Mohon tunggu...
Dokter Avis
Dokter Avis Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Anak

Saya dr. Hafiidhaturrahmah namun biasa disapa Avis, dokter umum dari FK Univ Jenderal Soedirman, dokter anak dari Univ Gadjah Mada. Awardee Beasiswa LPDP-PPDS Angkatan 1. Saat ini bekerja di RS Harapan Ibu Purbalingga. Monggo main di blog saya www.dokteravis.net

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sensasi Nyaris Mati: Enak Loh

11 November 2012   03:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:38 2166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurang lima menit lagi pukul 00.00.  Rasanya seperti menunggu seabad lamanya. Padahal dari 40 hari kesabaran menunggu, saya hanya tinggal melewati lima menit saja. Saya menarik napas panjang. Bahkan lucunya, saya sudah menuliskan surat wasiat di buku harian saya bahwa saya juga ingin ketika menghembukan napas nanti mendapat kehormatan disalatkan di masjid sekolah saya.  Ah, saya benar-benar seperti akan pergi jauh. Padahal waktu itu saya tidak tahu arti surat wasiat secara benar. Bahkan,orang tua saya masih tidak menyadari gelagat aneh ketakutan saya akan kematian ini.  Mungkin mereka menganggap telepon yang sering saya lakukan akhir-akhir ini sebagai ungkapan kangen belaka lantaran memang saya belum mudik ke kampung halaman cukup lama. Padahal setiap mendengar suara mama, papa, dan adik-adik di telepon, saya selalu merekamnya kuat dalam ingatan saya. Saya tidak ingin melupakan canda tawa kami sedikit pun. Saya ingin jika saya pergi dalam usia muda, mama dan papa mengingat saya sebagai anak pertama yang shalehah dan dapat dibanggakan, sama seperti adik-adik saya yang akan bangga bercerita ke anak cucunya nanti bahwa ‘itu kakak saya’.  Menyenangkan sekali rasanya mengingat bahwa ketakutan saya akan kematian membuat saya memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk lebih dekat dengan keluarga walau kami terpisah jarak.

Saya terus-terusan menatap jam beker imut saya di atas kasur tingkat. Maklum, di asrama saya dapat jatah kasur atas sehingga butuh tenaga sedikit bila harus memanjat. Namun, tenang saja. Saya dapat langsung terjun bila kondisi darurat tiba.  Jam beker pun berdering, tepat di jam saya berusia 17 tahun. Saya mencubit lengan dan ternyata rasanya sakit. Saya tidak bermimpi, saya masih hidup. Rasanya senang sekali. Bila tidak ingat tengah malam maka saya sudah melonjak-lonjak. Anak-anak asrama sendiri sedari awal sudah saya pesan untuk tidak merayakan jam 00.00 saya itu dengan neko-neko.

Batu besar ketakutan akan kematian itu pun lenyap. Beban besar di pundak saya terbang dan otak saya kembali mengembang menghirup oksigen bebas. Saat itu, saya menyebutnya sebagai resolusi diri saya pribadi. Saya bersyukur bahwa Tuhan masih memberikan saya kesempatan untuk hidup dan berbuat kebaikan. Saya berjanji untuk melakukan yang terbaik yang saya mampu sebagai wujud syukur saya atas karunia hidup gratis ini.

Sekarang, setelah 9 tahun berlalu dari masa revolusi itu, saya kembali diliputi tanda tanya, ke mana rasa takut atas kematian itu? Saya mengerti, ternyata Tuhan memberikan saya rasa takut agar saya belajar menghargai hidup dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Belajar dari rasa takut mati juga membuat saya belajar bahwa pertanda-tanda kematian tersebut akan dirasakan oleh alam sadar kita tidak seperti saya saat itu yang menghitung mundur 40 hari.

Tanpa saya sadari, 9 tahun menempuh perjalanan hidup menjadi mahasiswa kedokteran juga diajarkan tentang rasa kematian ini yang acap kali tidak saya tanggapi seperti kala dulu rasa kematian itu menyerang saya.  Ternyata, saya merindukan rasa ketakutan akan kematian tersebut sebagai pemacu untuk lebih baik lagi dalam waktu yang pendek ini.

Berawal dari kematian, diary zaman SMA ini merekam segala kisah itu. Bahkan saya masih dapat tersenyum jika membuka dan membacanya. Bahkan ketika saat menuliskannya penuh dengan masalah, sekarang saya dapat menikmati bahagianya membaca tulisan sendiri.

Masalah hanyalah ketika saya membaca atau mengingat kisah lama dan masih tersisa dongkolan di hati, bila hanya dijawab dengan tawa ringan artinya yang telah berlalu itu bukan masalah.

Terima kasih diary SMA saya juga beberapa diary SD juga SMP yang masih tersimpan rapi. Juga novel pertama saya bertuliskan tangan ganti episode setiap ganti lembaran buku berjudul "Diriku Kembali". Saya heran zaman SMP dulu sudah membuat novel laksana sinetron alay era sekarang. Syukurnya saya hanya remaja di kota kecil yang tidak mungkin ditemukan oleh penerbit buku sehingga menulis hanya menjadi hobi dan saya benar-benar bisa jadi dokter. Kalau dulu terpublikasi mungkin saat ini saya tidak jadi dokter.

Untuk Teh Cucu yang pertama kali menyapa hangat dan menjebloskan saya ke jurang CBF, membantu saya tetap berkomunikasi di kompasiana selama tugas di Sumba dengan sinyal amit-amit jabang demit. Saya selanjutnya bertemu gerombolan emak hebat Mb Edi, Mb Deasy, Mb Maria, Mb Icoel, Uni Fitri, Mb Christie, Mb Aulia, Mb Vema, Mb Yayat, Mb Olive, Bunda Siti, Mb Ira, Mb Winda, Mb Gratcie, dengan satu lelaki ganteng Om Valen.

Dari CBF saya juga bertemu para pemuda hebat dengan ide luar biasa seperti Ajeng, Marintan, Chea, Irul, Audya, Ulya, Disa, Rizki, Mas Heri dan membuat saya kenal para admin yang ganteng (muji dulu biar HL haha) Mas Isjet dan Nurul.

Tidak terlupakan pula saya bertemu para sesepuh Babeh Helmi, Babeh Dian, Om Thamrin, Om Taufik, Tante Ratna, Om Posma, Om Farid, Om Ninoy, Om Windu, Om Lokon, Tante Paku, Om Jay, Bunda Pipiet Senja, Kang Pepih, Om Chappy. Luar biasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun