Mohon tunggu...
Awaluddin aceh
Awaluddin aceh Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah di SMAN 1 Kluet Timur

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Cinta Perbedaan Usia

18 Juli 2024   07:59 Diperbarui: 18 Juli 2024   08:03 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : pixabay.com

Di sebuah kota kecil yang indah, hiduplah seorang wanita cantik bernama Iradah. Iradah adalah seorang perempuan yang penuh semangat dan kehangatan, dengan senyum yang mampu mencerahkan hari-hari orang di sekitarnya. Di usianya yang ke-35, Iradah telah mencapai banyak hal dalam hidupnya; dia sukses dalam kariernya sebagai seorang desainer interior dan dikenal sebagai orang yang selalu membantu siapa pun yang membutuhkan.

Suatu hari, Iradah bertemu dengan seorang pria muda bernama Davi. Davi adalah seorang fotografer berusia 25 tahun yang baru saja pindah ke kota itu. Mereka bertemu secara kebetulan di sebuah pameran seni. Iradah terpikat oleh cara Davi melihat dunia melalui lensa kameranya. Setiap kali Davi berbicara tentang fotografi, matanya bersinar, menunjukkan gairah yang luar biasa.

Mereka mulai menghabiskan waktu bersama, membicarakan banyak hal, dari seni hingga kehidupan sehari-hari. Iradah merasa nyaman dan bahagia berada di dekat Davi. Perasaan itu semakin dalam seiring berjalannya waktu, hingga akhirnya Iradah menyadari bahwa dia jatuh cinta pada Davi. Meski tahu bahwa usia mereka terpaut jauh, Iradah tidak bisa mengabaikan perasaannya.

Suatu sore yang cerah, Iradah mengajak Davi untuk minum kopi di sebuah kafe kecil yang tenang. Mereka duduk di sudut yang nyaman, menikmati aroma kopi yang memenuhi udara. Setelah beberapa saat, Iradah memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya.

"Davi, aku ingin mengatakannya langsung kepadamu. Aku sudah lama memendam perasaan ini. Aku jatuh cinta padamu," kata Iradah dengan lembut, namun penuh keyakinan.

Davi terdiam sejenak. Dia memandang Iradah dengan mata yang penuh kebingungan dan rasa bersalah. Setelah menarik napas dalam, dia berkata, "Iradah, aku sangat menghargai perasaanmu. Kamu adalah wanita yang luar biasa. Namun, aku merasa kita tidak bisa bersama. Aku tidak bisa mengabaikan perbedaan usia kita yang terlalu jauh."

Hati Iradah hancur mendengar kata-kata itu, tetapi dia mencoba untuk tetap tenang. "Davi, apakah usia benar-benar begitu penting? Aku mencintaimu karena siapa dirimu, bukan karena usiamu," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Davi menggelengkan kepala. "Ini bukan hanya tentang usia, Iradah. Aku khawatir tentang masa depan kita. Bagaimana pandangan masyarakat, keluarga kita? Aku tidak ingin kita berdua terluka karena hal ini."

Iradah terdiam, mencoba memahami apa yang dirasakan Davi. Dia tahu bahwa cinta tidak selalu berjalan mulus, tetapi dia juga tahu bahwa cinta yang tulus layak untuk diperjuangkan. "Davi, aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi apakah kita tidak seharusnya memberi kesempatan pada cinta ini, tanpa terlalu memikirkan apa kata orang?"

Davi memegang tangan Iradah dengan lembut. "Aku minta maaf, Iradah. Aku tidak bisa melakukannya. Aku harap kamu bisa mengerti dan memaafkanku."

Iradah menahan air matanya. Dia tahu bahwa dia tidak bisa memaksakan perasaan Davi. Dengan suara yang bergetar, dia berkata, "Aku mengerti, Davi. Aku hanya ingin kamu bahagia, apa pun yang terjadi."

Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Waktu seolah berhenti, dan kesunyian mengisi ruang di antara mereka. Setelah beberapa saat, Davi berdiri dan memeluk Iradah dengan lembut. "Terima kasih sudah mengerti, Iradah. Kamu akan selalu menjadi teman baik bagiku," katanya sebelum pergi.

Iradah duduk di sana, menatap secangkir kopi yang kini telah dingin. Hatinya perih, tapi dia tahu bahwa dia harus merelakan Davi. Dia tahu bahwa cinta tidak selalu bisa dimiliki, dan terkadang, melepaskan adalah bentuk cinta yang paling tulus.

Hari-hari berlalu, dan Iradah perlahan belajar menerima kenyataan. Dia tetap menjadi wanita yang kuat dan penuh semangat. Meski cintanya ditolak, dia tidak menyesali perasaannya. Iradah tahu bahwa cinta adalah bagian dari hidup, dan setiap pengalaman, baik manis maupun pahit, membuatnya menjadi pribadi yang lebih bijaksana.

Di senja yang indah itu, Iradah menyadari bahwa hidup adalah tentang belajar menerima dan terus melangkah maju. Dia menatap matahari yang perlahan tenggelam, menyadari bahwa setiap akhir adalah awal dari sesuatu yang baru. Dengan senyum tipis di bibirnya, Iradah siap menyambut hari esok dengan hati yang lapang.

Beberapa bulan berlalu sejak pertemuan terakhir Iradah dan Davi di kafe itu. Iradah tetap menjalani hidupnya dengan penuh semangat dan dedikasi. Ia kembali fokus pada pekerjaannya sebagai desainer interior, mencurahkan kreativitasnya untuk membuat ruang-ruang indah yang menginspirasi banyak orang. Namun, di hatinya masih tersimpan kenangan tentang Davi, seorang pria yang pernah membuatnya merasakan cinta yang begitu dalam.

Suatu hari, ketika Iradah sedang merapikan studio desainnya, pintu terbuka dan seorang wanita muda masuk. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Syafa, saudara perempuan Davi. "Iradah, aku tahu ini mungkin mengejutkanmu, tapi aku ingin berbicara denganmu tentang Davi," kata Syafa dengan nada serius.

Iradah merasa sedikit gugup, tetapi ia menyambut Syafa dengan ramah. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, dan Syafa mulai bercerita. "Setelah pertemuan terakhir kalian, Davi banyak berubah. Dia merasa bersalah telah melukai perasaanmu, dan itu membuatnya tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Dia bahkan mempertimbangkan untuk meninggalkan kota ini."

Iradah terkejut mendengar hal itu. "Aku tidak pernah ingin membuatnya merasa seperti itu. Aku hanya ingin dia bahagia, meskipun bukan dengan aku," kata Iradah dengan tulus.

Syafa tersenyum lembut. "Aku tahu. Dan itulah sebabnya aku di sini. Davi sebenarnya sangat mencintaimu, tapi dia terlalu takut untuk mengakui itu karena perbedaan usia kalian. Dia terlalu memikirkan pandangan orang lain dan takut kalian akan terluka."

Iradah terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Syafa. "Aku mengerti ketakutannya, tapi cinta tidak seharusnya diukur dengan usia atau apa kata orang lain. Aku percaya bahwa jika kita saling mencintai, kita bisa mengatasi segala rintangan."

Syafa mengangguk. "Aku setuju denganmu. Karena itu, aku ingin meminta bantuanmu. Aku ingin kamu berbicara lagi dengan Davi. Mungkin jika dia mendengar langsung darimu bahwa kamu masih mencintainya dan bersedia berjuang bersama, dia akan berubah pikiran."

Iradah merasa hatinya kembali berdebar. Ia tahu bahwa perasaannya pada Davi masih sama kuatnya seperti dulu. "Baiklah, aku akan mencobanya," kata Iradah dengan penuh harap.

Beberapa hari kemudian, Iradah mengatur pertemuan dengan Davi di taman kota tempat mereka sering berbicara tentang mimpi dan harapan mereka. Ketika Davi tiba, Iradah bisa melihat bahwa pria itu tampak lebih letih dan gelisah dari biasanya. Mereka duduk di bangku taman yang menghadap danau, dan Iradah memulai percakapan.

"Davi, aku mendengar dari Syafa bahwa kamu mengalami masa-masa sulit setelah pertemuan kita terakhir. Aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa seperti itu. Aku hanya ingin kita berdua bahagia, apa pun yang terjadi," kata Iradah dengan lembut.

Davi menghela napas panjang. "Iradah, aku juga merasa sangat bersalah telah melukai perasaanmu. Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, tapi aku terlalu takut untuk melangkah lebih jauh. Aku khawatir kita akan menghadapi banyak masalah karena perbedaan usia kita."

Iradah menggenggam tangan Davi. "Davi, cinta itu tentang keberanian untuk melawan ketakutan. Aku masih mencintaimu dan aku bersedia berjuang bersama untuk cinta kita. Kita tidak perlu memikirkan apa kata orang lain. Yang penting adalah kita tahu apa yang kita rasakan dan berusaha untuk membuatnya berhasil."

Davi terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. "Iradah, aku sangat mencintaimu. Aku hanya takut bahwa aku tidak akan cukup baik untukmu."

Iradah tersenyum, menghapus air mata di pipi Davi. "Kamu adalah yang terbaik untukku, Davi. Tidak ada yang lain. Jika kita bersama, aku yakin kita bisa menghadapi segala hal."

Mendengar kata-kata Iradah, hati Davi perlahan luluh. Dia merasakan kehangatan dan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan Iradah. Dia menyadari bahwa perasaannya selama ini benar dan bahwa dia tidak bisa terus hidup dalam ketakutan.

"Aku mencintaimu, Iradah," kata Davi dengan suara penuh emosi. "Mari kita berjuang bersama."

Iradah tersenyum lebar, hatinya penuh kebahagiaan. Mereka berpelukan erat, merasakan kekuatan cinta yang tulus dan mendalam. Di bawah sinar matahari senja yang indah, Iradah dan Davi berjanji untuk saling mendukung dan mencintai, apa pun yang terjadi.

Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan penuh kebahagiaan dan harapan baru. Mereka menghadapi berbagai tantangan, tetapi dengan cinta yang kuat, mereka mampu mengatasi semuanya. Iradah dan Davi membuktikan bahwa cinta sejati tidak mengenal batas usia atau pandangan orang lain. Mereka adalah dua jiwa yang menemukan kebahagiaan sejati dalam pelukan satu sama lain, siap untuk menghadapi masa depan bersama.

Dan di kota kecil yang indah itu, Iradah dan Davi hidup bahagia selamanya, menciptakan cerita cinta mereka sendiri yang penuh keajaiban dan kebahagiaan. Sebuah kisah cinta yang perbedaan usia bukan sebagai penghalang menjalin kasih penuh kebahagian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun