Mohon tunggu...
Anifatun Mu'asyaroh
Anifatun Mu'asyaroh Mohon Tunggu... freelance -

Pengangguran yang gemar berkhayal. Penulis pemula-pemalu. Pembaca diam-diam. Saya cinta fiksi 💚...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Mimpi Anak Jalanan

25 Maret 2016   16:37 Diperbarui: 25 Maret 2016   20:02 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terbangun di pagi harinya. Koran-koranku masih tak laku. Aku benar-benar tidur semalaman dan menikmati mimpi tak jelas yang cukup menyenangkan. Bernyanyi dengan dua orang yang baru kukenal di dekat sebuah bangunan di Kota Tua, dilingkari penonton yang takjub dengan tabuhan perkusi Bapak dan permainan petikan gitar Ibu serta sedikit mendengarkan cicit nyanyian suara cempreng seorang anak usia 12 tahun milikku. Ya, mereka berdua membiarkanku memanggil mereka Bapak dan Ibu, dan aku pun membiarkan mereka memanggilku Nada.

Aku, entah bagaimana caranya akhirnya dapat mencoba bernyanyi, meski hanya sekali di mimpi malam itu. Aku mampu mendengarkan setiap beat yang diciptakan secara mantap oleh Bapak juga permainan gitar Ibu yang begitu harmonis dengan setiap hentakan perkusi yang dimainkan Bapak. Aku lupa bahwa aku bisu di luar mimpiku.

Kini, aku kembali ke rutinitas sehari-hariku. Kuikhlaskan koran yang tak terbeli, teronggok begitu saja di bawah bangku stasiun. Kudengar peluit kereta dari arah Jakarta Kota semakin jelas dan aku tertarik dengan nyanyian indah seseorang yang sangat kukenal di sampingku. Kawanku, kau sudah kembali? Kataku dalam hati.

Aku memang bisu, tapi aku tak tuli. Aku mampu menciptakan sebuah lagu dengan memanfaatkan tetesan air hujan yang menimpa seng-seng penutup rumah Ipan jika aku mau. Aku mampu memainkan konser ria perkusi dari sendok dan pecahan gelas piring jika aku mau. Dan mungkin aku mampu bernyanyi jika ada yang memintaku. Sayangnya, belum ada orang yang memintaku.

Aku bisu bukan karena aku benar-benar bisu. Aku bisu karena Bapak Ibuku meninggalkanku hingga aku lupa caranya bersuara. Trauma. Dan kawanku adalah satu-satunya orang yang mampu membuatku terus bernyanyi, meskipun dalam diam. Dia loper koran dengan masa depan cerah jika boleh kukatakan. Suaranya adalah masa depannya. Hanya saja orang-orang terlalu malas mendengarkan suara orang seperti kami. Hanya saja kami membutuhkan penampilan agar orang-orang melirik kami. Hanya saja, jika aku bisa melakukan hal yang sama dengan yang terjadi di dalam mimpiku... Ya! Aku bisa membuatnya terjadi. Aku mampu membuat kawanku mengadakan penampilan jalanan bersama pengamen jalanan. Apa yang kualami di mimpiku, pasti dapat dialami oleh kawanku di alam nyata ini. Ini tekadku.

Pintu gerbong kereta arah Jakarta Kota tepat berhenti lima meter di depan lututku. Satu per satu penumpang turun dengan berdesakan. Aku tak terlalu tertarik mengamati mereka, kepala demi kepala. Aku mengalihkan pandanganku mencari keberadaan kawanku. Dia tertidur nyenyak di lantai batu stasiun, memeluk koran yang masih baru dan bau percetakan. Sekilas, aku teringat mimpiku semalam juga detik-detik sebelum aku mulai tertidur dan menyongsong mimpi indah itu.

Tiba-tiba dari arah gerbong kereta muncul suara-suara yang kukenal. Kukenal belum lama. Suara baritone seorang laki-laki yang masih hangat terekam di otak, disusul suara halus seorang wanita yang sangat menenteramkan. Kulemparkan pandanganku dari tempat kawanku menuju asal suara itu. Dan terlihatlah jari-jari lentik si pemetik gitar yang kulihat semalam lengkap dengan gitar coklat kayunya di pegangan tangan kanan. Dua buah perkusi tertenteng merana di tangan orang di dekatnya, dia si Bapak yang semalam mengatakan suara istrinya tidak enak didengar.

Dan aku tahu, mimpiku akan terulang lagi untuk kawanku hari ini.

Depok, 17 Mei 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun