Mohon tunggu...
Anifatun Mu'asyaroh
Anifatun Mu'asyaroh Mohon Tunggu... freelance -

Pengangguran yang gemar berkhayal. Penulis pemula-pemalu. Pembaca diam-diam. Saya cinta fiksi 💚...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Wahana Imajinasi (prolog)

27 Mei 2016   03:13 Diperbarui: 27 Mei 2016   03:35 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dan kami berempat mulai mengantre untuk dapat memasuki "Wahana Imajinasi" yang masih sangat baru tersebut. Beberapa petugas membagikan satu batang korek api kepada masing-masing pengunjung. Namun, mereka melewatkan kami berempat. Akhirnya, kami memutuskan untuk mencari korek api itu sendiri.

Aku melihat Puri menemukan sebuah kotak korek api berukuran besar. Kemudian aku memberi tahu Raditya dan mengajaknya untuk meminta dua batang korek api kepada Puri. Dia setuju, lalu melepaskan genggaman tangannya dari tangan kananku yang masih lemah akibat terluka malam itu. Dia menuju ke arah meja di mana Puri menemukan korek api.

Ketika dia mendekati Puri, dia menemukan sebuah kotak korek api lain yang berukuran lebih kecil dibandingkan milik Puri. Dia pun memutuskan untuk mengambil dua batang korek kecil dari dalam kotak, lalu memamerkannya kepadaku. Dia bermaksud membawakanku satu batang korek api kecil yang ditemukannya. Namun, aku menolak. Aku menginginkan batang korek api panjang, seperti milik Puri, agar apinya dapat menyala lebih lama. Maka aku memutuskan untuk mengambil sendiri batang korek panjang itu, ketika Raditya sudah kembali ke barisan antrean.

Beberapa langkah sebelum sampai ke Puri, Dika menghentikanku. Aku tersentak kaget, tetapi dia dia seperti tidak menyadari keterkejutanku. Dia bertanya, "Apa kau yakin? Apa kau ingin mencoba wahana ini?"

'Kau mengkhawatirkanku?' batinku. Aku pun menjawab, "Aku tak begitu yakin. Namun, aku percaya pada pilihan Raditya. Dia sangat ingin mencobanya dan aku tak ingin membuatnya kecewa. Hahaha. Lagipula, kau tahu sendiri, selalu ada hal-hal menakjubkan yang terjadi setiap aku melakukan sesuatu bersamanya."

Dika bergeming. Aku kira dia sudah selesai menyelesaikan urusanya denganku, ketika tetiba dia menggumam dengan suara dalamnya, "Dan terakhir kali kau pergi bersamanya kau mendapatkan luka parah ini!" tudingnya tenang, tetapi aangat intimidatif. Dia mengangkat tangan kananku tinggi-tinggi, hingga mendatangkan nyeri ke luka tanganku yang masih jauh dari kering.

"Ini bukanlah hal yang perlu kau pusingkan, Dika. Aku sudah terbiasa dengan luka kecil semacam ini. Dan sepertinya Puri mulai kelelahan menunggumu di tepi meja lilin itu. Apa kau tak ingin menemuinya?" jawabku setengah kesal.

Dia sempat menoleh satu kali kepada Puri, lalu melepaskan genggaman tangannya dariku. "Kau tahu betul maksudku. Aku sudah mengingatkanmu lebih dari sering tentang hal yang menurutmu menakjubkan itu. Aku tak dapat menjagamu lebih lama dari..."

"Kau tak perlu repot-repot menjagaku, Dika. Kau hanya perlu selalu di samping Puri tanpa pernah membuatnya berpikir bahwa dia seorang diri. Kau sudah berjanji padaku tentang ini, Dika," timpalku mulai bosan.

"Kau merapalkan naskah sebuah drama sinetron, hm?" Dika menjawab sedikit sinis.

"Kau yang memulai dulu, Dika! Minggir!" Aku pun pergi meninggalkannya menuju Puri untuk mengambil sebatang korek api panjang. Dika mengikutiku dari belakang. Tujuan kami adalah orang yang sama, Puri.
"Sudah selesai, ternyata?" tanya Puri ketus.

"Tentu. Siapa yang tahan berlama-lama dengannya? Haha. Kukembalikan dia padamu, Puri," timpalku. Puri hanya mengerutkan dahi. "Dan bolehkah aku mengambil satu batang korek api ini?"

"Hmm. Masih rakus juga, kau ini?" tanyanya, sinks dan retoris.

"Kau yang paling mengerti bagaimana aku, Puri," jawabku.

Aku pun meninggalkan mereka berdua setelah mendapatkan batang korek apiku sendiri. Puri dan Dika, mereka berdua adalah permataku. Sayang. Saat ini keduanya tengah menyembunyikan kilaunya dariku.

Hanya satu menit kutinggalkan Raditya, kini dia telah mencapai tepat di depan portal "Wahana Imajinasi". Dia adalah berlianku, yang bersinar tanpa mengenal waktu. Dan jemari kami pun kembali saling bertaut, tak ingin terpisahkan, barang sedetik pun, bahkan oleh sekadar portal sialan yang tak memperbolehkan kami masuk berdua sekaligus.

Petugas portal berdiri di sebelah kanan, memegang sebuah pemantik otomatis untuk menyalakan batang-batang korek api kami, para pengunjung. Aku tak berbohong kepada Dika ketika aku berkata bahwa selalu ada hal menakjubkan yang terjadi saat aku bersama Raditya. Kami berdua adalah sesama "penjelajah". Dan hanya seorang penjelajah seperti kami yang mampu mengerti hal menakjubkan macam apa, yang kami temui setiap kami memasuki berbagai macam tempat di dalam Dunia Imaji, dunia yang tak dapat dimasuki oleh orang-orang seperti Puri dan Dika.

Aku tahu mengapa Raditya sangat ingin mencoba wahana ini. Dia sudah kecanduan pada Dunia Imaji. Dan dia mengharapkan sesuatu yang sama akan terjadi di dalam wahana ini. Aku tak dapat mencegahnya, meski aku merasakan keseimbangan aura yang tidak stabil dari dalam wahana tersebut. Sejak kami mengantre setengah jam yang lalu, aku tak pernah melihat satu pun orang keluar. Ada dua kemungkinan untuk menjawab hal ini, satu: pintu keluarnya berada di sisi yang berbeda, dua: durasi permainannya lama dan ada beberapa stage di dalam wahana ini sehingga dapat dimasuki beberapa kloter sekaligus. Namun, aku tak dapat menampik adanya kemungkinan ketiga, yang pastinya adalah...

"Hei! Kau terlalu berpikir, bocah! Jangan bengong, Utari!" teriak Raditya yang ternyata sudah melewati portal dan memasuki mulut gua, gerbang wahana tersebut. Aku pun bergegas menyusulnya setelah menyalakan korek apiku.

Raditya memasuki gua lebih dulu. Aku tepat di belakangnya. Kami masih berbalas senyum sambil sesekali memamerkan korek api masing-masing. Batang korekku baru sepertiga terbakar, sedangkan miliknya sudah hampir terbakar sepenuhnya, ketika dia menoleh ke depan membuatku memandangi kepala belakangnya, memandang surai hitamnya yang lurus tetapi sedikit mencuat di bagian ekornya.

"Ra! Raditya! Apa kau tahu apa yang akan terjadi jika batang koreknya habis terbakar dan apinya tak lagi menyala?" tanyaku iseng sambil berjalan menyusuri koridor wahana.

Dia tak meresponku. Aku kembali bicara, "Uhm. Maksudku, biasanya kau pandai menebak. Uhn...kali ini kau tidak cerewet. Apa kau sudah lupa caranya menjadi jenius, Ra?" Dia mengacuhkanku lagi? Apa aku sedang bermonolog? Dasar menyebalkan!

"Lalu... hey! Awww!!! Kenapa kau berhenti tiba-tiba?" Teriakku sambil mengusap dahiku yang menabrak punggungnya yang kokoh dan...kaku? Mengapa dia tegang begini? Mengapa dia tidak meresponku sama sekali? Dan ada apa dengan pandangannya? Korek apinya? Apinya sudah mati. Apakah ini yang terjadi ketika apinya mati? Atau karena batangnya habis terbakar? Apa yang harus kulakukan? Dia seperti kehilangan kesadaran. Aku yakin dia tidak sedang pura-pura pingsan sambil melotot. Kali ini dia tidak sedang mengerjaiku.

"RA! Sadarlah! RA!" Teriakku sambil mengguncang-guncang tubuhnya seperti orang gila. "RADITYA!!!"

PLAK! Sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku.

"Ra? Kau menamparku? Kau sudah sadar, kan? Syukurlah," ucapku.

"Siapa kau gadis gila? Lepaskan kerahku!" Balas Raditya seraya mendorong badanku menjauh. Dia mendorongku dengan sangat keras sehingga aku membentur tiang pualam di belakangku. Aku yakin ini semua disebabkan oleh wahana ini. Ada yang tidak beres dengan wahana ini dan sepertinya korek api ini juga terkoneksi dengan wahana ini. Kau keterlaluan Raditya, mengapa kau menjadi seperti ini di saat genting macam begini? Kau membuatku cemas sekaligus kebingungan sendirian. Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus mematahkannya agar batang korek api ini tidak terbakar habis? Tentu saja! Dengan begitu aku tidak akan melupakan Raditya dan semuanya. Aku juga bisa menyelamatkan semua orang atau setidaknya kami berdua.

"Aku bersumpah aku tidak akan bersedia ke sini, jika ini membuatmu lupa padaku, Ra!" Raditya hanya diam. Wajahnya menahan emosi sekaligus risau. Dia pasti kebingungan. "Aku akan mematahkannya, akan kupatahkan korek api ini! Hyaaaaat..."

"STOP, NONA! Kau akan mati jika mematahkannya!"

 

(Bersambung...)

Bismillah... Semoga dapat berlanjut. :)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun