa kembali lebih cepat." Syafa menggelengkan kepala. "Yang penting, kau sudah kembali sekarang," katanya dengan suara lembut.
Arka kemudian bercerita tentang petualangannya di laut. Dia telah mengarungi banyak tempat, menghadapi badai besar, dan bertemu dengan berbagai orang. "Namun, di setiap tempat yang aku kunjungi, hatiku selalu tertinggal di sini, di desa kecil ini, bersama kenangan kita," kata Arka.
Syafa mendengarkan dengan penuh perhatian. Meskipun bertahun-tahun telah berlalu, perasaan mereka satu sama lain tidak pernah berubah. "Aku selalu percaya kau akan kembali," kata Syafa. "Dan sekarang kau di sini."
Hari-hari berikutnya, Syafa dan Arka sering menghabiskan waktu bersama. Mereka berbicara tentang masa lalu, merencanakan masa depan, dan menikmati kebersamaan yang telah lama dirindukan. Warga desa pun menyambut Arka dengan hangat, seperti seorang anak yang kembali ke rumah setelah petualangan panjang.
Suatu malam, ketika bulan purnama menerangi langit, Arka membawa Syafa ke ujung pantai. Mereka duduk di atas batu besar yang biasa menjadi tempat Syafa menunggu. "Syafa, ada sesuatu yang ingin kubicarakan," kata Arka sambil menatap laut.
Syafa menoleh ke arah Arka, wajahnya dipenuhi rasa ingin tahu. "Apa itu, Arka?" tanyanya.
Arka menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku ingin menepati janjiku dulu. Aku ingin kita berlayar bersama dan menjelajahi dunia. Tapi sekarang aku menyadari, dunia terindah yang ingin kutemukan sudah ada di sini, bersamamu."
Syafa terdiam, hatinya berdebar-debar. "Arka, kau tidak perlu menepati janji itu. Aku sudah bahagia kau kembali," katanya dengan suara pelan.
Arka mengangguk. "Aku tahu, tapi ada satu janji lagi yang ingin kubuat," katanya sambil menggenggam tangan Syafa. "Syafa, maukah kau menikah denganku dan menjalani sisa hidup kita bersama di sini, di desa ini?"
Air mata kebahagiaan mengalir di wajah Syafa. Dia mengangguk, tidak mampu berkata-kata. Mereka berpelukan erat di bawah sinar bulan, merasakan kehangatan cinta yang telah lama dirindukan.
Waktu berlalu, dan desa kecil itu kini dipenuhi dengan tawa dan kebahagiaan. Syafa dan Arka menikah dalam sebuah upacara sederhana namun penuh makna, dihadiri oleh seluruh warga desa. Mereka membangun rumah kecil di dekat pantai, tempat mereka bisa mendengarkan suara ombak dan menikmati matahari terbenam bersama.
Setiap sore, Syafa dan Arka berjalan di sepanjang pantai, mengenang masa lalu dan merencanakan masa depan. Mereka tetap setia pada satu sama lain, menjadikan setiap hari sebagai petualangan baru.
Di ujung pantai, di tempat Syafa dulu menunggu, kini berdiri sebuah mercusuar kecil yang dibangun oleh Arka. Mercusuar itu menjadi penanda cinta mereka, selalu menyala terang di malam hari, mengingatkan semua orang bahwa cinta sejati akan selalu menemukan jalannya.
Hidup mereka mungkin sederhana, namun dipenuhi dengan kebahagiaan dan cinta yang tulus. Syafa dan Arka membuktikan bahwa menunggu dengan kesabaran dan keyakinan akan selalu membawa kebahagiaan yang tak ternilai. Dan di ujung pantai itu, mereka akan terus menanti, bukan lagi dengan kegelisahan, tetapi dengan cinta yang abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H