Mohon tunggu...
Awaluddin aceh
Awaluddin aceh Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah di SMAN 1 Kluet Timur

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terbakarnya Surau Kami

20 Juli 2024   18:11 Diperbarui: 20 Juli 2024   18:18 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku adalah seorang anak kampung yang selalu menghabiskan waktuku bermain bersama teman-teman di surau. Surau itu kecil, sederhana, dan penuh kenangan. Surau itulah yang menjadi pusat kehidupan spiritual dan sosial di kampung kami. Di sana, kami belajar mengaji, shalat, dan juga bermain. Tak terhitung jumlah canda tawa dan tangis yang terjadi di dalamnya.

Namun, suatu hari, musibah besar menimpa kami. Hari itu, langit tampak cerah seperti biasa. Aku bersama teman-teman sedang bermain bola di halaman surau. Tiba-tiba, terdengar teriakan dari dalam surau. "Api! Api!" teriak seseorang.

Aku berlari ke dalam surau dan melihat kobaran api yang besar di sudut ruang. "Cepat, ambil air!" teriak Pak Ustadz, yang sudah mencoba memadamkan api dengan ember yang ada. Kami semua panik, mencoba mencari air dari sumur terdekat. Tetapi api menyebar terlalu cepat. Dalam hitungan menit, api sudah melahap sebagian besar bangunan surau kami.

Kepulan asap hitam membumbung tinggi ke langit. Aku hanya bisa berdiri tertegun, melihat surau yang selama ini menjadi tempat kami berkumpul kini hangus terbakar. Tangis ibu-ibu dan anak-anak terdengar di sekitarku. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

Beberapa saat kemudian, mobil pemadam kebakaran datang dan berusaha memadamkan api. Tapi, sudah terlambat. Surau kami hampir rata dengan tanah. Aku merasa hancur, tak percaya apa yang baru saja terjadi. Sementara itu, Pak Ustadz berdiri di dekat reruntuhan, memandang kosong ke arah sisa-sisa bangunan.

"Kita harus kuat," kata Pak Ustadz, suaranya serak menahan tangis. "Ini adalah ujian dari Allah. Kita akan membangun kembali surau kita."

Kata-kata Pak Ustadz memberikan sedikit harapan di tengah kepedihan yang kami rasakan. Semua warga kampung sepakat untuk bergotong royong membangun kembali surau kami. Setiap orang memberikan apa yang mereka bisa, baik itu tenaga, uang, maupun bahan bangunan.

Aku ikut membantu sebisaku. Setiap hari setelah pulang sekolah, aku membantu mengangkut batu bata, mengaduk semen, dan melakukan apa saja yang bisa kulakukan. Walaupun lelah, aku merasa bahagia bisa berkontribusi. Aku ingin surau kami kembali berdiri dan menjadi tempat yang penuh kenangan lagi.

Selama proses pembangunan, banyak orang dari luar kampung yang datang memberikan bantuan. Mereka mendengar berita tentang musibah yang menimpa surau kami dan ingin ikut membantu. Aku merasa terharu melihat banyaknya orang yang peduli.

Baca juga: Merayu Tuhan

Beberapa bulan kemudian, surau kami yang baru akhirnya selesai dibangun. Bangunan baru ini lebih besar dan lebih kokoh dari sebelumnya. Walaupun bentuknya berbeda, aku merasa kehangatan yang sama saat pertama kali melangkah masuk.

Hari peresmian surau baru dihadiri oleh seluruh warga kampung dan juga para dermawan yang telah membantu kami. Pak Ustadz memimpin doa syukur, memohon kepada Allah agar surau ini menjadi tempat yang penuh berkah. Aku melihat wajah-wajah bahagia di sekelilingku. Kami semua merasakan kebanggaan yang luar biasa karena berhasil melewati cobaan ini bersama-sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun