Tafsir Ayat Tentang Wakalah dan Implementasinya Pada Produk Letter of Credit (L/C) Impor Syariah dalam Perbankan Syariah
Oleh : M. Auritsniyal Firdaus
Alumni S1 Jurusan Muamalah Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang
Mahasiswa S2 Prodi Hukum Bisnis Syariah Jurusan Hukum Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Wakalah secara sederhana merupakan akad pemberi kuasa dari muwakil (pemberi kuasa) kepada wakil (penerima kuasa) untuk melaksanakan suatu taukil (tugas) atas nama pemberi kuasa. Dasar hukum wakalah terdapat dalam QS. al-Kahfi ayat 19 dan QS an-Nisa’ ayat 35, maka penulis akan menafsirkan surat-surat tersebut kemudian membahas implementasinya dalam perbankan syariah.
Tafsir Surat al-Kahfi Ayat 19
وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (QS. al-Kahfi : 19)
Dalam ayat ini, Allah menerangkan tentang bangunnya para pemuda (ashabul kahfi) yang tertidur di dalam gua karena uzlah. Berkatalah salah seorang dari mereka kepada kawan-kawannya,”Berapa lama kalian tinggal tinggal dalam gua ini?” Dia menanyakan ketidaktahuaannya tentang keadaan dirinya sendiri selama masa tidur itu, lalu meminta kepada lainnya untuk memberikan keterangan. Kawan-kawannya menjawab,”kita tinggalkan dalam gua ini sehari atau setengah hari.” Padahal, yang menjawab itu pun tidak dapat memastikan berapa lama mereka tinggal karena pengaruh tidur masih belum senyap dari jiwa mereka. Mereka belum melihat tanda-tanda yang menunjukkan lamanya di gua itu. Kebanyakan ahli tafsir menuliskan waktu mereka datang memasuki gua dahulunya pada pagi hari, dan waktu mereka bangun pada sore hari. Akhirnya, ada dari mereka yang mengatakan, “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lama kamu tinggal disisni.” Kalimat sebagai jawaban yang terakhir ini sangat bijaksana untuk membantah jawaban temannya yang lain.
Perhatian mereka kemudian beralih kepada kebutuhan mereka yaitu makan dan minum. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa untuk mengetahui berapa lama mereka tinggal di dalam gua itu hendaklah mereka ke luar ke kota untuk memastikannya. Maka seorang dari mereka yang disuruh pergi ke kota dengan membawa uang perak untuk membeli makanan yang halal, “fab’atsu ahadakum biwariqikum hadzihi ilal madinati falzanhur ayyuha azka ta’aman.”
Ibnu Katsir, Nafi’, Ibnu Amir al-Kisa’i dan Hafsh dari hasim membacanya biwariqikum (dengan uang perakmu), sedangkan Abu Amr, Hamzah dan Abu bakar dari Ashim membacanya biwarqikum (dengan uang perkamu) dengan sukun pada huruf ra’. Mereka membuang kasrah karena memberatkan pengucapan. Keduanya adalah du bahasa yang berbeda. az-Zujjaj membacanya : biwirqikum (dengan uang perakmu) dengan kasrah pada wawu dan sukun pada huruf ra’. Berbeda dengan pendapat Ibnu Abas, mereka membawa uang dirham yang diatasnya bergambar raja yang berkuasa di zamannya”.
Falyangdzur ayyuha azka tho’aman (dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik). Menurut Ibnu Abbas, makanan itu adalah sembelihan yang paling halal, karena penduduk negeri mereka menyembelih dengan nama berhala, sedangkan diantara mereka yang menyembunyikan imannya. Mayoritas mereka adalah orang-orang Majusi. Ada pula yang berpendapat azka tho’aman (makanan yang lebih baik) adalah makanan yang paling banyak berkahnya. Pendapat lain mengatakan, mereka menyuruh agar membeli apa-apa yang disangka bahwa makanan itu kira-kira cukup untuk dua atau tiga orang agar mereka tidak diketahui. Kemudian jika dimasak cukup untuk satu jamaah. Makanan yang dimaksud adalah beras, tapi ada yang mengatakan kurma basah, ada pula yang mengatakan kurma kering. Azka (yang lebih baik) lebih bagus, dikatakan pula lebih murah.
Dipesan pula kepada utusan ke kota itu supaya berhati-hati dalam perjalanan, baik saat mau masuk ataupun keluar dari kota jangan sampai memberitahukan keberadaan mereka. Dari ayat ini ada kata fab’atsu yang sebagai landasan hukum wakalah. Yakni, seseorang yang boleh menyerahkan kepada oarang lain sebagai ganti dirinya untuk urusan harta dan hak semasa hidupnya. Pengutus seorang dalam ayat itu untuk membeli makanan dan melihat kondisi kota. Ibnu Araby mengatakan bahwa ayatini yang paling kuat sebagai landasan dasar dari wakalah. Sebagai hadits tentang wakalah, diriwayatkan Abu Dawud, dari Jabir RA, ia berkata : aku keluar dari Khaibar, maka ambilah darinya 15 wasaq.” Juga ada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Jabir RA bahwa Nabi SAW menyembelih qurban sebanyak 63 ekor hewan dan Ali RA disuruh menyembelih binatang qurban yang belum disembelih.
Falya’ti bi rizqin minhu (maka hendaklah ia membawa rizqi itu untukmu, yakni makanan. Wal yatalathof (dan hendaklah ia berlaku lemah lembut), yakni ketika memasuki kota dan membeli makanan. Wala yusyironna bikum ahadan (dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun). Maksudnya adalah jangan sekali-kalin menyampaikan berita. Ada yang berpendapat, jika dia diketahui orang maka hendaknya ia tidak sama sekali menunjukka kawan-kawannya yang ada di dalam goa.”
Menitipkan atau mewakilkan sudah sangat dikenal di zaman jahiliyah dan di zaman Islam. Abdurrahman bin Auf menitipkan keluarganya dan kerbatnya kepada Umayah, orang yang menjaga mereka di Madinah dengan memberikan imbalan atas apa yang diperbuatnya. Wakalah (penitipan) adalah akad dalam hal perwakilan. Allah SWT mengizinkan hal itu demi kepentingan dan demi tegaknya suatu kemaslahatan. Tidak setiap orang mampu menjalankan semua urusannya kecuali kepentingan orang lain. Para ulama kita telah berdalil untuk menunjukkan kebenarannya dari sejumlah ayat dalam al-Qur’an. Di antaranya firman Allah SWT, “pengurus-pengurus zakat ...” (QS at-Taubah : 60). Juga firman-Nya, “pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini ...”(QS Yusuf : 93). Sedangkan dari sunnah berupa hadits yang banyak jumlahnya. Di antaranya adalah hadits Urwah al-Bariqi dan telah dijelaskan di akhir surah al-An’am, yang artinya : “aku hendak pergi ke Khaibar sehingga aku datang ke Rasulullah SAW lalu aku katakan kepada beliau bersabda,”jika engkau tiba kepada wakilku maka ambil darinya lima belas wasq dan jika dia minta bukti kepadamu maka letakkan tanganmu pada tulang bagian atasnya.” (HR. Abu Daud). Perwakilan hukumnya jaiz dalam segala hak yang diperbolehkan untuk dilakukan perwakilan. Jika perwakilan kepada seorang perampas, maka hukumnya tidak boleh. Karena setiap yang haram tidak boleh dilakukan perwaklian di dalamnya.
Dalam ayat ini ada statment perwakilan dengan pengamanan diri karena takut diketahui oleh seorang dengan apa yang ia lakukan. Karena mereka dengan kepergiannya muncul rasa takut atas dia mereka sendiri. Bolehnya dilakukan perwaklian bagi orang yang udzur adalah sesuatu yang telah disepakati. Sedangkan orang yang tidak ada udzur pada dirinya maka jumhur ulama memperbolehkannya. Ibnu al-Arabi berkata,”kiranya Suhnun menerimanya Asad bin Al Furat sehingga ia selalu membuat keputusan demikian selama ia menjadi qadhi (hakim). Kiranya dia melakukan yang demikian itu dengan para pelaku kezhaliman yang berkuasa, karena menyadari kekuatan mereka dan merendahkan diri dihadapan mereka. Demikianlah yang benar. Perwakilan adalah ma’unah (pertolongan) dan bukan pelaku untuk kebathilan.
Menurut al-Qurthubi, hendaknya mereka mewakilkan sekalipun mereka hadir dan dalam keadaan sehat. Dalil yang menunjukkan bahwa boleh melakukan perwakilan bagi yang hadir dan dalam keadaan sehat. Dalil yang menunjukkan bahwa boleh melakukan perwakilan bagi orang yang hadir dan sehat adalah apa yang di takhrij dalam Ash-Shahiahaini dan selain keduanya dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “seorang memiliki piutang seekor unta umur dua tahun pada Nabi SAW, ia datang dilunasi, beliau bersabda yang artinya : “berikanlah kepadanya, sehingga para sahabat mencari unta usia dua tahun, namun mereka tidak mendapatkannya melainkan unta dengan umur di atasnya. Beliaupun bersabda, “berikanlah kepadanya”. Orang itupun berkata, engkau telah memenuhi kehendakku:. Nabi SAW bersabda, “sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pelunasannya.” Lafadz al-Bukhari. Hadits tersebut menujukkan hukum bolehnya bagi orang yang sedang ada di tempat dan sehat badannya untuk mewakilkan. Karena Nabi memerintahkan kepada para sahabatnya agar memberikan atas namanya satu ekor unta yang menjadi tanggungannya. Yang demikian adalah perwakilan beliau atas mereka untuk melakukan hal teersebut. Padahal Nabi SAW tidak dalam keadaan sakit dan tidak sedang berpergian. Ini menyangah pendapat Abu Hanifah dan Suhun yang menyatakan tidak boleh lagi orang yang ada ditempat dan sehat badannya mewakilkan, melainkan dengan keridhaan mitranya. Hadits ini bertentangan pendapat yang kedua. Menurut Khuwaizimandad berkata, ayat ini mencakup hukum bahwa boleh berserikat karena uang logam itu adalah milik bersama. Juga mencakup boleh memberi perwakilan sebagaimana mereka mengutus orang yang menjadi wakil mereka untuk belanja.
Tafsir Surat an-Nisa’ ayat 35
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. an-Nisa’ : 35)
Dalam pembahasan ayat sebelumnya disebutkan bilamana nusyuz dan membangkang timbul dari pihak istri, kemudian dalam pembahasan ini disebutkan bilamana nusyuz timbul dari kedua belah pihak. Untuk itu Allah berfirman : wa in hiftum syiqoq bainihima fabatsu hakaman min ahlihi wa hakam min ahliha (Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan).
Ulama fiqh mengatakan, apabila terjadi persengketaan di antara sepasang suami istri, maka hakimlah yang melerai keduanya sebagai pihak penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya dan mencegah orang yang aniaya dari keduanya melakukan perbuatan aniayanya. ika perkara keduanya bertentangan juga dan persengketaan bertambah panjang, maka pihak hakim memanggil seorang yang dipercaya dari keluarga si perempuan dan seorang yang dipercaya dari kaum laki-laki, lalu keduanya berkumpul untuk mempertimbangkan perkara kedua pasangan yang sedang bersengketa itu. Kemudian keduanya melakukan hal yang lebih maslahat baginya menurut pandangan keduanya, antara berpisah atau tetap bersatu sebagai suami istri. Akan tetapi, imbauan syariat menganjurkan untuk tetap utuh sebagai suami istri.
Menjadi pembahasan pada bab ini karena dalam QS. An-Nisa ayat 35 ini terdapat kata fab’atsu yang berarti perintah untuk mengutus sesorang. Yang diutus adalah seorang hakam untuk tujuan ishlah dalam persengketaan. Karena, ayat ini dapat digunakan sebagai landasan dari hukum wakalah.
Oleh karena itu Allah berfirman iyyurida islahan yuwafiqillah bainahuma (jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu) Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah memerintahkan agar mereka mengundang seorang lelaki yang shalih dari kalangan keluarga laki-laki, dan seorang lelaki lain yang semisal dari kalangan keluarga si perempuan. Lalu keduanya melakukan penyelidikan untuk mencari fakta, siapa di antara keduanya yang berbuat baik. Apabila ternyata pihak yang berbuat buruk adalah pihak laki-laki, maka pihak suami mereka halang-halangi dari istrinya, dan mereka mengenakan sanksi kepada pihak suami untuk tetap memberi nafkah.
Jika yang berbuat buruk adalah pihak perempuan, maka mereka para hakam mengenakan sanksi terhadapnya untuk tetap di bawah naungan suaminya, tetapi mereka mencegahnya untuk mendapat nafkah. Jika kedua hakam sepakat memisahkan atau mengumpulkannya kembali dalam naungan suatu rumah tangga sebagai suami istri, hal tersebut boleh dilakukan keduanya. Tetapi jika kedua hakam berpendapat sebaiknya pasangan tersebut dikumpulkan kembali, sedangkan salah seorang dari suami istri yang bersangkutan rela dan yang lainnya tidak kemudian salah seorangnya meninggal dunia, maka pihak yang rela dapat mewarisi pihak yang tidak rela, dan pihak yang tidak rela tidak dapat mewarisi pihak yang rela. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Implementasi Akad Wakalah Pada Produk Letter of Credit (L/C) Impor Syariah dalam Perbankan Syariah
Implemantasi akad wakalah dalam produk perbankan syariah, terdapat pada produk Letter of Credit (L/C) Impor Syariah. Letter of Credit (L/C) Impor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar pengekspor (beneficary) yang diterbitkan oleh bank (issuing bank) atas permintaan importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu (uniform costum and practice for documentary credits/UCP). Akad yang digunakan adalah akad wakalah bil ujrah dan kafalah. Akad wakalah merupakan pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak-pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Akad wakalah bil ujrah adalah akad wakalah dengan memberikan imbalan atau fee (ujrah) kepada wakil. Akad wakalah bil ujrah dapat dilakukan dengan atau tanpa disertai dengan qard, mudharabah, dan hawalah. Sedangkan akad kafalah adalah transaksi penjaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga atau yang bertanggung untuk memenuhi kewajiban pihak kedua.
Adapun mekanisme Letter of Credit (L/C) Impor Syariah dalam perbankan syariah, bank dapat bertindak sebagai wakil dan pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban importir terhadap pengekspor dalam melakukan pembayaran (akad wakalah bil ujrah). Objek penjamin merupakan kewajiban importir, harus jelas nilai maupun spekasinya (seperti mata uang yang digunakan atau waktu pembayaran), dan tidak bertentangan dengan syariah. Bank dapat memeperoleh imbalan atau fee (ujrah) yang disepekati di awal seta dinyatakan dalam jumlah nominal yang tetap, bukan dalam bentuk prosentase. Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor (akad wakalah bil ujrah). Bila importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang dimpor maka, bank dapat memberikan dana talangan (qard) kepada importir untuk pelunasan pembayaran barang impor (akad wakalah bil ujrah dan qard) dan bank dapat bertindak sebagai shahibul mal yang menyerahkan modal kepada importir sebesar harga barang yang diimpor dan pembayaran belum dilakukan, maka utang kepada pengekspor dialihkan kepada importir menjadi utang kepada bank dengan meminta bank membayar kepada pengekspor senilai barang yang dimpor (akad wakalah bil ujrah dan hawalah).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H