Mohon tunggu...
Anifatun Mu'asyaroh
Anifatun Mu'asyaroh Mohon Tunggu... freelance -

Pengangguran yang gemar berkhayal. Penulis pemula-pemalu. Pembaca diam-diam. Saya cinta fiksi 💚...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesan untuk Rhana

11 Maret 2016   03:33 Diperbarui: 16 Maret 2016   16:04 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bawa aku besertamu. Hn. Tanpa kupinta persetujuan pun, aku pasti menyertaimu. Dari atas awan yang memutih dan mengabu-abu, kulihat selaksa sinar mentari yang mengintip tanpa mengendap-endap, tak tanggung-tanggung hingga menusuk bumi. Kau mengirimkan pesan-pesan percuma kepadaku, beberapa berisi potret alam yang tengah bercengkerama dengan penghuninya tanpa melibatkan bahasa. Aku tak pernah menerima pesan itu, tapi aku mampu melihat mereka, juga melihatmu, meski dengan suara yang diredam. Tentu saja, karena kini aku telah menjadi bisu. 

Empat puluh hari yang lalu, kita masih bertemu. Apakah boleh digolongkan sebagai sebuah pertemuan? Kukira bertemu tak harus berkomunikasi bukan? Anggaplah aku benar, karena kau tidak lagi berkesempatan menudingku salah.

Empat puluh hari yang lalu, mengapa kau tidak menangis untukku? Aku bersyukur kau tidak melakukannya. Namun, mengapa kau sama sekali tidak merindukanku? Ini membuatku ingin hidup dan menendang tulang keringmu hingga kau terjungkal dan terguling-guling kesakitan. Aku pergi, tak yakin diperjumpakan lagi denganmu. Namun, tatapan sedingin esmu tak jua meleleh, apalagi menghangat. Aku pikir kau memang buta rasa, membuatku semakin ingin menendangmu hingga menyusulku. 

Aku masih berputar berkeliling dan keluar masuk di rumahku hingga pagi ketujuhku. Sesekali membuntuti Nikka yang tak pernah kehabisan stamina. Seringnya duduk diam di ruang menonton televisi sembari mengamati wajah mamak, bapak, nini, uwak, lilik, dan semua orang yang mendadak rajin mengunjungi rumahku yang selama ini dingin. Mengapa tak mereka lakukan dari dulu? Terkadang perayaan kematian justru lebih ramai dibandingkan perayaan kelahiran. Ini contohnya. 

Siang, di hari ketujuh, kau datang ke rumahku. Aku menguping dari balik gorden biru pembatas ruang tamu, kau akan kembali pergi ke Timur. Kau meminta izin kepada mamak dan bapakku seperti biasa, dan seperti biasa kau pasti melewatkanku. Terlebih dengan keadaan baruku. Tanpa menaruh curiga, mamak melepasmu pergi seperti biasa. Mamak memang tidak tahu putrinya yang dulu pernah cinta mati kepadamu. Kuralat, payahnya, cinta putrinya sampai mati dan setelah mati. Aku penasaran, Tuhan tidak segera mengirimkan malaikatnya untuk menangkap dan menginterogasiku. 

Kau tak langsung pergi, ketika mamak berbalik masuk. Kau berdiri-diri tanpa bunyi atau ekspresi, hingga mamak pun risih dan tak jadi masuk. Beliau tak bertanya, tapi kau menjawab. Kau bilang kau ingin mengirimkan pesan penting untukku lewat mamak. Mamak sudah pasang telinga, tapi kau justru membatalkannya. Kau tahu? Aku seakan ingin meninju dinding di belakangku, jika aku bisa. Kau selalu saja berubah-ubah. Mungkin ada A hingga Z keputusan yang kau ambil dalam semenit, dari dulu tak berubah sama sekali. Mamak bingung dan kau menghadiahinya dengan senyuman yang basah oleh air mata. Aku tidak tahu kau menangis sedih atau geli. 

"Aku akan mengirimkan pesan-pesanku ke nomor pribadinya saja, Bu Lik." 

"Nomornya rusak bersamaan dengan kejadian itu, Ditya. Sudahlah, Dik Ditya. Kirim doa saja untuknya. Dia lebih butuh. Kamu juga lebih mudah ikhlas. Kami sudah ikhlas. Kamu juga harus, Dik."

"Ya, Bu Lik. Aku pamit."

Aku tidak percaya apa yang kudengar. Apakah kau memang menyukai menyampaikan rahasia kepada makhluk selain manusia? Aku terkejut, kau tampak lebih baik dari es, tapi aku lebih terkejut karena kau menyimpan pesan penting untukku dan bersikeras untuk tetap mengirimkannya meski tak kan pernah kubaca. Aku tak ingin aku tak  membacanya, maka di hari itu aku bertekad meninggalkan rumah dan mengikutimu ke mana pun kau pergi. Timur? Barat? Ke manapun, tak akan kulepaskan.

Pesan pertamamu, kau menyelipkan doa dalam sapa singkat dengan bahasa yang kukenal. Lalu kau menyisipkan penjelasan, "Kau pernah bertanya mengapa aku tak suka membalas pesan atau sapamu? Itu karena aku tak ingin aku terlarut, lalu gila, ketika kau tak lagi mampu mengirimkan pesan atau sapa. Kukira membentengi diri darimu dapat membuatku tetap hidup ketika kematian datang menjemputmu. Namun, ternyata aku tetap terseret, karena telah terlarut bahkan sejak sebelum menyadari aku akan terlarut. Hari ini hari ketujuhmu, tapi aku masih merasakan kehadiranmu di sampingku, mengintipku mengetik setiap huruf untuk pesan ini. Apakah aku penyebabnya?" Dan kau kirim pesan panjang itu ke nomorku. Tanda seru mengekori peringatan yang mengatakan bahwa pesanmu gagal mencapaiku.

Aku bergetar dalam posisiku. Tidak mungkin kau melihatku. Namun, mengingat di dalam pesanmu kau seperti pernah meramalkan kematianku, aku tak ragu kau merasakanku yang tengah kebingungan. Aku bukan manusia dan sebentar lagi aku pasti tertangkap Tuhan. Meski demikian, aku belum ingin pergi tanpa mengenyangkan rasa penasaranku. Maka aku berharap Tuhan memberiku sedikit waktu.

Pesan kedua, kau mengirimiku sebuah foto burung-burung surga dari Timur yang lebat betul bulu ekornya. Kau berkata, "Aku yakin di surga, burung-burung ini terlihat lebih cantik. Bergembiralah. Kita sama-sama menikmati makhluk-makhluk cantik nan murni ciptaan Tuhan di alam kita masing-masing."

Aku merinding. Bagaimana kau yakin Tuhan memasukkanku ke dalam surga? Aku ingin sekali berteriak amin, tapi tak bisa. Seketika aku merasa ditampar, apakah kau tengah menyindirku yang membuntutimu dan tak kunjung datang ke sisi-Nya? Seketika berikutnya, aku mulai ketakutan jika Tuhan menjebloskanku ke neraka karena aku tak lebih memilih-Nya. 

Pesan ketiga hingga kesembilan, kau semakin menyempurnakan pesanmu. Perasaan dan perintahmu, tidak lagi kau tutupi dengan petunjuk-petunjuk atau perumpamaan. Kau masih mengirimiku gambar, mengetikkan kata-kata yang menggambarkan keseharianmu, lalu berakhir dengan menyuruhku kembali ke jalur pulangku. Apakah aku terlalu keras kepala karena tak kunjung rela pergi dari sisimu? Ah, bahkan kepala betulan pun aku tak punya. Namun, aku jengah karena setelah mati pun aku masih diusir olehmu. Aku sebaiknya segera menyerah dan mengaku salah kepada Tuhan.

Pesan kesepuluh di hariku yang keempat puluh, "Hari keempat puluh ini, seharusnya kau telah naik semakin tinggi menembus awan. Di mana kau? Di balik awan putih? Atau abu-abu? Ah, di sini mendung dan gelap. Namun, di sana kau pasti tetap mendapatkan kecerahan, tentu saja. Kau lebih dekat dengan-Nya. Kuharap kau telah puas mengawasiku, aku bahagia kau menyaksikanku baik-baik saja, menjalani hidup baruku, mengatasi rasa larutku terhadapmu, dan berhasil mewujudkan tujuanku di dekat alam. Ikhlasku sudah bulat, bagaimana denganmu? Tuhan akan sedih jika kau tak segera melupakan kefanaan, aku, dan seisi duniamu yang dulu. Aku selalu berdoa agar dapat berjumpa kembali denganmu di surga kekal-Nya. Maka bersabarlah dan jangan membuat doaku sia-sia, Rhana."

Ditya. Dia bersungguh-sungguh mendoakan kebaikanku. Apakah Tuhan akan mengabulkannya? Apakah Tuhan akan mengampuniku yang melarikan diri dari-Nya sejak empat puluh hari yang lalu, Ditya? 

Tiba-tiba kau mengatakan pesan kesebelas, tidak mengetiknya, "Kau harus memastikan kita dapat bertemu di surga-Nya. Jangan sia-siakan bekal yang telah kau kumpulkan selama hidup, Rhana. Mari kita sama-sama berusaha."

Kurasakan suara itu semakin samar terdengar. Namun, aku tahu dia akan berusaha menjadi manusia Tuhan yang baik. Aku tahu dia akan hidup dengan cara baik dan untuk berbuat baik. Aku berharap dia berjodoh dengan orang-orang baik dan kami dapat bertemu di suatu hari yang baik di kehidupan kekal nanti. Aku hanya perlu menunggu hingga hari baik itu tiba. 

Sampai jumpa lagi, Ditya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun