Malam itu, Devina dan ibunya berbicara sepanjang malam, mengenang kenangan masa lalu dan merencanakan masa depan yang penuh harapan. Karpet merah di teater mungkin hanya sebuah simbol, tetapi bagi Devina, karpet merah sejati adalah kasih sayang dan dukungan tanpa henti dari ibunya. Ia berjanji dalam hati, apa pun yang terjadi, ia akan terus menari, menggapai impian, dan membawa kebahagiaan bagi ibunya yang selalu menjadi sumber inspirasinya.
Dengan keyakinan baru dan semangat yang membara, Devina tahu bahwa panggung-panggung besar dan karpet-karpet merah lainnya menantinya di masa depan. Dan setiap kali ia melangkah di atas karpet merah, ia akan selalu ingat bahwa semua itu adalah untuk ibunya, yang telah memberikan segalanya untuk melihatnya bersinar.
Hari-hari berikutnya, Devina terus menari dengan semangat yang semakin berkobar. Pertunjukan demi pertunjukan, ia tampil dengan keanggunan yang memukau. Namanya semakin dikenal di dunia balet, dan tawaran untuk tampil di berbagai panggung besar mulai berdatangan. Setiap kali ia menerima penghargaan atau pujian, ia selalu mengingatkan dirinya bahwa semua ini adalah untuk ibunya.
Suatu hari, Devina menerima undangan untuk tampil di Paris, kota yang dikenal sebagai pusat seni dan budaya dunia. Tarian yang akan dibawakannya adalah sebuah karya baru yang menantang, tetapi Devina merasa siap. Ia ingin menunjukkan kepada dunia betapa besarnya pengorbanan dan cinta seorang ibu dalam membentuk dirinya menjadi penari yang luar biasa.
Namun, di tengah persiapan yang intens, kesehatan ibunya kembali memburuk. Dokter mengatakan bahwa kondisi ibunya kritis dan mungkin tidak akan bertahan lama. Devina dihadapkan pada pilihan sulit: tetap tinggal di sisi ibunya atau pergi ke Paris untuk menggapai impiannya.
"Pergilah, sayang," kata ibunya dengan suara lemah namun penuh keyakinan. "Aku ingin melihatmu berhasil. Ini adalah impian kita berdua. Aku akan baik-baik saja."
Dengan hati yang berat, Devina memutuskan untuk pergi ke Paris. Ia tahu bahwa ibunya ingin yang terbaik untuknya, dan ia harus menghormati keinginan tersebut. Selama perjalanan, ia terus memikirkan ibunya, berdoa agar ia bisa memberikan penampilan terbaik yang pernah ia lakukan.
Paris menyambutnya dengan angin dingin musim gugur dan gemerlap lampu kota yang tak pernah tidur. Gedung teater tempatnya akan tampil berdiri megah, memancarkan aura sejarah dan kemewahan. Saat tiba hari pertunjukan, Devina merasakan getaran yang sama seperti malam debutnya di Jakarta. Ia bertekad untuk menari dengan seluruh jiwa dan raganya, mempersembahkan setiap gerakan untuk ibunya.
Ketika tirai terbuka, penonton di Paris terdiam, terpana oleh keindahan tarian Devina. Setiap langkah, setiap putaran, penuh dengan emosi dan keanggunan yang tak tertandingi. Di dalam hatinya, Devina berbisik kepada ibunya, berharap bahwa meskipun berjauhan, ibunya bisa merasakan kehadirannya.
Penampilan Devina malam itu mendapat standing ovation yang berlangsung lama. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya saat ia membungkuk, menerima penghargaan dari penonton. Tetapi di dalam hatinya, ia merindukan senyum dan pelukan ibunya.
Setelah pertunjukan, Devina bergegas kembali ke hotelnya dan segera menelepon rumah sakit. Suara dokter yang menjawab membuat hatinya berdebar. "Ibu Anda sudah tidak ada, Devina. Beliau meninggal dengan tenang beberapa jam yang lalu."