Mohon tunggu...
Dokter Avis
Dokter Avis Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Anak

Saya dr. Hafiidhaturrahmah namun biasa disapa Avis, dokter umum dari FK Univ Jenderal Soedirman, dokter anak dari Univ Gadjah Mada. Awardee Beasiswa LPDP-PPDS Angkatan 1. Saat ini bekerja di RS Harapan Ibu Purbalingga. Monggo main di blog saya www.dokteravis.net

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sensasi Nyaris Mati: Enak Loh

11 November 2012   03:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:38 2166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diary yang mengingatkan saya akan zaman ketakutan itu muncul kembali. Ketika semunya diawali dari kelahiran, kali ini saya terdiam terhenyak ketika menuliskan bahwa semuanya akan berawal dari kematian. Saya mengulang kembali masa menjelang bertambahnya usia ke-17 yang pernah saya lewati saat SMA. Saya begitu takut dengan datangnya kematian, bahkan alasannya pun sangat sederhana bila saya kembali mengingatnya sekarang.  SAYA TAKUT MATI.  Hanya itu. Padahal jujur saat itu kondisi fisik saya sehat walafiat dan dukungan keluarga sangat baik ketika saya sekolah jauh di luar kota.  Teman-teman satu SMA termasuk teman-teman asrama saya pun sangat bersahabat.  Tidak ada masalah yang membebani saya. Kondisi saya yang normal tersebut terbilang aneh karena tiba-tiba saya takut mati.

Berawal dari kematian, 40 hari sebelum saya berusia 17 tahun, saya mulai menghitung waktu mundur. Dahulu saya meyakini bahwa orang yang akan mendekati ajalnya akan diberi tahu (entah oleh siapa) sehingga alam bawah sadarnya akan menunjukan sikap yang terbilang aneh. Semuanya mungkin tidak akan terlihat aneh lagi bila orang sudah yang melakukan beberapa pertanda kematian, seperti: meminta maaf dengan banyak orang atau sekadar berpetuah dan berkata-kata aneh, telah meninggal.  Sama seperti mbah saya yang 40 hari sebelum meninggal telah memberikan tanda-tanda tersebut dari ucapan dan perilaku. Herannya, saat itu saya tidak merasa ada pertanda bahwa saya akan mati ‘cepat’, namun ketakutan akan kematian begitu besar menghantui saya.

Hitungan mundur 40 hari pun saya mulai. Ibadah atau kebaikan yang biasanya hanya rutinitas kini menjadi berbeda dan isak tangis mewarnai setiap perjumpaan saya di waktu wajib dengan Tuhan.  Saya menjadi orang yang begitu takut untuk tidur, padahal sebelumnya saya terkenal paling jago untuk urusan tidur. Kapan saja dan di mana saja saya dapat tidur pulas. Saya takut ketika saya menutup mata untuk tidur, saya tidak akan dapat membuka mata kembali karena saya sudah berada di dimensi alam lain. Saya pun menjadi insomnia beberapa waktu lantaran kopi dan pengganjal selalu menemani saya supaya tidak tidur.  Perilaku saya pun mulai berubah seperti orang yang akan meninggalkan dunia. Saya minta maaf ke teman-teman dekat saya termasuk keluarga yang saat itu berada pada jarak tempuh 6 jam perjalanan darat.

Rasanya tidak enak sekali. Jantung saya sering berdetak lebih kencang dan lebih keras bila terkejut akan sesuatu yang sebenarnya tidak mengejutkan. Keringat dingin pun sering membanjiri kening saya. Entahlah, saya takut mati.  Saya merasa 17 tahun saya hidup waktu itu, saya belum cukup berbuat amal kebaikan. Saya takut sekali…. Saya takut mati…

Siang itu, ketika ketakutan saya bertambah, ulama kondang di kota saya wafat dan beliau didoakan terakhir kalinya di masjid agung sekolah saya.  Maklumlah, masjid tersebut merupakan masjid terbesar di Kota Solo dengan saka (tiang penyangga) tunggal sehingga bila memasukinya akan disuguhkan hamparan karpet hijau tanpa satu pun tiang di tengahnya. Aturan di sekolah saya jelas sekali, setiap mendengar azan maka aktivitas mengajar akan berhenti dan seluruh siswa, baik laki-laki maupun perempuan akan berbondong-bondong menuju ke masjid yang berada tepat di tengah sekolah saya, di depan halaman yang biasanya kami gunakan sebagai tempat upacara.  Rasanya nyaman sekali karena masjid berukuran 100 meter lebih tersebut akan penuh sesak oleh ratusan siswa mulai dari kelas satu sampai tiga. Belum lagi ditambah jumlah guru dan karyawan yang tidak sedikit.

Dan siang itu, kami tidak hanya menjalankan salat zuhur seperti biasa, melainkan juga ditambah shalat jenazah. Tiba-tiba saja iring-iringan warga membludak memasuki area masjid sekolah kami.  Seperti limpahan air bah saja.  Seorang ulama yang sangat kami hormati mengembuskan nafas terakhir dan sebagai salah satu pendiri sekolah kami pula, sang ulama berwasiat untuk disalati di masjid kami.

Peti jenazah yang diangkut oleh 6 orang sudah tampak dari tempat saya berdiri. Semua mata mulai sembab dan memerah. Jantung saya berdetak lebih kencang karena membayangkan bahwa seonggok daging di dalam peti jenazah itu adalah saya. Rasanya tidak mungkin sekali, saya yang begitu ketakutan menghadapi kematian tapi malah diperlihatkan oleh Tuhan suatu bentuk kematian khusnul khatimah di depan mata saya. Kaki saya pun gemetar hebat tatkala iring-iringan itu semakin mendekat dan kami, para siswa, harus bergeser untuk memberikan jalan masuk bagi sang jenazah. Pekikan kalimat indah berasmakan Tuhan selalu mendengung di bibir setiap orang yang datang untuk menyalatinya. Saya sudah tidak dapat menahan air mata lagi. Ia mengalir deras bersamaan dengan alunan merdu imam yang juga ustaz saya ketika membacakan takbir pertama. Empat gerakan takbir tidak mampu saya jalani tanpa air mata.  Saya iri, ya ini air mata ketakutan bercampur iri terhadap alim ulama yang saat meninggalnya disalati lebih dari dua shaf.  Entah berapa ratus doa terlantunkan untuk beliau.  Betapa bahagianya ketika meninggal ada banyak oang yang mengirimkan doa dan melepas kepergian kita dengan air mata.  Meninggal di usia 75 tahun dan di umur panjangnya dianugerahi kebaikan tiada tara. Saya iri.  Sangat iri. Bahkan, saya tidak dapat menjamin diri saya sendiri saat itu bahwa saya akan melewati usia 17 tahun dengan selamat.

Alunan doa menggema di seluruh sudut masjid begitu pun terhadap kami para siswa yang awalnya tidak begitu mengenal bahkan mungkin tidak ada satu pun di antara kami yang pernah bertemu dengan sang alim ulama. Namun, mendengar cerita singkat imam yang berkhotbah, kami  mengetahui bahwa ulama tersebut memegang peranan penting terciptanya sekolah islami yang juga mengabungkan sisi keilmuwan eksakta ini.

Subhanallah! Bukankah pahala amal jariyah yang tidak pernah putus adalah ilmu yang bermanfaat dan sekolah ini menjadi bukti bahwa ilmu beliau tidak akan pernah usang melainkan terus berkembang dan diturunkan dengan pahala berlipat ganda. Saya makin menciut, membayangkan perjalanan hidup saya yang 17 tahun belum ada seperkumannya dari beliau. Dan terpikir dalam otak saya, apakah nantinya akan mendapatkan ‘kemewahan’ iring-iringan dan doa seperti ini juga ketika kematian menjemput saya. Apakah orang-orang akan menangis mengiringi kepergian saya lantaran kebaikan saya atau malah mereka tertawa bahagia lantaran kematian saya mengurangi beban mereka. Otak saya dipenuhi berbagai macam pikiran di tengah ketakutan saya akan kematian.

Iring-iringan jenazah pun pergi meninggalkan masjid untuk dimakamkan di pemakaman yang jaraknya lumayan dari sekolah kami. Saya tidak ikut mengantarkan. Saya tetap di masjid sekolah sampai azan asar terdengar. Saya menikmati rasa ketakutan saya akan kematian dan tanpa sadar hampir seminggu lagi saya genap 17 tahun. Hitung mundur dari 40 hari yang saya jadwalkan terus dijalani hingga tengah malam menjelang usia emas tersebut, saya menghitung menit dan detik kematian.

Saya tidak tidur karena masih ketakutan tidak dapat membuka mata lantaran kematian sudah datang. Oh, sungguh ini tamu yang paling menakutkan dan tugas paling berat dari semua tamu atau tugas selama kurun waktu saya SMA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun