Mohon tunggu...
steven kambey
steven kambey Mohon Tunggu... Ilmuwan - Tulisan adalah kata yang abadi

Mencintai Kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Paralogi: Kritik yang Sesat Pikir

17 Mei 2019   15:14 Diperbarui: 17 Mei 2019   15:26 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber https://dipomojosari.blogspot.com 

Kita sebut saja PARALOGI....
Kritik yang sesat pikir....

Immanuel Kant melahirkan kritisisme sebagai alternatif jalan pencapaian kebenaran yang sebelumnya telah mapan pada rasionalisme dan empirisme.

Kantianisme dengan metode analisis kritisnya menciptakan dorongan untuk menguraikan kembali segala hal, membentuknya kembali dan jika mungkin menciptakan yang baru.

Sifat relativitas pada kebenaran dipandang sebagai peluang untuk menyandingkannya dengan alternatif kebenaran lainnya.

Peradaban dikembangkan melalui koreksi terhadap fundamental paradigma kebenaran umum yang telah diyakini berabad-abad. Masyarakat diantar untuk berpikir radikal mempertanyakan esensial dan eksistensial dari setiap fenomena yang ada.

Kantianis dengan perspektif kritisismenya telah mewarnai sejarah peradaban manusia.  Sangat banyak kebijakan dan kebajikan baru yang dihasilkan untuk kebaikan umat manusia.

Lompatan-lompatan budaya dan teknologi mengakibatkan fundamen cara hidup dan pandangan manusia berubah sangat cepat. Seakan tak ada waktu lagi untuk menguji sebuah kebaruan. Ukuran kebenaran diletakkan pada kebaikan dan kualitas kebaikan ditentukan oleh seberapa besar penerimaan masyarakat terhadap suatu hal.

Kemajuan peradaban membuat hidup manusia semakin mudah sekaligus semakin rentan untuk menjadi bias kebenaran. Tak peduli suka atau tidak, masyarakat dipaksa masuk dalam alam pragmatis.

Jejak kritisisme dalam sejarah meninggalkan catatan penting untuk diperhatikan dan direnungkan. Tidak selalu mendatangkan kebaikan, kritisisme justru meninggalkan residu negatif bagi masyarakat.

Pada momen-momen dikala terjadi pertautan antara kritisisme dengan pragmatisme selalu menghasilkan paradigma yang buruk kualitas bahkan cenderung dusta. Analisis kritis tidak lagi dilakukan dalam framework metodologi ilmiah namun hanya berdasar pada asumsi semata bahkan tanpa data dan fakta.

Pencapaian kebenaran kehilangan jalannya. Relativisme kebenaran ilmiah yang dihasilkan melalui benturan diksi pada tataran diskursus komunitas ilmiah tidak lagi menjadi premium remedium dalam menciptakan opini publik.

Sebagai penetrasinya, masyarakat dicekoki narasi-narasi viral sebagai pemuas hasrat keingintahuannya. Teramat mudah untuk menggiring opini masyarakat yang penting idenya spektakuler dan menimbulkan ketakjuban serta diminati khalayak, kemudian masyarakat akan dengan mudah saja percaya.

Uji otentisitas dan validitas terhadap suatu pendapat tidak lagi menjadi penting. Cukuplah jika suatu pandangan dikemukan oleh seorang tokoh dan kemudian dipercaya oleh khalayak maka pastilah apa yang disampaikan dianggap benar adanya.

Jauh panggang dari api, padahal kritisisme kantianis berdiri diatas kebenaran rasional dan empiris yang teruji. Penguraian kritisisme terhadap suatu hal tidak berdiri sendiri, melainkan dilandaskan pada kebenaran-kebenaran relatif yang telah ditemukan sebelumnya.

Telelogis kritisisme diletakkan pada tujuannya yaitu hidup yang lebih baik dan lebih berkualitas. Kant bermaksud untuk mengkokohkan peradaban yang ada dengan cara menguraikan, mengintegrasikan dan merekonstruksi kembali paradigma kebenaran yang sudah terkandung dalam sebuah peradaban.

Kritisisme harus memiliki dasar yang valid dan kokoh, karena tanpa kedua hal tersebut, asumsi yang dihasilkan tak lebih dari sebuah kebodohan tak bertepi, sebuah paradigma yang bias kebenaran. Paradigma seperti itu hanya akan melahirkan budaya invalid yang palsu serta penuh kebohongan.

Pun ketika kritisisme berkelindan dengan anasir politik dan fanatisme, bak pepatah lama "malang tak dapat ditolak untung pun tak dapat diraih", nasibnya tak kunjung membaik. Alih-alih sebagai "way of change" atau "way of life", kritisisme malah dianggap sebagai "way of lie" dan "way of chaos".

Fenomena sosial dianalisis dan dikritisi oleh elite politik tanpa gantungan sekaligus tanpa dasar, melayang pada ruang hampa. Peradaban yang dilandaskan pada kebenaran konsensus seakan mau diruntuhkan dengan kritisisme. Orang didorong pada preferensi untuk disensus, sepakat untuk tidak sepakat.

Dengan demikian kebenaran yang pada hakikatnya relatif diposisikan berjauhan tidak lagi diperhadap-hadapkan untuk menemukan komprehensifitasnya.

Kritisismepun dipolitisasi, kritik dilakukan semata hanya untuk memuluskan syahwat meraih kekuasaan. Propaganda disemburkan dalam bentuk kritisisme. Oleh karenanya kritisisme menjadi nista, hanya menghasilkan hoax, fitnah dan pada akhirnya kesesatan publik.

Setidaknya dari isu sosial kontemporer, kita bisa mendeteksi politisasi kritisisme; mulai dari klaim kemenangan sepihak, kecurangan PEMILU, konspirasi kematian petugas KPPS, menolak hasil perhitungan suara sampai seruan people power, semuanya tak lain merupakan refleksi permainan politik para elite saja.

Namun demikian, bak gayung bersambut para fanatik pemuja tak hentinya mengamini dan meyakini sesat kritik yang terus ditebar. Tak hanya awam saja, banyak pula kaum intelektual yang terhisap dalam pusaran kritik sesat.

Entah sampai kapan para elite terus memainkan isu tersebut. Sejauh mana para awam terus dibuai dan sampai pada titik kembali sadar dan melek politik. Semoga kasus Ahmad Dhani, Dr. Eggi Sudjana, Kivlan Zen, dr. Ani Hasibuan, dkk cukup untuk dijadikan pelajaran bahwa politisasi kritisisme bukanlah sebuah kebenaran.

Politik adalah seni mengelola isu, politisi sejati mustahil menjadi korban percaturan politik, bidaklah yang selalu dikorbankan.

Semoga para intelektual kembali pada kodratnya, menyusuri kesunyian kaidah ilmiah sebagai jalan utama bertemu kebenaran.

Kebenaran seperti kereta subuh,
tepat pada waktunya,
tak menunggu yang terlelap,
menembus kelamnya malam,
menyongsong fajar yang cerah,
demi tujuan mulia,
hidup yang lebih berarti,
manusia yang beradab,
damai, sejahtera, adil dan makmur.

Salam Indonesia Damai!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun