Mohon tunggu...
Anifatun Mu'asyaroh
Anifatun Mu'asyaroh Mohon Tunggu... freelance -

Pengangguran yang gemar berkhayal. Penulis pemula-pemalu. Pembaca diam-diam. Saya cinta fiksi 💚...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Wahana Imajinasi (prolog)

27 Mei 2016   03:13 Diperbarui: 27 Mei 2016   03:35 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Lalu... hey! Awww!!! Kenapa kau berhenti tiba-tiba?" Teriakku sambil mengusap dahiku yang menabrak punggungnya yang kokoh dan...kaku? Mengapa dia tegang begini? Mengapa dia tidak meresponku sama sekali? Dan ada apa dengan pandangannya? Korek apinya? Apinya sudah mati. Apakah ini yang terjadi ketika apinya mati? Atau karena batangnya habis terbakar? Apa yang harus kulakukan? Dia seperti kehilangan kesadaran. Aku yakin dia tidak sedang pura-pura pingsan sambil melotot. Kali ini dia tidak sedang mengerjaiku.

"RA! Sadarlah! RA!" Teriakku sambil mengguncang-guncang tubuhnya seperti orang gila. "RADITYA!!!"

PLAK! Sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku.

"Ra? Kau menamparku? Kau sudah sadar, kan? Syukurlah," ucapku.

"Siapa kau gadis gila? Lepaskan kerahku!" Balas Raditya seraya mendorong badanku menjauh. Dia mendorongku dengan sangat keras sehingga aku membentur tiang pualam di belakangku. Aku yakin ini semua disebabkan oleh wahana ini. Ada yang tidak beres dengan wahana ini dan sepertinya korek api ini juga terkoneksi dengan wahana ini. Kau keterlaluan Raditya, mengapa kau menjadi seperti ini di saat genting macam begini? Kau membuatku cemas sekaligus kebingungan sendirian. Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus mematahkannya agar batang korek api ini tidak terbakar habis? Tentu saja! Dengan begitu aku tidak akan melupakan Raditya dan semuanya. Aku juga bisa menyelamatkan semua orang atau setidaknya kami berdua.

"Aku bersumpah aku tidak akan bersedia ke sini, jika ini membuatmu lupa padaku, Ra!" Raditya hanya diam. Wajahnya menahan emosi sekaligus risau. Dia pasti kebingungan. "Aku akan mematahkannya, akan kupatahkan korek api ini! Hyaaaaat..."

"STOP, NONA! Kau akan mati jika mematahkannya!"

 

(Bersambung...)

Bismillah... Semoga dapat berlanjut. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun