Tulisan ini saya tulis tahun 2009 ketika saya baru selesai praktek sebagai Cadet di sebuah perusahaan pelayaran untuk melaksanakan praktek Navigasi. Tulisan ini  sebagai awal dari visi saya ke depan  untuk mengajukan metode baru dalam penentuan waktu solat dan waktu puasa.
Catatan : beberapa informasi dalam tulisan ini masih memerlukan penguatan pembaharuan dan masukan, yang sedang saya garap.
---
PROPOSAL REKONSTRUKSI TAFSIR "FIQIH WAKTU" DAN ASTRONOMI
Oleh: Asep Soheh Irpan, A.Md, ANT-III
( Akademi Maritim Nasional Indonesia )
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah yang berfirman " Matahari dan bulan beredar dengan perhitung " ( Ar-rahman 55:05 ). Selawat dan salam kepada Nabi akhir jaman Kangjeng Nabi Muhammad SAW.
SEBUAH REFLEKSI
Tahun lalu ( 2008 ) menjelang bulan puasa, saya sedang mengarungi penjuru dunia di atas kapal ukuran panamax ( panjang 225.5 meter ) yang bergerak dalam perdagangan mutiara hitam ( baca: batu bara ) begitu para pelaut indonesia menyebutnya.
Sebagai seorang Cadet ( istilah bagi taruna yang berpraktek di atas kapal ) saya diembani tugas menentukan waktu solat dan arah kiblat setiap kali crew kapal yang beragama islam hendak mendirikan solat.
Sungguh ini pekerjaan yang menyenangkan sekaligus berat. Menyenangkan karena ini adalah tugas mulia yang dicintai Rasulullah SAW.
" Man dalla ila khairin falahu mitslu ajri ma fu'ila bih " ( Al-hadits : Kitab Mukhtaral-Hadits ) yang kira-kira berarti " barang siapa yang menunjukkan ( membantu ) kepada kebaikan, maka baginya pahala yang sama bagi pelaksananya ". Pekerjaan ini juga berat karena jika terjadi kesalahan perhitungan maka yang terjadi adalah bahwa saya telah menyesatkan sekitar dua dua puluh orang islam yang berada di atas kapal. Yang paling berat adalah tugas saya untuk menentukan waktu imsak dan waktu berbuka puasa setiap hari nya. Permasalahannya bukan masalah beratnya perhitungan, tetapi beratnya menghadapi konflik pemahaman yang mapan dengan pemahaman ijtihad saya (hipotesis pribadi)
Di atas kapal tidak terdapat standard waktu yang tetap seperti halnya di daratan. Jika di daratan digunakan hanya satu standar waktu maka di lautan bisa saja digunakan beberapa standard waktu. Hal ini disebabkan sifat kapal yang nomaden dari suatu tempat ke tempat yang lainnya. Suatu saat kapal akan berada di lintang yang rendah, dan saat lainnya bisa berada di lintang yang tinggi atau suatu saat berada di bujur tertentu dan saat lainnya berada di bujur yang berbeda. Hal ini menyebabkan kapal selalu berpindah dari suatu daerah waktu tertentu ke daerah waktu lainnya sehingga ditetapkanlah Waktu Menengah Kapal ( local Mean Time ), yaitu waktu yang diukur dari edaran harian matahari menengah sepanjang ekuator angkasa, yang dialami kapal.
Di dalam ilmu astronomi yang saya pelajari di kampus terdapat tiga jenis matahari:
1.Matahari Sejati, bergerak sepanjang ekliptika dengan kecepatan tidak teratur
2.Matahari Bantu, bergerak sepanjang ekliptika dengan kecepatan teratur
3.Matahari Menengah, bergerak sepanjang ekuator angkasa dengan kecepatan teratur.
Matahari menengah lah yang digunakan dalam perhitungan waktu di bumi yang oleh karena itu pula patokannya disebut Greenwich MEAN Time ( GMT ) yang dalam perkembangannya mengalami perubahan menjadi UTC ( Co-ordinated Universal Time ) yaitu standard waktu umum yang dikoreksi pada frekuensi gelombang radio tertentu dalam radio astronomi.
Pemilihan Matahari Menengah sebagai patokan bukanlah tidak beralasan, melainkan berdasarkan perhitungan yang sangat teliti. Pada kodratnya manusia hanya dapat mengamati matahari dari permukaan bumi yang pada akhirnya menimbulkan sebuah persepsi pergerakan matahari maya. Pergerakan matahari maya ini lah yang disebut matahari menengah. Bahkan di dalam literatur islam terdapat beberapa ayat al-qur'an yang menguatkan bahwa matahari sebagai dasar perhitungan waktu. Allah berfirman dalam surat ar-rahman ayat 05:
" Matahari dan bulan beredar dengan perhitungan " ( Ar-Rahman 55:05 )
Dalam sebuah software yang diasuh oleh Samir Alicehajic di Croasia, lafadz BIHUSBAAN diterjemahkan ke dalam bahasa inggris Courses Exacly Computed. Dari sini jelas bahwa penggunaan matahari menengah sangatlah tepat dalam perhitungan waktu karena matahari menengah bergerak sepanjang ekuator angkasa ( relatif terhadap bumi ) secara beraturan ( Bihusbaan : Exactly Computed).
Semuanya ini bagi saya yang berada di atas kapal bukannya tanpa masalah, melainkan menimbulkan masalah yang sangat krusial mengingat sifat kapal yang berpindah-pindah tempat dan gerakan relatif matahari terhadap bumi. Menurut Hayfold, nilai kepipihan bumi adalah 1/297 sehingga dengan bentuknya yang demikian mengakibatkan gerakan relatif matahari yang berbeda-beda untuk setiap tempat di permukaan bumi.
BENTURAN DENGAN FIQIH ISLAM
Dengan gerakan matahari maya yang relatif terhadap bentuk bumi maka terdapat perbedaan waktu sunset dan sunrise di tiap tempat di permukaan bumi. Dia daerah lintang yang lebih dari 23-30' U dan 23-30' S, matahari dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat dan dapat tenggelam lebih cepat atau lebih lambat. Bahkan untuk lintang 66-30' U dan 66-30' S terdapat waktu waktu di mana matahari tidak muncul ke permukan atau matahari tidak pernah tenggelam. Keadaan ini di dalam ilmu astronomi disebut matahari mengalami sirkumpolar yaitu matahari berada di bawah cakrawala atau berada di atas cakrawala dalam waktu lebih dari 360 derajat edaran matahari tehadap ekuator angkasa.
Dalam konteks islam terdapat ritual yang sangat penting yaitu Solat Lima waktu dan Puasa Wajib selama bulan ramadhan yang pelaksanaannya sangat tergantung pada terbit dan tenggelamnya matahari. Allah berfirman dalam surah Al-isra ayat 78:
" Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan ( laksanakan pula shalat ) shubuh. Sungguh shalat shubuh itu disaksikan oleh malaikat "
Di dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa lafadz "Lidulukisy-Syamsi " berarti "lighuruubihaa" Â yaitu tenggelamnya matahari. Mengenai gelapnya malam, sebuah riwayat dalam Shahih Bukhari-Muslim, hadith nomor 599 & 600 yang juga merupakan asbabun-nuzul dari ayat al-qur'an surat Al-Baqarah ayat 187:
Ketika turun ayat ( Al-Baqarah Ayat 187 ): ".......Makan dan minumlah hingga jelas bagimu ( perbedaan ) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.............."
Maka Adi bin Hatim berkata kepada Rasulullah SAW: "Wahai Rasulullah sesungguhnya saya meletakkan benang putih dan benang hitam di bawah bantalku, sehingga saya dapat mengenali antara waktu malam dan siang hari. Rasulullah bersabda: sesungguhnya bantalmu itu sangat lebar.Sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya ( gelapnya ) malam dan putihnya ( terangnnya ) siang pada saat fajar.
( Shahih Bukhari-Muslim No. 599&600 )
Di dalam ilmu astronomi, waktu fajar bertepatan dengan Astronomical Twilight ( Senja Astronomis ), yaitu ketika matahari sejati berada kurang lebih 18 derajat di bawah cakrawala menjelang sunrise. Jadi makna fajar bukanlah terbit matahari sebagaimana seringkali disalah-fahami oleh orang yang awan dengan fiqih. " ah makan aja terus...belum keliatan matahari kok.." Â begitu kira-kira yang sering didengar.
Namun yang menjadi permasalahan adalah bahwa tidak ada waktu yang sepakat di seluruh permukaan bumi mengenai Astronomical Twilight atau Fajar.. Selalu saja terdapat perbedaan antara satu tempat dengan tempat lainnya yang disebabkan oleh bentuk permukaan bumi yang bulat.
Di belahan bumi dengan lintang yang tinggi bisa saja matahari baru terbit pukul sepuluh pagi dan sudah tenggelam pada pukul empat belas. Atau bisa saja matahari sudah terbit pada pukul empat pagi dan baru tenggelam pada pukul dua puluh. Terdapat perbedaan lamanya siang dan lama nya malam di permukaan bumi padahal mereka berada dalam kerangka waktu yang sama. Bayangkan jika anda berada di lintang 70 U yang selama bulan Juni tidak mengalami malam, apakah anda akan tetap berpuasa selama itu jika kebetulan bertepatan dengan bulan puasa?. Atau misalnya anda berada di lintang 50 Selatan yang siang harinya dapat mencapai dua puluh jam lamanya?. Atau anda berada pada lintang 60 U yang lamanya siang dapat saja hanya 4 jam?.Â
Terdapat ketidak adilan di sini. Padahal islam adalah rahmatan li-alamin yang akan selalu layak di semua tempat dan semua waktu.
Mari kita melirik kembali firman Allah dalam surah Al-isra ayat 78:
" Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan ( laksanakan pula shalat ) shubuh. Sungguh shalat shubuh itu disaksikan oleh malaikat "
Beberapa orang memahami bahwa illah ( Causa Legal ) dari solat dalam ayat tersebut adalah karena tergelincirnya matahari, tenggelamnya matahari dan terbitnya matahari. Melirik keadaan di atas tadi timbul pertanyaan:
" Apakah tidak ada solat ketika tidak ada matahari?" ( misalnya pada saat matahari sirkumpolar di bawah cakrawala )
Demikian pula:
" Apakah tidak ada puasa ketika tidak ada siang?"
Atau
" Apakah manusia harus mati karena kelaparan selama enam bulan?" ( misalnya matahari sirkumpolar atas )
Jika demikian di mana letak Universalitas Islam?
" Apakah adil ketika sebagian orang berpuasa hanya selama lima jam sementara yang lainnya berpuasa hingga dua puluh jam?
Lantas di mana letak keadilan islam?
Yang harus anda lakuakan adalah: LANJUTKAN MEMBACA ARTIKEL INI.
KONSEP " TIMUR-BARAT" VERSI ULAMA VS ASTRONOMI
Para ulama dan pada umumnya masyarakat sering salah memahami konsep arah barat dan timur. Di dalam alquran terdapat beberapa terma yang "dianggap" merepresentasikan konsep barat dan timu. Misalnya dalam surat Ar-Rahman ayat 17:
" Tuhan ( yang memelihara ) dua timur dan Tuhan ( yang memelihara ) dua barat "
( Ar-rahman 55:17 )
Sesungguhnya yang dimaksud dengan Masyriqain bukanlah timur melainkan " tempat terbit matahari " dan maksud Maghribain bukanlah barat melainkan " tempat matahari tenggelam".
Maha suci Allah yang memiliki rahasia yang begitu dalam.
Sungguh Allah menurunkan ayat al-qur'an dengan bahasa arab supaya orang arab mengerti. Sungguh Allah menurunkan firman dalam bahasa manusia karena firman allah tidak memiliki bahasa. Sungguh allah menurunkan ayat dalam sekemampuan pemahaman manusia.
 Mari kita perhatikan ayat berikut:
" ( Dia-lah ) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu........"
( Al-Baqarah 02:22 )
Hamparan!! Bukankah science membuktikan bumi itu bulat, bukan hamparan?. Jangan berang dahulu. Kata bagimu dalam lafadz aselinya adalah lakum. Bumi dijadikan sebagai hamparan bagimu. Bagimu adalah hamparan meski sebenarnya, hakikatnya adalah bulat. Di mata kasatmu adalah hamparan. Maha suci Allah.
Sengaja Allah menggambarkan bumi sebagai hamparan bukannya sebagai bola karena pada jaman jahiliyah, orang arab masih sangat bodoh. Itulah toleransi dari Allah untuk akal dan otak manusia. Betapa akan tercenganglah orang arab pada saat itu jika disebutkan kepadanya bahwa bumi itu bulat. Mungkin mereka aka berkata: " wah....mata Muhammad sudah minus 7! Masak bumi yang menghampar begini dibilang bulat?!". Begitulah kasih Allah kepada akal manusia. Mereka dibiarkan mencari mengenai sains dan nantinya mereka akan mengetahui yang sebenarnya bahwa bumi bulat ( sebenarnya agak bulat dengan kepipihan 1/297 -- Hayfold ).
Dalam konteks timur-barat, Allah menyebutkan bahwa matahari terbit dan tenggelam di Masyrik dan Magrib. Sesungguhnya demikianlah adanya. Matahari terbit dan tenggelam di tempat terbit dan tenggelamnya. Dalam literatur arab, tidak terdapat relevansi bahasa untuk TIMUR ( EAST ) dan BARAT ( WEST ). Yang ada hanyalah MASYRIK dan MAGRIB yang sebenarnya bukan TIMUR dan BARAT.
Allah memahami bahwa sesungguhnya titik timur dan titik barat yang ada di dalam jargon Astronomi itu telah ada. Akan tetapi jika hal itu disampaikan kepada bangsa arab saat itu, mereka akan tercengan sama halnya jika dikatakan bahwa bumi itu bulat.
Para ulama memahami masyrik dan maghrib sebagi timur dan barat. Ini isyarat bahwa pemahaman timur dan barat akan ada dalam kebudayaan ilmiah manusia. Allah telah mengetahuinya sejak awal. Dengan menyebut masyrik dan maghrib, telah cukup bagi Allah menyampaikan timur dan barat. Saya katakan kepada anda: sebenarnya yang Allah maksud adalah timur dan barat, bukan masyrik dan maghrib. Akan tetapi konsep timur dan barat belum ada dalam kebudayaan ilmiah bangsa arab saat itu.
Jadi terdapat inversi pemahaman. Timur dan barat yang dimaksud oleh ulama adalah masyrik dan maghrib, padahal sebenarnya dengan masyrik dan maghrib lah Allah mengisyaratkan timur dan barat.
Di dalam Astronomi istilah TIMUR dan BARAT digunakan untuk menamai sebuah titik maya yang merupakan dua titik potong antara lingkaran cakrawala dengan lingkaran ekuator pada bola angkasa. Matahari akan tenggelam dan terbit pada titik ini hanya jika matahari tepat berada pada lingkaran ekuator angkasa atau dengan kata lain memiliki deklinasi ( zawal ) sebesar nol derajat yaitu pada tanggal 21 maret dan 22 september untuk tiap tahunnya. Dalam keadaan ini lamanya siang dan malam di khatulistiwa adalah saman ( Equinox ). Meskipun demikian untuk daerah sekitar khatulistiwa ( antara 23-30' U -- 23-30' S ) hampir dapat di klaim bahwa panjang malam dan siang hampir sama.
SOLUSI TAFSIR ISLAM DALAM KONSEP FIQIH WAKTU
Ketika masuk ke dalam praktik ritual mahdhoh solat lima waktu dan puasa, maka masalah pemahaman mengenai timur dan barat sangatlah penting. Kedua ayat penting di atas yaitu Al-Baqarah : 187 tentang waktu fajar dan Al-Israa tentang waktu solat perlu dipahami secara kontekstual. Patokan waktu solat dan berpuasa bukanlah matahari menengah untuk setiap tempat melainkan matahari menegah yang tenggelam di titik timur dan titik barat astronomis bukan timur dan barat masyrik dan maghrib setiap tempat karena masyrik dan magrib di suatu tempat tertentu bisa merupakan titik Utara atau Titik selatan.
Perlu dipahami bahwa lafadz masyrik dan maghrib di dalam al-qur'an adalah bermakna titik timur dan titik barat. Menilik mukhatab pada saat itu adalah bangsa mekkah yang letaknya nota bene masih berada pada daerah khatulistiwa ( lintang 21 dejat 28 menit 3 detik ) maka Allah pun memberikan standard waktu solat dan puasa nya dengan matahari karena memang matahari di daerah arab akan terbit dan tenggelam hampir pada titik timur dan titik barat setempat. Daerah lainnya di permukaan bumi harus mengikuti standard waktu yang demikian.
KESIMPULAN
Dari semua keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa perlunya standard waktu secara universal dalam penentuan waktu solat dan waktu berpuasa di permukaan bumi. Yang paling mungkin adalah dengan menggunakan Local Mean Time sebagai patokan.
Misalnya dua buah tempat di permukaan bumi memiliki posisi lintang yang berbeda tetapi memiliki bujur yang sama. Tempat A berada di khatulistiwa dan tempat B berada di lintang 60 derajat. Apabila patokan matahari yang digunakan maka pasti terdapat selisih waktu terbit dan terbenam antara kedua tempat tersebut.
Akibatnya ada tempat yang siangnya lebih lama dan ada yang lebih lambat. Apabila ini yang digunakan dalam penentuan waktu solat atau puasa maka terdapat ketidak adilan dalam syari'at. Bahkan bisa saja tidak terdapat solat tertentu samasekali atau puasa samasekali jika matahari sebagai patokan.
Oleh sebab itu penggunaan Local Mean Time sangat baik. Dalam contoh di atas waktu solat dan puasa di tempat B tetap mengikuti waktu solat dan puasa di tempat A. dengan demikian akan ada keseragaman waktu solat di semua tempat dengan bujur sama sehingga terdapat keadilan dalam syari'at. Itulah yang dimaksud dengan ayat di atas, yakni : "DIRIKAN SOLAT SESUAI WAKTU TERGELINCIR MATAHARI MENENGAH DI DAERAH KHATULISTIWA DAN TENGGELAMNYA MATAHARI MENENGAH DI TITIK BARAT DAN TERBITNYA MATAHARI MENENGAH DI TITIK TIMUR"....DAN...." MAKAN DAN MINUM SAMPAI TERLIHAT FAJAR DI DAERAH KHATULISTIWA ".
Demikian pemikiran saya. Ini bukan fatwa dan bukan ijtihad saya di darat tetapi ijtihad saya ketika tidak ada kekuasaan tertinggi di kapal kecuali kapten kapal.
Wassalam.
Semarang 06 Agustus 2009
Oleh: Asep Soheh Irpan, A.Md, ANT-III
( Akademi Maritim Nasional Indonesia )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H