"Ya, kita harus meratakan tanah untuk pondasi rumah. Kerja keras, tapi kita bisa," jawab Rudi dengan semangat.
Mujad mengangguk dan langsung ikut bekerja. Terik matahari mulai menyengat kulitnya, tapi dia terus berusaha keras. Setiap detik yang berlalu, pikirannya selalu melayang kepada ibunya dan Sari di rumah. Dia tahu betapa sulitnya kehidupan ekonomi mereka dan dia bertekad untuk memberikan yang terbaik untuk keluarganya.
Satu hari, Mujad merasa lelah sekali. Punggungnya pegal dan keringat membasahi sekujur tubuhnya. Dia berhenti sejenak untuk minum air dan merasakan angin sepoi-sepoi yang jarang datang di tengah terik matahari. Rudi menghampirinya.
"Mujad, kamu kelihatan lelah sekali. Istirahat sebentar," kata Rudi.
Mujad menggelengkan kepala. "Belum, Rudi. Saya harus menyelesaikan pekerjaan ini. Ada tanggung jawab yang harus saya penuhi di rumah."
Rudi mengangguk paham dan pergi kembali ke pekerjaannya. Mujad melanjutkan pekerjaannya dengan penuh ketekunan. Meskipun tubuhnya terasa seperti akan runtuh, pikirannya hanya tertuju pada satu tujuan: membuat ibunya dan adiknya bahagia.
Akhirnya, sore hari tiba. Matahari mulai tenggelam di balik pegunungan dan memberikan warna keemasan di langit. Pekerjaan hari itu selesai, dan Mujad bersama rekan-rekannya pulang. Ia merasa lelah, tetapi juga puas karena telah menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Setibanya di rumah, Mujad disambut oleh senyuman ibunya dan pelukan hangat dari adiknya. Makanan malam sudah siap, meski sederhana. Ibunya menghidangkan nasi dengan ikan asin yang baru dibeli dari pasar. Mujad duduk bersama mereka, merasakan kehangatan keluarga di tengah kehidupan yang keras.
"Bagaimana hari ini, Nak?" tanya ibunya sambil menyuapi Sari.
"Capek, Bu, tapi semuanya berjalan lancar. Besok kita harus memulai pekerjaan baru lagi," jawab Mujad sambil menyuap makanannya.
Ibunya tersenyum dan mengelus tangan Mujad. "Kami bangga padamu, Mujad. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk kami."