Mohon tunggu...
Anifatun Mu'asyaroh
Anifatun Mu'asyaroh Mohon Tunggu... freelance -

Pengangguran yang gemar berkhayal. Penulis pemula-pemalu. Pembaca diam-diam. Saya cinta fiksi 💚...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Mimpi Anak Jalanan

25 Maret 2016   16:37 Diperbarui: 25 Maret 2016   20:02 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi - pengamen cilik (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)"][/caption]Saat itu, hujan berderai di sekitar stasiun. Aku tidak tahu apakah hal yang sama terjadi di tempatmu, Kawan. Kuhitung beberapa tetesannya, hingga lama-lama aku tertidur sembari memangku koran.

Aku bermimpi bertemu dengan seorang bapak tua dengan semangat yang tak kalah dari semangat pemuda berumur 17 tahun. Entah mengapa aku menyimpulkannya sebagai seorang tua, padahal rambutnya jauh dari kata ubanan, senyumannya tak diikuti keriput atau lekuk-lekuk aliran keringat. Hanya saja, ia terlihat jauh lebih tua dariku. Tua pengalamannya. Aku yang hanya seorang loper koran adalah seseorang yang dangkal pengalaman dan rendah pengetahuan.

Si Bapak terlihat kalem. Kalem di awal ternyata pecicilan di tengah perkenalan. Si Bapak menggandeng seorang wanita sebaya dengannya. Wanita yang tak kalah semangat dengannya, tak kalah mempesonanya dengan si Bapak. Lalu, aku mulai memanggilnya dengan sebutan si Ibu.

Si Bapak dan Ibu ini menyapaku terlebih dulu. Dua batang lollypop susu disodorkan kepadaku. Aku sempat curiga jangan-jangan lollypop itu sudah diberi racun atau setidaknya obat tidur. Terbayang adegan di mana aku sedang mengemut-emut lollypop dengan beringas, lalu aku tiba-tiba pingsan dan si Bapak Ibu itu menjarah barang-barangku dan kabur meninggalkanku, membiarkanku jadi gelandangan. Namun, setelah kupikir-pikir, barang apa yang bisa mereka rampas dariku? Koran-koran pagi yang hingga semalaman ini belum juga laku?

Aku menerima lollypop susu yang terlihat mahal itu. Aku cicipi dan aku biarkan rasanya meleleh di permukaan lidahku. Manis dan legit. Manis sekali, meskipun itu ada di dalam mimpi. Aku tahu ini mimpi dan aku masih tak ingin terbangun: karena aku pikir ini akan menjadi mimpi yang sangat indah; karena aku mengharapkan hal-hal lain yang lebih menakjubkan terjadi setelah aku menghisap lollypop ini; karena aku merindukan sosok bapak dan ibu yang belum pernah kuraba jemari tangannya sama sekali.

Aku menatap wajah Bapak dan Ibu itu. Mereka tersenyum haru. Seolah-olah adegan seorang loper koran mengemut lollypop merupakan adegan paling mengharukan yang pernah mereka temui sepanjang hidup mereka. Si Ibu mendekat, seolah-olah akan mengatakan sesuatu. Dia semakin dekat dan dekat hingga wajah kami hanya berjarak beberapa senti. Tiba-tiba bibirnya mendekat ke telinga kananku dan berbisik, "Dek, mau nggak ngamen bareng kami? Kami kekurangan personel nih. Kami pernah dengar suara adek loh. Nggak parah-parah amat nyanyinya."

Belum sempat aku terkaget, si Bapak itu sudah mengimbuhi, "Iya, Dek. Kami butuh vokalis. Aku main perkusi dan harmonika, sedangkan istriku terbiasa main gitar sambil menyanyi, tapi sayang sekali suaranya sangat tidak enak didengar!" kata si Bapak sambil melirik ke arah si Ibu yang sekarang sedang melemparkan tatapan mematikan kepadanya. Si Bapak lantas mengangguk-angguk minta maaf kepada si Ibu yang tersenyam-senyum palsu. Aku bisa menebak si Ibu pasti sedang menunda emosinya yang sebetulnya siap meletus.

Aku harus mencerna tawaran mereka setidaknya selama semenit. Hingga mereka panik dan mengira aku pingsan sambil melotot, aku masih enggan menanggapi tawaran mereka. Aku memikirkan kawanku yang saat ini belum datang ke stasiun. Jika aku pergi dengan mereka, aku takut aku tidak akan bertemu lagi dengan kawan tercintaku itu. Aku tak bisa mendengarkan senandung lembutnya lagi, aku akan kehilangan senyum dan tawanya untuk waktu yang lama, hingga mungkin suatu saat kami berpapasan di suatu tempat saat aku tampil dan dia sedang melambai-lambaikan koran kepada calon pembeli.

Namun, toh aku kembali berpikir, ini adalah mimpi, semuanya akan berakhir saat aku terbangun dan aku masih tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Meskipun pada awalnya aku sempat berpikir bahwa si Bapak dan si Ibu ini adalah sepasang suami-istri kaya raya yang sedang mencari anak adopsi lalu berniat mengadopsiku setelah melihatku, tapi aku tetap senang jika aku berada di dekat orang-orang yang menginginkanku. Aku senang di dekat mereka, meskipun mereka hanya pengamen yang mengadakan penampilan di pinggir jalan. Kawanku, maaf aku meninggalkanmu, sekali ini saja, di mimpi ini saja.

Kudekati gitar itu. Gitar si Ibu yang tersandar pada salah satu tiang peron. Kupetik satu per satu dawainya. Merdu. Dari dawai pertama hingga keenam, dari yang paling nyaring hingga paling dalam. Aku menyukai suaranya, lalu aku mengangguk pada si Ibu.

*****

Aku terbangun di pagi harinya. Koran-koranku masih tak laku. Aku benar-benar tidur semalaman dan menikmati mimpi tak jelas yang cukup menyenangkan. Bernyanyi dengan dua orang yang baru kukenal di dekat sebuah bangunan di Kota Tua, dilingkari penonton yang takjub dengan tabuhan perkusi Bapak dan permainan petikan gitar Ibu serta sedikit mendengarkan cicit nyanyian suara cempreng seorang anak usia 12 tahun milikku. Ya, mereka berdua membiarkanku memanggil mereka Bapak dan Ibu, dan aku pun membiarkan mereka memanggilku Nada.

Aku, entah bagaimana caranya akhirnya dapat mencoba bernyanyi, meski hanya sekali di mimpi malam itu. Aku mampu mendengarkan setiap beat yang diciptakan secara mantap oleh Bapak juga permainan gitar Ibu yang begitu harmonis dengan setiap hentakan perkusi yang dimainkan Bapak. Aku lupa bahwa aku bisu di luar mimpiku.

Kini, aku kembali ke rutinitas sehari-hariku. Kuikhlaskan koran yang tak terbeli, teronggok begitu saja di bawah bangku stasiun. Kudengar peluit kereta dari arah Jakarta Kota semakin jelas dan aku tertarik dengan nyanyian indah seseorang yang sangat kukenal di sampingku. Kawanku, kau sudah kembali? Kataku dalam hati.

Aku memang bisu, tapi aku tak tuli. Aku mampu menciptakan sebuah lagu dengan memanfaatkan tetesan air hujan yang menimpa seng-seng penutup rumah Ipan jika aku mau. Aku mampu memainkan konser ria perkusi dari sendok dan pecahan gelas piring jika aku mau. Dan mungkin aku mampu bernyanyi jika ada yang memintaku. Sayangnya, belum ada orang yang memintaku.

Aku bisu bukan karena aku benar-benar bisu. Aku bisu karena Bapak Ibuku meninggalkanku hingga aku lupa caranya bersuara. Trauma. Dan kawanku adalah satu-satunya orang yang mampu membuatku terus bernyanyi, meskipun dalam diam. Dia loper koran dengan masa depan cerah jika boleh kukatakan. Suaranya adalah masa depannya. Hanya saja orang-orang terlalu malas mendengarkan suara orang seperti kami. Hanya saja kami membutuhkan penampilan agar orang-orang melirik kami. Hanya saja, jika aku bisa melakukan hal yang sama dengan yang terjadi di dalam mimpiku... Ya! Aku bisa membuatnya terjadi. Aku mampu membuat kawanku mengadakan penampilan jalanan bersama pengamen jalanan. Apa yang kualami di mimpiku, pasti dapat dialami oleh kawanku di alam nyata ini. Ini tekadku.

Pintu gerbong kereta arah Jakarta Kota tepat berhenti lima meter di depan lututku. Satu per satu penumpang turun dengan berdesakan. Aku tak terlalu tertarik mengamati mereka, kepala demi kepala. Aku mengalihkan pandanganku mencari keberadaan kawanku. Dia tertidur nyenyak di lantai batu stasiun, memeluk koran yang masih baru dan bau percetakan. Sekilas, aku teringat mimpiku semalam juga detik-detik sebelum aku mulai tertidur dan menyongsong mimpi indah itu.

Tiba-tiba dari arah gerbong kereta muncul suara-suara yang kukenal. Kukenal belum lama. Suara baritone seorang laki-laki yang masih hangat terekam di otak, disusul suara halus seorang wanita yang sangat menenteramkan. Kulemparkan pandanganku dari tempat kawanku menuju asal suara itu. Dan terlihatlah jari-jari lentik si pemetik gitar yang kulihat semalam lengkap dengan gitar coklat kayunya di pegangan tangan kanan. Dua buah perkusi tertenteng merana di tangan orang di dekatnya, dia si Bapak yang semalam mengatakan suara istrinya tidak enak didengar.

Dan aku tahu, mimpiku akan terulang lagi untuk kawanku hari ini.

Depok, 17 Mei 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun