Mohon tunggu...
Avif Fernanda
Avif Fernanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa biasa

Jika saya adalah seorang penulis, maka saya akan menulis bio lebih baik daripada ini :)

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Mengejar Fajar ke Goa Cemara

7 Juni 2021   21:46 Diperbarui: 8 Juni 2021   16:45 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rimbunan pohon cemara itu berjajar rapi membangun kanopi yang mampu meredam teriknya sinar mentari. Tak ayal orang-orang lantas menyebut tempat itu sebagai gua daripada wujud aslinya yang sesungguhnya.

Perjalanan saya mengejar fajar bermaksud untuk mencari damai di antara sejuknya embun-embun pagi. Dengan mengendarai kendaraan roda dua sembari menancapkan headset di telinga.

Saya kembali menjadi seorang petualang penyendiri yang berusaha menggali arti di tengah kesunyian alam duniawi. Bertujuan ke selatan Jogja atau lebih tepatnya ke daerah Bantul bagian selatan, kali ini saya mengalamatkan destinasi wisata ke Goa Cemara.

Sesuai dengan judulnya, saya mengambil perjalanan ini di kala pagi setelah subuh. Selain untuk menikmati hawa pagi yang masih sejuk, juga untuk menghindari kebiasaan tidur pagi yang meski nikmatnya aduhai namun katanya bisa membuat rezeki seseorang hilang dipatok ayam. 

Dari situ saya pun menyiasatinya dengan mengubah liburan saya dari yang sebelumnya mengarungi pulau kapuk yang empuk diganti dengan menjelajahi pagi ke Goa Cemara yang sejuk.

Goa Cemara ini terletak di Patihan, Gadingsari, Sanden, Bantul, Yogyakarta. Untuk mencapai tempat ini sangat gampang, tidak perlu kelokan yang berbelit-belit dan buka tutup google maps yang kadang bikin njelimet. 

Cukup hanya dengan mengikuti jalan siratal mustakim alias asal lurus saja mengikuti Jalan Bantul ke arah selatan niscaya kita akan sampai ke tempat tujuan. 

Dengan menempuh waktu sekitar 30 menit berkendara dan tak lupa ditemani senandung merdu lagu folk dalam negeri khas anak indie, saya melaju bersama motor kesayangan saya membelah pagi demi mengejar kedamaian yang hakiki.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Kala hampir mendekati lokasi tujuan wisata, terdapat pos retribusi sebagai gerbang masuk menuju alam surgawi di seberang sana. Biasanya para pelancong perlu merogoh kocek sekitar 5.000 rupiah untuk mobil dan 3.000 rupiah untuk motor agar bisa masuk ke daerah wisata. 

Akan tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi anak soleh seperti saya. Rezeki pagi hari dengan tidak lanjut molor seusai subuh tadi benar-benar membuat rezeki saya tidak jadi hilang dipatok ayam. 

Kejadian ini terbukti ketika saya tidak perlu repot-repot membayar pajak retribusi untuk sampai ke destinasi. Hal ini dikarenakan pada saat itu hari masih sangat pagi, sehingga para petugas retribusi yang berjaga masih belum siaga di posisi. 

Sebenarnya saya sudah berniat baik dengan menunggu sejenak para petugas agar bisa membayar pajak sebagai contoh warga negara yang baik, namun apa daya petugas belum ada jadi saya lanjut saja melanglang buana sambil terkekeh bahagia tanpa kehilangan sepeserpun dana di dompet saya.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Setelah melewati gerbang retribusi tanpa hisab, kehadiran saya langsung disambut panorama eksotis sisa-sisa kabut di kala pagi bersama mentari dan deretan pegunungan di sudut timur bumi dengan hamparan sawah hijau nan asri layaknya masuk ke alam surgawi. 

Setelah itu terdapat satu lagi jalan siratal mustakim yang membentang lurus di area ini sepanjang sekitar 2 kilometer yang lebih dikenal sebagai Jalan Lintas Selatan. 

Jalur ini sering dijadikan salah satu spot foto kekinian dengan berpose di tengah-tengah jalan. Selain itu banyak juga orang-orang yang melakukan aktivitas olahraga di jalur ini seperti berlari dan bersepeda. 

Di kiri-kanan terdapat pemandangan berbagai kebun dan ladang, termasuk kebun bunga, namun sayang ketika saya berkunjung kali itu kebun dan ladang sedang pada masa permulaan tani dan pemupukan lahan sehingga aroma yang kurang sedap tercium dari pupuk-pupuk yang digunakan. 

Mungkin lain kali ketika singgah lagi ke tempat ini, alangkah baiknya pada saat masa tani tidak sedang mulai melainkan pada saat kebun dan ladang telah merekah sempurna dalam pesona hijaunya yang memukau.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Di Jalan Lintas Selatan itu terdapat sederet lokasi-lokasi wisata. Goa Cemara terletak di bagian agak menengah di antara lokasi-lokasi wisata tersebut. Saat masuk ke sini, saya hanya dikenakan biaya parkir saja, tidak ada biaya tambahan yang aneh-aneh. 

Pertama kali masuk kita akan disambut dengan ikon bangunan berbentuk spiral setengah lingkaran dan bertuliskan Pantai Goa Cemara dengan diapit oleh dua patung penyu. 

Adanya dua patung penyu ini menggambarkan konservasi pelestarian penyu yang rutin dilakukan di tempat ini. Di belakang ikon bangunan Goa Cemara juga terdapat area parkir yang cukup luas. Jadi bagi yang ingin membawa kendaraan dengan roda lebih dari dua tidak usah khawatir. 

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Bagi saya pribadi ini merupakan kali kelima saya berkunjung ke tempat ini. Saya ingat betul ketika pertama kali datang kesini merasa ditipu oleh nama tempatnya yang saya terima secara mentah-mentah dengan nama Goa Cemara. 

Awalnya yang literally saya kira gua, ternyata bermetamorfosa jadi pantai penuh pohon cemara. Alhasil salah tafsir saya di awal itu membuat saya ber"owalah" ketika sudah tahu wujud asli dari nama tersebut.

Sesuai dengan namanya yakni Goa Cemara, pantai ini dipenuhi oleh rerimbunan pohon Cemara Udang yang berjejer rapi. 

Rindang daunnya yang saling bertubrukan dari satu pohon ke pohon lainnya mampu membentuk kanopi yang menawarkan keteduhan bak melintas di lorong gua. Dari sinilah orang-orang sekitar kemudian menyebut tempat ini dengan nama Goa Cemara. 

Terlebih cemara-cemara yang tertanam rapi di sepanjang bibir pantai ini jumlahnya juga tak kurang dari 7.000 buah. Pohon cemara dengan jenis Cemara Udang ini tercatat telah memenuhi lahan seluas 20 hektar yang ada di sepanjang pantai.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Beranjak ke selatan untuk menuju bibir pantai dengan menyusuri rindangnya bayang-bayang di sepanjang jalan yang dinaungi atap-atap daun cemara mampu memayungi diri dari terik mentari yang cukup menyengat di musim kemarau saat ini.

Terlebih bagi kaum yang takut kulitnya gosong terpanggang matahari, sensasi teduh Goa Cemara ini tentu bisa menjadi daya pikat tersendiri. Tidak hanya teduhnya saja, tetapi juga lekukan-lekukan unik dari batang-batang cemara tersebut sering dijadikan serba-serbi sarana berswafoto dengan berbagai gaya maupun keperluan. 

Ada beberapa orang yang mengabadikan foto dengan pernak-pernik atribut ala selebgram lengkap dengan make up dan tata riasnya, ada juga yang mengambil potret dengan segala kesederhanaan yang ada namun tetap penuh rasa bahagia dan suka cita, bahkan tak jarang pula ada yang menangkap momen demi keperluan pesta di meja pelaminan. 

Hembusan angin laut selatan yang mampu menerbangkan helai-helai mahkota rambut dan gaun-gaun busana ketika berfoto semakin menambah estetika tanpa harus bersusah payah mencari kipas angin untuk menerbangkannya. 

Selain itu, terdapat gubuk-gubuk cantik di sepanjang jalan menuju bibir pantai yang menyajikan berbagai masakan laut (seafood) yang dapat dinikmati sembari mencuri pandang pada gemulainya daun-daun cemara yang diterpa angin. Bahkan terkadang ada konser pagelaran lokal yang digelar untuk memeriahkan suasana pantai.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Sesampainya di bibir pantai, deburan ombak terdengar menyapa dengan riuhnya, memecah kepenatan yang meradang sesak di kepala. Birunya luas samudra hingga ujung cakrawala terpampang nyata lewat rekaman mata.

Sontak membuka ruang untuk sejenak merebahkan beban hidup yang dipikul di dunia lalu melemparkannya ke kedalaman samudra. 

Hanya lewat tatapan mata, memandang lurus ke kaki angkasa, garis kebiruan itu memukau setiap manusia, mengingatkannya kembali akan makna sebuah kebebasan yang kini telah direnggut oleh tamaknya hiruk pikuk duniawi.

Suasana yang tidak terlalu ramai semakin membawa setiap pendarmawisata untuk hanyut dalam ruang sunyi, diam penuh khidmat mengilhami simfoni alami di antara desir sejuk angin yang berbisik tiada henti. 

Barisan pohon cemara berjajar rapi di sepanjang pantai menjadi payung bagi setiap insan agar betah berlama-lama memandang horizon di batas bumantara. 

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Tidak hanya sebagai payung peneduh, rindang cemara-cemara itu juga menjadi tempat berkumpul dan berekreasi untuk menjalin canda tawa ataupun obrolan ringan perekat tali kekeluargaan maupun persahabatan. 

Bahkan tak jarang turut menjadi pos penjaga bagi para orang tua untuk mengawasi buah hati mereka agar tidak terlalu asyik bermain hingga menjorok ke laut.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Pada ujungnya panggung alami ini seakan menghipnotis para penikmatnya untuk enggan buru-buru mengangkatkan kaki. 

Sejuk teduh yang terjalin menjadi satu memahat memori pada makna nama Goa Cemara yang akan selalu terpatri dalam hati. 

Meski begitu saya pun tetap harus pamit undur diri karena tak terasa sang surya telah menyingsing tegak di kepala, yang mana menandai telah berakhirnya pengejaran saya pada sang fajar ke Goa Cemara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun