Mohon tunggu...
Aviv Abdu
Aviv Abdu Mohon Tunggu... Pelajar -

Nobody just an everlasting student and blogger | Sports addict | Twitter: @avivabdu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia yang Kekanak-kanakan

30 Mei 2017   03:57 Diperbarui: 1 Juni 2017   06:28 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi di sebuah acara yang diselenggarakan di istana negara menyampaikan pidato yang (menurut saya) sangat menarik. Ya, menarik sekali karena di dalam pidato tersebut beliau menyampaikan beberapa hal yang sangat relevan dengan karakter bangsa ini dan juga situasi dan kondisi negara ini. (Lihat videonya disini)

Diantara poin-poin pidato beliau (yang saya ambil) tersebut adalah:

1. Presiden Jokowi menjelaskan hal seperti ini terjadi karena bangsa ini terlalu berkutat (secara konsisten) dengan hal-hal yang lingkupnya hanya “rutinitas” kita sendiri, tanpa ada hasrat untuk “mengembangkan diri”.

Kurangnya karakter kritis (juga rasa apresiatif) dan “up to date” bangsa ini terhadap hal-hal yang terjadi pada lingkup global, khususnya dalam bidang pengembangan dan implementasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

Saya sependapat dengan Presiden Jokowi. Sebagai seseorang yang berasal dari suku Jawa dan kalangan santri, dari kecil saya diajarkan untuk istiqomah(konsisten) dalam segala hal terkhusus dalam belajar maupun bekerja. Dengan meminjam adagium Bahasa Arab al-istiqomah khoiru min alfi karomah (kekonsistenan lebih baik dari seribu “kebaikan”) secara tidak langsung diajarkan karakter untuk berlaku konsisten.

Akan tetapi dalam benak saya sendiri “agak” merasa kurang sreg(cocok) dengan laku konsistenyang biasa dipraktikkan oleh sebagian masyarakat, khususnya dari sebagian kalangan Jawa. Saya beri contoh, sebut saja Mbah Suto (bukan nama sebenarnya), salah satu tetangga saya, entah sudah berapa tahun usia beliau (saya pernah menanyakan usia beliau tapi saya lupa hitungannya), beliau bermata pencaharian sebagai penjual nasi pecel di depan rumahnya sebagai menu sarapan di pagi hari, dari masa saya belum lahir hingga usia saya hampir menikah (hingga saat ini) beliau masih berjualan nasi pecel dan tentunya masih di depan rumah.  Di samping itu juga Mbah Suto tak begitu peduli dengan apa yang terjadi di masyarakat baik secara lokal, nasional maupun global.

Konsisten? Ya, sangat konsisten sekali. Suatu hal yang patut dipuji dan diteladani jika dilihat dari sudut pandang etos kerja beliau, tetapi tidak dalam hal kekonsistenan beliau dalam pekerjaannya (tanpa ada perkembangan apapun semisal membangun warung makan atau menambah menu untuk menaikkan omset penghasilan).  

Terlepas dari karakter “acuh tak acuh” Mbah Suto dalam menyikapi hal yang terjadi di sekitarnya maupun usia dan kepercayaan beliau terhadap ajaran “harta maupun kekayaan dunia tidak akan dibawa ketika mati”.

Hal di atas adalah salah satu contoh yang dapat saya paparkan tentang laku konsistenyang seringkali dipraktikkan oleh sebagian masyarakat.

2. Karakter bangsa ini yang terlalu “seperti anak kecil” atau kekanak-kanakan, mudah terprovokasi, mudah ditipu dengan ajaran palsu, terlalu serta selalu mementingkan keuntungan bagi “golongan”nya sendiri, mudah percaya dengan pemberitaan HOAX yang seringkali muncul di media-media internet serta mudah terpancing untuk melakukan sesuatu yang bersifat merugikan baik bagi masyarakat umum maupun bagi diri mereka sendiri.

Presiden Jokowi menjelaskan bahwa karakter bangsa seperti yang sebutkan di atas dapat menjadi penghambat dalam pembangunan nasional. Bukannya menjadi bangsa yang berkembang dari sudut pandang global kita malah menjadi bangsa yang masih berkutat dengan hal-hal yang bersifat “kepentingan golongan”. Bukannya bekerjasama untuk maju, bangsa ini malah bekerjasama (dengan golongan-golongan yang memiliki tujuan dan kepentingan sama) untuk “saling menjatuhkan” yang lain (yang tidak sesuai atau tidak sependapat).

Banyak sekali contoh dari apa yang beliau paparkan ini, antara lain “pertikain/tawuran” (baik dimulai dari tingkat antar sekolah, antar kampung atau antar golongan yang memiliki tujuan yang berbeda) yang terjadi karena berbagai sebab mulai dari tingkat “persoalan sepele” hingga yang bertaraf “kekuasaan” (baik yang bertujuan untuk meluaskan pengaruh ideologi, keagamaan hingga politik). 

Saya jadi teringat salah satu statement dari KH. Musthofa Bisri ketika beliau tampil di salah satu acara reality show di salah satu stasiun televisi di tanah air. Ketika itu beliau ditanya oleh Andy F. Noya (pembawa acara dalam acara tersebut) soal bagaimana beliau menyikapi terhadap individu ataupun golongan yang seringkali bertikai dengan meng-atas nama-kan ideologi maupun agama. (Lihat videonya disini)

Beliau menjawab bahwa dalam persoalan tersebut individu maupun golongan tersebut “masih kurang belajarnya” karena ibarat sekolah, pengetahuan pun terikat dengan tingkatannya masing-masing, mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi.

Beliau menjelaskan individu maupun golongan yang suka sekali bertikai (baik dalam bentuk fisik maupun non fisik) tersebut baik secara tingkatan emosional, pengetahuan dan pemahaman mereka (tentang ideologi, agama maupun hal apapun yang menjadi alasan untuk memulai pertikaian) masih sebatas pengetahuan anak SD, dimana (seperti yang kita ketahui) anak SD seringkali mudah sekali untuk berkelahi, dan begitu juga seterusnya mulai dari (tingkatan emosional, pengetahuan dan pemahaman) SMP hingga Perguruan Tinggi.

Terakhir, saya ingin menyampaikan bahwa tulisan saya ini adalah untuk refleksi khususnya untuk diri saya sendiri. Jika saja terdapat kesalahan baik dalam pemahaman terhadap sumber maupun penggunaan kosakata itu murni dari kurangnya persepsi dan berasal dari kesalahan saya.

Wa Allah A’lam…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun