Aku bergetar dalam posisiku. Tidak mungkin kau melihatku. Namun, mengingat di dalam pesanmu kau seperti pernah meramalkan kematianku, aku tak ragu kau merasakanku yang tengah kebingungan. Aku bukan manusia dan sebentar lagi aku pasti tertangkap Tuhan. Meski demikian, aku belum ingin pergi tanpa mengenyangkan rasa penasaranku. Maka aku berharap Tuhan memberiku sedikit waktu.
Pesan kedua, kau mengirimiku sebuah foto burung-burung surga dari Timur yang lebat betul bulu ekornya. Kau berkata, "Aku yakin di surga, burung-burung ini terlihat lebih cantik. Bergembiralah. Kita sama-sama menikmati makhluk-makhluk cantik nan murni ciptaan Tuhan di alam kita masing-masing."
Aku merinding. Bagaimana kau yakin Tuhan memasukkanku ke dalam surga? Aku ingin sekali berteriak amin, tapi tak bisa. Seketika aku merasa ditampar, apakah kau tengah menyindirku yang membuntutimu dan tak kunjung datang ke sisi-Nya? Seketika berikutnya, aku mulai ketakutan jika Tuhan menjebloskanku ke neraka karena aku tak lebih memilih-Nya.Â
Pesan ketiga hingga kesembilan, kau semakin menyempurnakan pesanmu. Perasaan dan perintahmu, tidak lagi kau tutupi dengan petunjuk-petunjuk atau perumpamaan. Kau masih mengirimiku gambar, mengetikkan kata-kata yang menggambarkan keseharianmu, lalu berakhir dengan menyuruhku kembali ke jalur pulangku. Apakah aku terlalu keras kepala karena tak kunjung rela pergi dari sisimu? Ah, bahkan kepala betulan pun aku tak punya. Namun, aku jengah karena setelah mati pun aku masih diusir olehmu. Aku sebaiknya segera menyerah dan mengaku salah kepada Tuhan.
Pesan kesepuluh di hariku yang keempat puluh, "Hari keempat puluh ini, seharusnya kau telah naik semakin tinggi menembus awan. Di mana kau? Di balik awan putih? Atau abu-abu? Ah, di sini mendung dan gelap. Namun, di sana kau pasti tetap mendapatkan kecerahan, tentu saja. Kau lebih dekat dengan-Nya. Kuharap kau telah puas mengawasiku, aku bahagia kau menyaksikanku baik-baik saja, menjalani hidup baruku, mengatasi rasa larutku terhadapmu, dan berhasil mewujudkan tujuanku di dekat alam. Ikhlasku sudah bulat, bagaimana denganmu? Tuhan akan sedih jika kau tak segera melupakan kefanaan, aku, dan seisi duniamu yang dulu. Aku selalu berdoa agar dapat berjumpa kembali denganmu di surga kekal-Nya. Maka bersabarlah dan jangan membuat doaku sia-sia, Rhana."
Ditya. Dia bersungguh-sungguh mendoakan kebaikanku. Apakah Tuhan akan mengabulkannya? Apakah Tuhan akan mengampuniku yang melarikan diri dari-Nya sejak empat puluh hari yang lalu, Ditya?Â
Tiba-tiba kau mengatakan pesan kesebelas, tidak mengetiknya, "Kau harus memastikan kita dapat bertemu di surga-Nya. Jangan sia-siakan bekal yang telah kau kumpulkan selama hidup, Rhana. Mari kita sama-sama berusaha."
Kurasakan suara itu semakin samar terdengar. Namun, aku tahu dia akan berusaha menjadi manusia Tuhan yang baik. Aku tahu dia akan hidup dengan cara baik dan untuk berbuat baik. Aku berharap dia berjodoh dengan orang-orang baik dan kami dapat bertemu di suatu hari yang baik di kehidupan kekal nanti. Aku hanya perlu menunggu hingga hari baik itu tiba.Â
Sampai jumpa lagi, Ditya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H