Mohon tunggu...
Awaluddin aceh
Awaluddin aceh Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah di SMAN 1 Kluet Timur

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karpet Merah untuk Devina

28 Juli 2024   07:54 Diperbarui: 28 Juli 2024   07:55 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber gambar: https://pixabay.com)

Karpet Merah untuk Devina

Matahari perlahan-lahan terbenam di balik gedung-gedung tinggi Jakarta, memancarkan cahaya keemasan yang melukis langit dengan warna jingga. Di tengah keramaian kota yang sibuk, seorang gadis bernama Devina melangkah cepat menuju tempat yang sangat diidamkannya sejak kecil gedung teater besar di pusat kota. Malam ini, ia akan menjalani debut sebagai penari utama dalam sebuah pertunjukan balet yang prestisius.

Devina tumbuh besar dengan mimpi menari di atas panggung megah. Setiap hari setelah sekolah, ia berlatih dengan tekun di studio tari kecil dekat rumahnya. Ibunya selalu setia menunggu di luar, memberikan dukungan yang tak pernah pudar. "Suatu hari nanti, kamu akan menari di atas karpet merah," kata ibunya sambil tersenyum setiap kali Devina keluar dari studio dengan wajah berkeringat tetapi penuh semangat.

Setiap gerakan dan langkah tari yang ia pelajari, ia dedikasikan untuk ibunya yang telah bekerja keras membesarkannya sendirian. Ketika ibunya jatuh sakit setahun yang lalu, Devina sempat ragu untuk melanjutkan mimpinya. Namun, dengan dorongan dan keyakinan dari sang ibu, Devina memutuskan untuk terus berjuang. "Karpet merah itu bukan untukku, tapi untukmu, Devina. Kamu harus terus berusaha," ucap ibunya di sela-sela napas yang berat.

Malam ini adalah bukti dari semua kerja kerasnya. Devina tiba di gedung teater, dan dari kejauhan ia bisa melihat karpet merah terbentang di depan pintu masuk, dipenuhi oleh para tamu yang berpakaian mewah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Pikirannya melayang kepada ibunya yang saat ini sedang terbaring di rumah sakit.

Di dalam gedung, para penonton sudah mulai memenuhi kursi. Lampu-lampu terang menyinari panggung, menciptakan suasana magis. Devina berdiri di belakang tirai, mengenakan kostum balet berwarna putih yang berkilauan di bawah cahaya lampu. Ia memejamkan mata, membayangkan senyum ibunya, dan berdoa agar ia bisa menampilkan yang terbaik.

Saat tirai terbuka, dentingan piano mengalun lembut, mengiringi setiap gerakan Devina yang anggun dan penuh perasaan. Penonton terdiam, terpesona oleh keindahan tarian yang dipertunjukkan. Setiap lompatan dan putaran dilakukan dengan sempurna, seolah-olah Devina terbang menari bersama angin. Di tengah tariannya, air mata mengalir di pipi, bukan karena kesedihan, tetapi kebahagiaan dan rasa syukur. Ia tahu, di dalam hatinya, ibunya sedang menyaksikan dan mendukungnya dari kejauhan.

Baca juga: Dua Dunia Satu Hati

Ketika tarian berakhir, tepuk tangan meriah menggema di seluruh gedung. Devina membungkuk dengan anggun, memberikan penghormatan kepada penonton yang memberikannya penghargaan penuh. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya --- ia berharap ibunya bisa berada di sini bersamanya, merasakan momen yang luar biasa ini.

Setelah pertunjukan selesai, Devina segera pergi ke rumah sakit dengan membawa buket bunga yang diberikan oleh penggemarnya. Sesampainya di kamar ibunya, ia menemukan ibunya sudah terjaga, tersenyum lemah namun bahagia. "Aku tahu kamu akan melakukannya dengan baik," kata ibunya sambil menggenggam tangan Devina dengan erat.

Devina menceritakan betapa indahnya malam itu, tentang karpet merah yang selalu diimpikan ibunya. Ibunya tersenyum lembut, "Karpet merah itu memang untukmu, sayang. Aku selalu tahu kamu bisa melakukannya."

Malam itu, Devina dan ibunya berbicara sepanjang malam, mengenang kenangan masa lalu dan merencanakan masa depan yang penuh harapan. Karpet merah di teater mungkin hanya sebuah simbol, tetapi bagi Devina, karpet merah sejati adalah kasih sayang dan dukungan tanpa henti dari ibunya. Ia berjanji dalam hati, apa pun yang terjadi, ia akan terus menari, menggapai impian, dan membawa kebahagiaan bagi ibunya yang selalu menjadi sumber inspirasinya.

Dengan keyakinan baru dan semangat yang membara, Devina tahu bahwa panggung-panggung besar dan karpet-karpet merah lainnya menantinya di masa depan. Dan setiap kali ia melangkah di atas karpet merah, ia akan selalu ingat bahwa semua itu adalah untuk ibunya, yang telah memberikan segalanya untuk melihatnya bersinar.

Hari-hari berikutnya, Devina terus menari dengan semangat yang semakin berkobar. Pertunjukan demi pertunjukan, ia tampil dengan keanggunan yang memukau. Namanya semakin dikenal di dunia balet, dan tawaran untuk tampil di berbagai panggung besar mulai berdatangan. Setiap kali ia menerima penghargaan atau pujian, ia selalu mengingatkan dirinya bahwa semua ini adalah untuk ibunya.

Suatu hari, Devina menerima undangan untuk tampil di Paris, kota yang dikenal sebagai pusat seni dan budaya dunia. Tarian yang akan dibawakannya adalah sebuah karya baru yang menantang, tetapi Devina merasa siap. Ia ingin menunjukkan kepada dunia betapa besarnya pengorbanan dan cinta seorang ibu dalam membentuk dirinya menjadi penari yang luar biasa.

Namun, di tengah persiapan yang intens, kesehatan ibunya kembali memburuk. Dokter mengatakan bahwa kondisi ibunya kritis dan mungkin tidak akan bertahan lama. Devina dihadapkan pada pilihan sulit: tetap tinggal di sisi ibunya atau pergi ke Paris untuk menggapai impiannya.

"Pergilah, sayang," kata ibunya dengan suara lemah namun penuh keyakinan. "Aku ingin melihatmu berhasil. Ini adalah impian kita berdua. Aku akan baik-baik saja."

Dengan hati yang berat, Devina memutuskan untuk pergi ke Paris. Ia tahu bahwa ibunya ingin yang terbaik untuknya, dan ia harus menghormati keinginan tersebut. Selama perjalanan, ia terus memikirkan ibunya, berdoa agar ia bisa memberikan penampilan terbaik yang pernah ia lakukan.

Paris menyambutnya dengan angin dingin musim gugur dan gemerlap lampu kota yang tak pernah tidur. Gedung teater tempatnya akan tampil berdiri megah, memancarkan aura sejarah dan kemewahan. Saat tiba hari pertunjukan, Devina merasakan getaran yang sama seperti malam debutnya di Jakarta. Ia bertekad untuk menari dengan seluruh jiwa dan raganya, mempersembahkan setiap gerakan untuk ibunya.

Ketika tirai terbuka, penonton di Paris terdiam, terpana oleh keindahan tarian Devina. Setiap langkah, setiap putaran, penuh dengan emosi dan keanggunan yang tak tertandingi. Di dalam hatinya, Devina berbisik kepada ibunya, berharap bahwa meskipun berjauhan, ibunya bisa merasakan kehadirannya.

Penampilan Devina malam itu mendapat standing ovation yang berlangsung lama. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya saat ia membungkuk, menerima penghargaan dari penonton. Tetapi di dalam hatinya, ia merindukan senyum dan pelukan ibunya.

Setelah pertunjukan, Devina bergegas kembali ke hotelnya dan segera menelepon rumah sakit. Suara dokter yang menjawab membuat hatinya berdebar. "Ibu Anda sudah tidak ada, Devina. Beliau meninggal dengan tenang beberapa jam yang lalu."

Devina terdiam, merasakan campuran antara kesedihan yang mendalam dan rasa lega bahwa penderitaan ibunya telah berakhir. Ia menangis sepanjang malam, mengingat semua kenangan manis bersama ibunya, dukungan tanpa henti, dan kata-kata penyemangat yang selalu menguatkannya.

Keesokan harinya, Devina pulang ke Jakarta untuk menghadiri pemakaman ibunya. Meskipun ibunya sudah tiada, ia merasa bahwa semangat dan cinta ibunya akan selalu ada di dalam hatinya, menjadi cahaya yang menuntunnya dalam setiap langkah dan tarian.

Beberapa bulan kemudian, Devina kembali ke panggung, membawa semangat baru dan keyakinan yang tak tergoyahkan. Ia menari dengan penuh dedikasi, mempersembahkan setiap gerakan untuk mengenang ibunya. Setiap kali ia melangkah di atas karpet merah, ia tahu bahwa ibunya ada di sana, mendukung dan memeluknya dengan cinta yang abadi.

Karpet merah itu kini bukan hanya simbol kesuksesan bagi Devina, tetapi juga simbol cinta dan pengorbanan seorang ibu yang akan selalu hidup dalam setiap tarian dan langkahnya. Dengan semangat ibunya yang terus menyala dalam dirinya, Devina tahu bahwa ia akan terus menari, membawa warisan cinta dan impian ibunya ke seluruh dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun