[caption id="attachment_256778" align="aligncenter" width="300" caption="Menikmati langit biru Bromo"] [/caption]
Bromo, siapa yang tidak mengenal gunung super indah ini. Selama bertugas di Desa Tosari yang berlokasi tepat di kaki Gunung Bromo, hampir setiap bulannya pintu rumah dinas saya terbuka menerima kunjungan dari beragam macam kawan. Ada yang sebelumnya tidak pernah bertemu dan hanya terkoneksi lantaran dunia maya bahkan kompasiana. Serunya, selalu ada persahabatan dan cerita baru muncul setelah menjamu tamu.
Walau sudah lama tinggal di Bromo, tetap saja saya sendiri harus mematuhi standar keamanan dengan menggunakan jip jika menuju ke kawasan Bromo. Namun terkadang saya beruntung jika diundang kegiatan keagamaan dan bersamaan dengan Pak Camat maka dapat menumpaki non jip. Karena aturan itulah harga jip yang ditawarkan pun juga sama, menggunakan standar. Jika hanya ingin melihat Penanjakan saja baik Penanjakan Satu atau Dua hingga kawah Bromo maka hanya perlu merogoh kantong Rp. 300.000 untuk satu jip (dapat diisi enam orang, jika lebih maka perorangnya mendapat finalti bayar 25 ribu perorang). Namun jika ingin menikmati keindahan padang Savana atau biasa disebut bukit teletubbis maka anda dapat merogoh kantong lebih dalam lagi, Rp. 450.000. Aturan tersebut ditetapkan karena terlalu penuh jumlah penumpang di dalam jip dapat membahayakan keselamatan.
Saya acap kali diketuk malam-malam hanya karena kecelakaan yang dapat dicegah. Menuju Bromo hanya dengan sepeda motor dan tanpa persiapan mengenali medan, atau hingga yang terparah sebuah jip terguling di tingkungan. Berutung sekawanan mahasiswa asal Bandung yang berada di jip tersebut semuanya selamat walau harus dirujuk ke rumah sakit besar lantaran patah tulang. Pernah juga saya diserbu puluhan pecinta motor cross karena ada satu kawan mereka yang terjatuh, terdiam cukup lama hingga mendapat bantuan di malam gelap dan patah tulang cukup parah. Bahkan jika tidak bermasalah dengan kendaraan dan menyebabkan patah tulang, saya sering mendapatkan pasien sesak napas (asma) kambuh lantaran dinginnya Bromo. Terkadang, saya jadi gemas sendiri dengan budaya masyarakat Indonesia yang menginginkan perjalanan murah meriah tanpa mempertimbangkan kondisi diri.
Lebih Kreatif di Bromo
Terlepas dari rawannya Bromo dilewati oleh orang yang belum mengenal medan hingga menyebabkan kecelakaan, Bromo ternyata dapat memunculkan kreativitas yang lama terpendam. Buktinya adik-adik saya di komunitas Backpaker Indonesia ini dapat berpose unik dengan latar belakang padang savana. Berbagai gaya ini dapat anda contoh jika kembali mengunjungi Bromo dan jangan lupa kirim pesan supaya dapat saya jamu dengan kentang goreng khas Tengger.
Salam Tengger
Dr.Hafiidhaturrahmah
Pencerah Nusantara Tosari
[caption id="attachment_256780" align="aligncenter" width="300" caption="Bebaskan gayamu!"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H