Mohon tunggu...
R.H. Authonul Muther
R.H. Authonul Muther Mohon Tunggu... Penulis - Editor-in-chief Edisi Mori

R.H. Authonul Muther, yang akrab disapa Ririd, lahir 15 Desember 1998. Ia seorang editor in chief di penerbitan Edisi Mori yang fokus pada buku filsafat, sains dan humaniora. Ririd juga adalah seorang editor dan penyunting teks-teks filsafat. Minat kajian yang digeluti adalah filsafat, sastra dan politik; khususnya, ia lebih menekuni filsafat kontemporer. Sesekali melakukan perjalanan dan menuliskannya; sesekali juga menulis sebuah tulisan persembahan.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Siklus Putus dan Kutuk Waktu: Kalabendu di Seperempat Abad

17 Mei 2024   21:41 Diperbarui: 17 Mei 2024   21:46 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Raudal telah melihatnya dengan jeli, Gus, dan itulah mengapa menggenang tak menguap di dalam kepala. Sejak dahulu, mereka yang tulus mengabdi di jalan terjal rimbunan teks dan mendampingi mereka yang papa akan berkorban tak sedikit. Namun, engkau telah memberikan sebuah mandat dan contoh moral agar tak takut pada kekalahan, tak takut pada makhluk-mahluk besar bertanduk. Barangkali itulah, testimoni atas jiwa-jiwa orang besar dalam sejarah yang tak henti-henti berkorban---meski, kemenangan seringkali mengelak dan kita terpaksa bertekuk lutut sekali lagi. Semua ini sudah tergarit sejak zaman baheula: "Tapi deru dan gemuruhnya, Gus // Telah tergurat sejak dahulu / Dalam kitab-kitab lama / tentang tunduk dan kalah / --dan kita abai membacanya."

Tapi saya juga sadar, Gus, meminjam tulisan Einstein dalam suratnya pada tahun 1945, "Tuhan tak bermain dadu." Benar memang, perkataan Einstein itu berkaitan dengan rumus-rumus eksak dalam fisika kuantum; bukan perkataan yang berkaitan dengan keresahan pada hidup yang tak henti-henti bergejolak. Tapi kita mungkin bisa sepakat kan, Gus, semua sudah digaris dengan mistar ukur yang tak mungkin tertukar. Bahkan dalam hal-hal kecil, misal pertemuan kita, "Tuhan (pasti---) tak bermain dadu." Oleh karena itu, saya masih percaya pada masa depan, Gus, meski ia tak punya lubang intip.

Sebuah usaha untuk . Saya mencintai takdir, Gus, justru karena ia tak terterawang---seperti di sebuah larik di puisi balasanmu untuk Raudal, Kurva Metalurgi---justru karena "engkau tak pernah tahu / bencana atau berkah apa / yang masih sembunyi / di ujung kurva itu."

Seseorang bertanya, dengan nada bercanda, ingin menjadi apakah saya jika ditakdir dilahirkan ulang? Jawabannya terang benderang sudah, Gus: menjadi diri saya yang sepenuhnya seperti ini, saat ini, dan di sini; sebuah sejarah yang wajib tak melenceng barang sedikit.

Ternyata, tugas hewan-hewan kecil itu hanya berjuang sampai habis agar semuanya tetap bersiklus---meski dikutuk waktu, meski cemas pada masa depan yang gaib, dan tak tahu apa pun di ujung kurva itu. Dan, begitulah :

: -

Tegaknya bangau sebelah kaki

Tidurnya kukang sepenuh hari

Terbangnya kuau sebatas hutan

Larinya babi berpicing mata

Menghindar luka perburuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun