Jika dilihat dari sistem ekonomi, dinamika sistem politik sangat berpengaruh terhadap stabilitas perekomian di suatu negara. Oleh sebab itu, keselarasan antara sistem politik dengan perekonomian menjadi persoalan vital bagi suatu negara. Konsep ini berkorelasi dengan sistem demokrasi liberal dimana setiap negara pasti menginginkan stabilitas politik guna mendukung pembangunan perekonomiaan. Lantas bagaimana dengan Tiongkok ?, negara yang mengkorelasikan sistem ganda dalam menjalankan sistem ekonomi politiknya.
Jika dilihat dari kacamata ekonomi liberal, Tiongkok memiliki keunikan dimana adanya sistem komunisme dan kapitalime dalam dinamika ekonomi politik. Keduanya memiliki prinsip yang bertentangan hingga nyaris tidak bisa dikolaborasikan. Namun, hal ini berhasil dipatahkan oleh negara Tirai Bambu ini yang justru berhasil meraih kejayaan atas keunikan tersebut. Dari sisi komunisme, konsep ini mengedepankan kesejahteraan rakyat dengan memperhatikam stabilitas politik yang menolak adanya kelas sosial. Berbanding terbalik dengan kapitalisme, lebih mengedepankan kebebasan kontrol individu, kepemilikan, keuntungan individu yang menyebabkan adanya kelas sosial di masyarakat. Dengan begitu, apa yang landasan central Tiongkok yang berani mengelaborasikan dua sistem tersebut hingga mencapai penguasa ekonomi dunia?
Pertama, dinamika perkembangan politik di Tiongkok sangat menarik dimana masih mengandung nilai filosofis dari zaman dinasti kuno. Sebagai negara yang terlahir secara monarki, sudah tidak mengherankan lagi bahwa sejak ribuan tahun lalu Tiongkok memiliki peradapan dengan eksistensi hingga saat ini. Demikian pula, Tiongkok juga sudah mengalami pasang surut pergantian kekuasaan sistem politik sehingga dalam perkembangannya sudah mengantongi berbagai pengalaman. Oleh sebab itu, pengalaman adaptif yang telah berhasil dilalui Tiongkok dijadikan sebagai bekal dalam menghadapi dinamika perkembangan ekonomi global.
Kedua, ideologi yang dianut oleh masyarakat Tiongkok sejak ribuan tahun yaitu Filsafat Konfusianisme. Hal tersebut sebagai jati diri masyarakat Tionghoa yang beranggapan bahwa kehidupan setiap manusia lebih bermakna jika hidup di tengah masyarakat yang saling menggantungkan tidak mementingkan diri sendiri. Budaya kokoh masyarakat terhadap Konfusianisme ini telah menjadi senjata Tiongkok dalam menghadapi arus globalisasi. Tidak hanya itu, budaya masyarakat    ini menjadi inspirasi Tiongkok untuk berani dalam menyingkronkan arus globalisasi tanpa adanya ketakutan akan tergerusnya jati diri bangsa dengan adanya perkembangan yang berkelanjutan.
Ketiga, hal yang tidak kalah penting yaitu controlling dari elite politik di Partai Komunis Tiongkok, Dalam menghadapi dinamika ekonomi politik yang tidak bisa ditebak di era globalisasi ini, pemerintah Tiongkok telah melakukan pembaharuan kebijakan yang bersifat fleksibel melalui berbagai teknologi dan informasi. Sehingga perkembangan perekonomian Tiongkok lebih efisien dalam mendominasi pasar global.
Kunci dari ketiganya unsur tersebut dilandasi dengan adanya katalisator yang berpenran penting dalam mengelaborasikan penerapan kedua teori tersebut. Menurut Gauda King, Katalisator adalah suatu kelompok intelektual yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan dinamika perubahan politik hingga zaman sekarang. Hingga adanya filosofi yang mengatakan "Tuntutlah Ilmu sampai ke Negeri Cina" makna peribahasa tersebut menggunakan negeri Cina sebagai patokan untuk mencari ilmu. Hal ini dikarenakan sebelum ilmu pengetahuan berkembang, Cina sudah memiliki peradapan yang tinggi dikarenakan banyaknya kelompok ilmuwan dan cendikiawan yang terus menganalisis sejarah politik Tiongkok. Sehingga teori politik Tiongkok terlahir dari nilai intelektual yang canangkan oleh para Katalisator.
Dengan begitu, The End of Ideology Tiongkok yaitu sistem ekonomi kapitalis dengan politik komunis versi Tiongkok. Keunikan komunis Tiongkok dibandingkan dengan Uni Soviet terletak pada praktek Kapitalisme. Tidak bisa dinafikan lagi, Kapitalisme sendiri sudah menjadi sistem akut dari kehidupan sosial masyarakat Tiongkok. Sejatinya sistem kapitalis versi komunis yang dicanankan oleh Tiongkok sangat diimbangi dengan paham kesejahteraan. Dengan demikian, kemajuan Tiongkok dalam perekonomian telah diramalkan National Intelligence Council bahwa Tiongkok akan menjadi negara ekonomi terbesar dunia dalam beberapa waktu ke depan. Ramalan tersebut didasarkan pada nilai intelektual rakyat Tiongkokmdalam menafsirkan sistem perekonomian global. Meskipun di tengah ambivalensi, Tiongkok tetap memegang teguh nilai kesejahteraan bersama tanpa menganggap kapitalisme sebagai suatu problematika global. Jika imajinasi terus bergeliat dan menerka-nerka akankah Indonesia dapat menguasai dunia? Kapan masa itu tiba?
Referensi
Khing, T. D. (2012). Komunisme di Tiongkok (Pertama ed.). Yogyakarta, Indonesia: Buku Litera. Dipetik Maret 10, 2023, dari https://eprints.umm.ac.id/42532/18/Effendi%20-%20Keberlanjutan%20Komunisme%20Tiongkok.pdf
McDonell, S. (2021). Mengapa Xi Jinping memimpin China kembali ke sosialisme setelah berkembang dalam 'kapitalisme versi Tiongkok'. (T. BBC, Penyunt.) Sosial Politik. Dipetik Maret 11, 2023, dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-58663220
Firhandika. (2020, Oktober 29). Menyibak Ambivalensi Ideologis: Geliat Kapitalisme dalam Komunisme China. (I. N. Ishlah, Penyunt.) Dipetik Maret 11, 2023, dari https://lpmopini.online/%EF%BB%BFmenyibak-singkat-ambivalensi-ideologis-geliat-kapitalisme-dalam-komunisme-china/