Mohon tunggu...
Anifatun Mu'asyaroh
Anifatun Mu'asyaroh Mohon Tunggu... freelance -

Pengangguran yang gemar berkhayal. Penulis pemula-pemalu. Pembaca diam-diam. Saya cinta fiksi 💚...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Langit Cinta

7 Juni 2016   22:05 Diperbarui: 7 Juni 2016   22:11 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"R.. Ris...Rissa. Ma... Laut," ucapku
Kata-kata pertama yang keluar dari bibirku
Aku tak paham, sudah pasti
"Riss..sa. La...ut," ulangku lagi
Suaraku parau, sepertinya tak mampu kau kenali
Jemariku meremas pegangan kursi beroda yang kududuki

Kau membungkuk, menghadapku, menggenggam lembut jemari tangan kananku
Aku terlonjak, masih tak terbiasa, asing, tak tahu harus bersikap macam apa
"Rissa," kau menggerakkan genggaman tangan kita, menuntunnya ke arahku
Kau melepas genggaman itu, sedikit bergeser, setengah berjongkok, kita bersebelahan
"Laut," katamu, menunjuk permadani biru yang bergeliat dan bergulung di depanku

Aku pun mulai mengerti
Bagaimana cara bermain kata ini
Ini tentang membedakan benda ini dan itu
Ini tentang menamai mereka dengan sesuatu

Aku mengikuti apa yang kau lakukan, ajarkan
Menunjuk diriku, aku menggumam, "Rissa."
Menodongkan tangan kananku ke arah depan, aku setengah berteriak, "Laut."
"Rissa. Laut. Rissa. Laut. Rissa. Laut."
Ucapku berulang-ulang, sembari berolahraga tangan
Tak bosan

Kau tertawa pelan, matamu sayu, mengisyaratkan sesuatu
Aku berhenti mengulang dua kata itu
Diam, lalu aku melemparkan telunjukku ke arahmu
Aku ingin tahu, siapa kau, orang pertama yang menyaksikan kelahiranku

"Aku?" tanyamu, retoris
"Langit," mendaratkan telapak tanganmu ke dadamu
Lalu, kau tunjuk awang-awang di atas ubun-ubunmu
Menarik garis dari atas sana, hingga berhenti ke lini perbatasan
yang memagari dan memisahkan laut dan benda pucat lain di atasnya

Sepertinya aku mengerti maksudmu
Aku mengikuti gerakanmu
"Rissa," menunjuk diriku sendiri
"Laut," meraba dari jauh gemulung ombak yang menari
"Langit," meraih tangan kirimu yang terparkir di pegangan kursi

Kau terlonjak, berdiri, memandangku dengan tatapan yang tak mampu kubaca maknanya
Aku memejamkan mata terkaget, kulepas tanganmu, takut telah berbuat kesalahan

Lembut, sesuatu yang lembut mendarat di kepalaku
Aku membuka sebelah mata, tangan kirimu mengacak rambutku, lembut

"Kau pintar, Rissa. Seperti dulu. Ah, tidak. Selalu," pujimu
Hangat, tetiba angin menghangat menerpa setiap milimeter persegi permukaan kulitku
Ada perasaan asing, menjejal masuk ke dalam pembuluh dan sel di sekujur badanku,
mengalir bersama desiran darah, menghampir, keluar masuk dalam jantungku,
membuatnya berlompatan, lebih liar dari yang pernah aku rasa dan tahu

Berdebar
Kini, aku sudah tahu namanya
Rasa yang tak akan pernah aku lupa
Penanda kali "pertama" kita berkenalan
Rasa yang kekal, lekat selamanya, dalam ingatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun