Mohon tunggu...
R.H. Authonul Muther
R.H. Authonul Muther Mohon Tunggu... Penulis - Editor-in-chief Edisi Mori

R.H. Authonul Muther, yang akrab disapa Ririd, lahir 15 Desember 1998. Ia seorang editor in chief di penerbitan Edisi Mori yang fokus pada buku filsafat, sains dan humaniora. Ririd juga adalah seorang editor dan penyunting teks-teks filsafat. Minat kajian yang digeluti adalah filsafat, sastra dan politik; khususnya, ia lebih menekuni filsafat kontemporer. Sesekali melakukan perjalanan dan menuliskannya; sesekali juga menulis sebuah tulisan persembahan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Falsafatuna dan Irak yang Nestapa

17 Mei 2024   09:46 Diperbarui: 17 Mei 2024   09:51 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setelah menghadiri penggalian kuburan massal kaum Kurdi, pada Minggu 14 April 2019, Presiden Irak, Barham Salih berkata dengan tegas: "Negara (Irak) tidak boleh melupakan kejahatan Saddam Husein". Kita tak boleh lupa, ada kucuran darah di Dujail, kota kecil di sebelah utara Irak; Di Dujail, kaum kurdi dan populasi non-Arab dimusnahkan (genosida bernama operasi Anfal yang diarsiteki Saddam Husein). Nahasnya, sialnya, keparatnya, operasi militer genosida terhadap kaum Kurdi itu diambil dari Surah Al-Anfal, dari kitab suci umat Islam.

Di era rezim diktator Irak, menulis filsafat dan menentang rezim berarti harus siap berhadapan dengan moncong senjata. Muhammad Baqir Sadr, penulis buku masyhur Falsafatuna itu, terus berfilsafat dan menentang rezim: Delapan tahun sebelum Operasi Anfal (1988), sebelas tahun sebelum Perang Teluk (1991), dan di tahun yang sama Perang Irak-Iran (1980-1988), yakni pada 9 April 1980, Sadr merenggut nyawa di tiang gantung ulah tangan Rezim Ba'ath. Ia dieksekusi bersama adik perempuannya, Amina Sadr, di Baghdad, Irak; kota kejayaan Islam di Abad Pertengahan---kota yang dulu banyak melahirkan pemikir, tetapi kini menjelma medan perang. Pada 30 Desember 2006, tiga tahun setelah lengser dari tampuk kekuasaan, Saddam Husein juga bernasib sama, ia mati di tiang gantung.

Saddam Husein tumbang, namun perang belum berhenti, tanah di antara sungai-sungai itu porak-poranda ketika monster adigdaya Amerika Serikat ikut campur dengan tuduhan mahajahat: di Irak, ada senjata pemusnah massal, tetapi sampai saat ini tuduhan itu hanya isapan jempol belaka. Namun apa daya, karena tuduhan tanpa dasar oleh monster adigdaya itu, Irak telah hancur lebur.

***

 Sadr keras menentang Rezim Ba'ath, rezim yang getol mengampanyekan Pan-Arabisme. Sadr sendiri adalah pendiri Partai Dawa Islam yang keras terhadap Pan-Arabisme, dan aktivisme politik ini menjadi faktor terpenting dirinya dieksekusi. Lima tahun sebelum kematiannya, pada tahun 1975, dalam karyanya Islamic Political System, Sadr menawarkan empat prinsip penting bagaimana politik Islam harus dibangun: 1. Kedaulatan absolut milik Allah; 2. Dasar Hukum Islam harus menjadi dasar perundang-undangan. Otoritas legislatif dapat menerapkan hukum yang tidak bertentangan dengan Islam; 3. Rakyat, sebagai wakil Allah, dipercayakan pada otoritas legislatif dan eksekutif; 4. Penegak Hukum memegang teguh otoritas agama sebagai representasi kehendak Allah. Dengan menerapkannya dalam tindakan legislatif dan eksekutif, dengan demikian memberikannya wewenang.

Ada satu hal yang membuat kita patut curiga, sejak 1968 hingga 1979, Ayatullah Khomeini bermigrasi ke Najaf untuk melakukan propaganda jarak jauh untuk menumbangkan Shah Pahlavi, Presiden Iran kala itu. Apakah keduanya pernah bertemu? Apakah mereka berdua pernah mendiskusikan banyak hal? Di beberapa riwayat tidak menunjukkan bukti itu. Kecurigaan kita beralasan, politik Islam yang ditawarkan oleh Sadr mempunyai kedekatan dengan cara pandang Khomeini dalam bagaimana seharusnya negara dibentuk---meski banyak sekali perbedaan pandangan antara keduanya. Khomeini juga punya satu fakta yang cukup mengerikan: Ia pada awalnya merangkul gerakan Kiri untuk menumbangkan Shah Pahlavi; akhirnya Revolusi Iran meletus, Pahlavi tumbang, tetapi pada tahun 1988, kaum Kiri yang ia rangkul, dihabisi.

 Karena aktivisme Sadr yang keras melawan Rezim Ba'ath yang dipimpin oleh Saddam Husein, mengantarnya ke tiang gantung. Kita pantas mengernyitkan dahi: Di Timur Tengah, segalanya saling silang sengkarut, entah siapa yang benar, entah siapa yang salah. Sampai di sini, kita bertubi-tubi mendengar bedil yang menyalak keras. Rumit, kita cukupkan pekak telinga karena senjata di tulisan ini. Ketegangan dan situasi panas politik di atas seharusnya mengantar kita untuk bertanya: Bagaimana filsafat hadir, dihadirkan, dan menghadirkan dirinya di era kekerasan? Meski demikian, Falsafatuna bisa kita baca dengan melepaskannya dari ketegangan politis ketika Sadr menuliskan risalah penting filsafatnya itu; Falsafatuna bisa dibaca dalam kerangka diskursus filosofis itu sendiri.

***

Falsafatuna terbit pertama kali satu tahun setelah Coup d'Etat Irak 1958---masa tumbangnya Rezim Monarki Faisal I. Buku ini adalah pergumulan Sadr dengan tradisi filsafat Barat beserta kritikan-kritikannya (seperti subjudul di cover, Diskursus Tematik tentang Epistemologi: Materialisme vs Metafisika). Bisa kita tebak, Sadr keras terhadap materialisme (murni). Namun, kritik yang dilontarkan oleh Sadr bukan tanpa masalah dan terdapat beberapa efek samping.

Fayyadl, salah satu pemikir Islam yang kita punya itu, dalam beberapa obrolan, melontarkan satu kalimat yang cukup pedas: "Secara politis, menerbitkan ulang teks-teks Baqir Sadr saat ini tanpa komentar yang kritis, bisa melegitimasi Marxisme-fobia yang sudah jadi arus utama di negeri ini... Padahal, yang dikritik Sadr (adalah) Marxisme yang lawas banget." Komentar Fayyadl ini cukup beralasan, Sadr begitu keras terhadap Marxisme, atau filsafat Materialisme secara umum. Namun, kritikannya mempunyai efek samping secara politis, sekali lagi, secara politis: Meneguhkan kembali ketakutan terhadap Marxisme atau materialisme. Sayangnya---jika kita sepakat dengan tawaran ini---diskursus Marxisme merupakan prasyarat maupun prakondisi dalam menganalisis struktur masyarakat. Karena ini pula, kita membuka tulisan ini dengan tragedi dan ketegangan politis.

Di kesempatan lain, kali ini secara teoritis, Fayyadl juga menjelaskan perbedaan proyeknya dengan Sadr dalam menangani Marxisme dan materialisme: "Dari dulu saya penasaran, kata "naa" (Kami, dhomir mabni nahnu) di judul merujuk ke siapa? Filsuf Islam, Syi'ah, kaum Muslim, orang Iran, atau siapa ya?"; "Saya juga bukan pembaca spesialis Sadr. Barangkali pretensinya mewakili umat Islam. Tapi Sadr bukan pemikir yang bisa diterima dan dikenal di kalangan Sunni, repotnya."; "Kalau proyek saya malah bertentangan dengan Sadr. Memulihkan kembali materialisme dengan menempatkannya dalam kerangka keimanan." Di sini kita mempunyai tiga tesis penting: 1. 'Naa' (Kami) dalam Falsafatuna merujuk kepada entitas yang mana?; 2. Sadr bukan pemikir yang bisa diterima (dengan mudah) di kalangan Sunni, apakah hal ini terjadi karena stereotip dan sentimen anti Syi'ah?; 3. Fayyadl tidak meninggalkan materialisme secara murni, melainkan memulihkan dan menyejajarkan materialisme (juga Marxisme) dalam kerangka keimanan. Terdapat wawancara Fayyadl yang relevan dengan diskusi ini, berjudul "Pada Level Aksiologis, Islam dan Marxisme Menjadi Sangat Kompatibel" yang terbit di IndoProgress:

Apakah menurut anda Marxisme sejalan dengan Islam? Bisa dijelaskan?

"Tidak konvergen secara total, tapi juga tidak divergen secara total pula. Tergantung pada ranah apa: ontologis, epistemologis, atau aksiologis? Menganut Marxisme secara utuh hingga ontologisnya, melalui materialisme dialektis yang diperluas, mensyaratkan purifikasi dari agama dan keimanan akan Tuhan yang transenden dan mahakuasa, karena semua harus mampu dijelaskan dan dimaterialkan dengan logika. Dan itu dengan sendirinya tertolak dalam Islam... Dan terakhir, kalau yang dicari pada level aksiologis, yaitu perjuangan memerangi ketidakadilan, ketimpangan, dan seterusnya, maka Islam dan Marxisme menjadi sangat kompatibel, dengan 'penyesuaian-penyesuaian' tertentu."

 Kita sudahi esai singkat ini dengan satu kalimat: Falsafatuna adalah buku filsafat penting yang lahir dari Timur. Kritikannya terhadap konsepsi yang dibangun dalam filsafat Barat perlu kita baca, juga perlu kita kritisi (seperti yang telah dilakukan Fayyadl dengan mini-tesisnya di atas). Beberapa pertanyaan terakhir: Apakah buku ini mempunyai kekuatan mereorientasi filsafat?; Apakah buku ini mampu memberi tawaran signifikan dalam semesta pertentangan antara agama dan sains (atau materialisme)?; Apakah Falsafatuna, sebagai buku yang lahir dari Timur, sebentuk kritik terhadap orientalisme?; Apakah Falsafatuna mampu menjawab persoalan-persoalan filsafat mutakhir? Oleh karena itu, bukankah, kita perlu membaca buku ini dengan cara yang baru?

Kita tahu, problem-problem filsafat sudah jauh berbeda dengan problem filsafat di akhir abad 20---ketika Sadr menulis buku agungnya ini. Benar, Falsafatuna butuh reorientasi.

***

 Terbitan Edisi Mori ini adalah buku yang melengkapi terjemahan Falsafatuna yang pernah terbit di Mizan dan RausyanFikr. Pembeda pentingnya, menurut penerjemah buku ini, sekurang-kurangnya ada dua: Pertama, buku ini diterjemah langsung dari bahasa Arab yang dieditori oleh as-Sayyid Muhammad al-Gharawi; kedua, terdapat catatan akhir terhadap konsep-konsep penting Baqir Sadr di setiap bab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun