"Tentu. Siapa yang tahan berlama-lama dengannya? Haha. Kukembalikan dia padamu, Puri," timpalku. Puri hanya mengerutkan dahi. "Dan bolehkah aku mengambil satu batang korek api ini?"
"Hmm. Masih rakus juga, kau ini?" tanyanya, sinks dan retoris.
"Kau yang paling mengerti bagaimana aku, Puri," jawabku.
Aku pun meninggalkan mereka berdua setelah mendapatkan batang korek apiku sendiri. Puri dan Dika, mereka berdua adalah permataku. Sayang. Saat ini keduanya tengah menyembunyikan kilaunya dariku.
Hanya satu menit kutinggalkan Raditya, kini dia telah mencapai tepat di depan portal "Wahana Imajinasi". Dia adalah berlianku, yang bersinar tanpa mengenal waktu. Dan jemari kami pun kembali saling bertaut, tak ingin terpisahkan, barang sedetik pun, bahkan oleh sekadar portal sialan yang tak memperbolehkan kami masuk berdua sekaligus.
Petugas portal berdiri di sebelah kanan, memegang sebuah pemantik otomatis untuk menyalakan batang-batang korek api kami, para pengunjung. Aku tak berbohong kepada Dika ketika aku berkata bahwa selalu ada hal menakjubkan yang terjadi saat aku bersama Raditya. Kami berdua adalah sesama "penjelajah". Dan hanya seorang penjelajah seperti kami yang mampu mengerti hal menakjubkan macam apa, yang kami temui setiap kami memasuki berbagai macam tempat di dalam Dunia Imaji, dunia yang tak dapat dimasuki oleh orang-orang seperti Puri dan Dika.
Aku tahu mengapa Raditya sangat ingin mencoba wahana ini. Dia sudah kecanduan pada Dunia Imaji. Dan dia mengharapkan sesuatu yang sama akan terjadi di dalam wahana ini. Aku tak dapat mencegahnya, meski aku merasakan keseimbangan aura yang tidak stabil dari dalam wahana tersebut. Sejak kami mengantre setengah jam yang lalu, aku tak pernah melihat satu pun orang keluar. Ada dua kemungkinan untuk menjawab hal ini, satu: pintu keluarnya berada di sisi yang berbeda, dua: durasi permainannya lama dan ada beberapa stage di dalam wahana ini sehingga dapat dimasuki beberapa kloter sekaligus. Namun, aku tak dapat menampik adanya kemungkinan ketiga, yang pastinya adalah...
"Hei! Kau terlalu berpikir, bocah! Jangan bengong, Utari!" teriak Raditya yang ternyata sudah melewati portal dan memasuki mulut gua, gerbang wahana tersebut. Aku pun bergegas menyusulnya setelah menyalakan korek apiku.
Raditya memasuki gua lebih dulu. Aku tepat di belakangnya. Kami masih berbalas senyum sambil sesekali memamerkan korek api masing-masing. Batang korekku baru sepertiga terbakar, sedangkan miliknya sudah hampir terbakar sepenuhnya, ketika dia menoleh ke depan membuatku memandangi kepala belakangnya, memandang surai hitamnya yang lurus tetapi sedikit mencuat di bagian ekornya.
"Ra! Raditya! Apa kau tahu apa yang akan terjadi jika batang koreknya habis terbakar dan apinya tak lagi menyala?" tanyaku iseng sambil berjalan menyusuri koridor wahana.
Dia tak meresponku. Aku kembali bicara, "Uhm. Maksudku, biasanya kau pandai menebak. Uhn...kali ini kau tidak cerewet. Apa kau sudah lupa caranya menjadi jenius, Ra?" Dia mengacuhkanku lagi? Apa aku sedang bermonolog? Dasar menyebalkan!