Jangan memilih Calon Kepala Daerah yang tidak bisa memimpin, sebaiknya pilih calon Kepala Daerah yang bisa memimpin. Kepala daerah yang memahami masalah di Daerah dan mampu mengembangkan potensi Daerah sebagai solusi, dialah yang bisa memimpin. Pilihan yang salah, akibatnya menyesal kemudian.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024, akan dilaksanakan pada 27 november  mendatang. Secara resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan, terdapat 37 Provinsi dan 508 Kabupaten/Kota yang akan melaksanakan Pilkada secara serentak (kpu.go.id/).
Sebab itulah, sejumlah calon kepala daerah akhir-akhir ini, disibukkan dengan aktivitas konsolidasi politik di Masyarakat, tujuannya untuk mempengaruhi masyarakat agar mau menetapkan pilihannya terhadap dirinya.
Kepala Daerah Penggerak Perubahan
Pilkada jangan dipahami hanya agenda seremonial pemilihan elit di Daerah, yang secara teknis merupakan agenda yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Justru, Pilkada harus dipahami sebagai instrumen menentukan masa depan daerah, setidaknya lima tahun ke depan.
Masyarakat harus selektif memilih kepala daerah, dimana perubahan dan perbaikan Daerah ditentukan calon yang terpilih sebagai Kepala Daerah.
Memilih Kepala Daerah yang baik dan benar patokan-nya kualitas pendidikan atau pemahaman politik masyarakat, yang secara nasional pendidikan termaksud bagian dari indikator indeks pembangunan manusia (IPM).
Sekadar gambaran, di Provinsi Maluku Utara (Malut) terdapat daerah dengan IPM di Bawah standar rata-rata 34,39 % pada tahun 2023. Seperti di Kabupaten  Pulau Taliabu 62,73%, di Kabupaten Pulau Morotai 64,73% dan Kabupaten Kepulauan Sula 65,29% tiga daerah ini berada di urutan paling rendah berdasarkan perbandingan rata-rata IPM nasional di Provinsi Malut. Meski begitu hampir keseluruhan Kabupaten/Kota di Provinsi Malut di bawa rata-rata IPM nasional selain Kota Ternate 81,35% (bps.go.id/id).
Dengan IPM di Bawa standar rata-rata nasional. Tidak ada jaminan kualitas demokrasi (Pilkada) berjalan maju, Asumsi sederhananya masyarakat dengan pemahaman politik dibawa standar rata-rata, mudah terpengaruh dengan politik uang atau politik transaksional.
Dengan IPM daerah yang demikian Seharusnya, ini menjadi pertanyaan kritis jika kepala daerah menjabat selama lima tahun mengapa IPM kita masih dibawa standar rata-rata nasional, benarkan pembangunan berjalan maju atau berjalan ditempat bahkan berjalan mundur.?
Kepala Daerah adalah penggerak dan penentu arah pembangunan, sehingga ini menjadi patokan dalam memilih Calon Kepala Daerah selanjutnya. Penting  untuk berkontemplasi dan merenungi realitas sosial yang terjadi, kita tidak hanya mengoreksi kesalahan Kepala Daerah tapi juga mengoreksi cara berpolitik kita selama ini.
Korupsi Kepada Daerah dan Penguasaan SDA
Praktik korupsi Kepala Daerah dipengaruhi ongkos politik yang mahal. Ongkos politik calon kepala daerah Gubernur/wakil gubernur, berkisar pada angka Rp. 100 miliar, sedangkan walikota/wakil wali kota dan bupati/Wakil Bupati menghabiskan ongkos politik sekitar Rp. 30 Miliar (kpk.go.id/)
Gaji kepala daerah selama menjabat lima tahun tidak cukup untuk mengembalikan ongkos politik, pada akhirnya harus  memakai jalan pintas mencari ongkos tambahan.
Lanskap politik di Tingkat Nasional maupun Daerah terpengaruh dengan keberadaan politisi/partai politik, pengusaha dan rakyat sipil. Mahalnya ongkos politik salah satu faktornya adalah partai politik yang menjadi kendaraan politik untuk menjadi bakal calon kepala daerah.
Fungsi ideal partai politik sebagai alat untuk membangun partisipasi warga dan sekaligus sebagai alat komunikasi politik. Partai politik sebagai mesin politik hampir seluruhnya terisi oleh oligarki pemilik modal dan pemilik kekuasaan.
Faktor lain mahalnya ongkos berpolitik adalah praktik politik transaksional atau jual beli suara yang di lakukan oleh calon kepala daerah dan masyarakat, sebab dengan uang bisa menentukan pilihan rakyat.
Relasi Politisi dan Pengusaha di Daerah
Calon kepala daerah dan pengusaha saling bersaing untuk merebut simpati rakyat dan terkadang berkerja sama demi kepentingan pribadi. Sehingga terbentuklah relasi kerja sama politisi dan pengusaha.
Calon kepala daerah menginginkan modal sebagai ongkos politik untuk mendapatkan kekuasaan yang bisa diberikan oleh pemodal. Sedangkan pengusaha menginginkan legitimasi untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang berada di Daerah, sebagai bentuk balas budi seorang kepala daerah dengan instrumen kekuasaan diterbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Â
Kerja sama ini yang disebut relasi berantai oligarki antara politisi dan pengusaha yang pada akhirnya akan membentuk monopoli dalam pengelolaan sumber daya alam. Hubungan simbiosis mutualisme antara pengusaha dan politisi sebenarnya sudah lama terjadi dan semakin tampak semenjak rezim reformasi.
Baru-baru ini tersebar berita korupsi salah satu kepala daerah di Maluku Utara. Berdasarkan hasil investigasi, Gubernur Malut terbukti melakukan kasus korupsi suap dan gratifikasi terhadap sejumlah IUP di Maluku Utara (mongabay.co.id/).
Gubernur Malut menerima uang dengan nilai yang fantastis Rp. 100 miliar. Meski begitu kasus tersebut masih dalam proses sidang putusan di Pengadilan Negeri Ternate pada (Jumat, 20/09/2024).
Wajar jika stigma buruk rakyat bahwa Pilkada ke Pilkada hanya sebatas agenda kerja sama antara elit politik dan pengusaha pemilik modal. Tujuannya untuk menguasai Sumber daya alam di daerah. kekayaan alam di daerah salah satunya sumber daya pertambangan yang menjadi banyak incaran pengusaha.
Desentralisasi Kebijakan Sumber Daya Alam
Sumber daya alam (SDA) dikelola berdasarkan kebijakan desentralisasi, setiap daerah diharuskan memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Dikarenakan setiap pemerintah daerah diberikan kebebasan oleh pemerintah pusat untuk mengelola sumber daya alamnya demi kemandirian secara ekonomi dan tercipta Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Terkait pengelolaan sumber daya alam di Daerah yang desentralisasi, faktanya kebijakan tersebut berbanding terbalik, pemerintah pusat mampu mengatur kebijakan pengelolaan potensi sumber daya alam di Daerah sehinga bukan lagi desentralisasi justru sentralisasi kebijakan yang dirasakan Daerah.
Argumen rasionalis pemerintah terhadap masalah pengelolaan sumber daya alam  demi kepentingan rakyat dan negara, argumen ini sebagai justifikasi legal jika terjadi resistensi rakyat sipil. Tetesan keringat dan air mata menjadi saksi  sejarah dari kekuatan politik dan ekonomi yang berlabelkan demokrasi yang dibajak oleh kekuatan oligarki.
Semangat desentralisasi setiap pengelolaan sumber daya alam intinya sebagai legitimasi untuk mengamankan kepentingan oligarki. Pengelolaan sumber daya alam tidak lagi berorientasi pada keberlanjutan yang memperhatikan dampak lingkungan, justru yang terjadi semua serba pasar kepentingan yang diuntungkan bukan rakyat banyak tapi sekelompok oligarki.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H