Mohon tunggu...
Anifatun Mu'asyaroh
Anifatun Mu'asyaroh Mohon Tunggu... freelance -

Pengangguran yang gemar berkhayal. Penulis pemula-pemalu. Pembaca diam-diam. Saya cinta fiksi 💚...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Hati, Patah

6 Maret 2016   03:28 Diperbarui: 6 Maret 2016   03:33 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepertinya aku kembali patah hati
Karena terlalu memaksa menyimpan cinta
Untuk benda hidup yang tak ingin dicintai 

Aku kira kami hampir mendekati dekat
Ternyata aku hanya orang lewat
Aku kira sayangku terkirim dengan tepat
Ternyata dia tersesat, pun salah alamat 

Lagi-lagi aku salah paham
Aku kira kami cukup mungkin untuk bermain peran
Ternyata, sandiwara tak pernah menang dari hakikinya kenyataan
Formalitas tak 'kan pernah meleleh menjadi fleksibilitas
Kami tetap bagai dua kutub yang saling aku, tapi tak sudi duduk berdampingan 

Aku tak menuntut koneksi
Aku tahu, ini arena sebelah sisi
Namun, tak kukira, adaku begitu asing
Di saat aku tengah girang, aku dapat berkisah dengan sering 

Ini bukan tentang kisah cinta
Namun, ini patah hati dan aku memaksa
Rasanya sama seperti ketika dipatahkan oleh cinta
Rasa kosong yang mencabik, karena menjadi kepingan tak berhawa secara tiba-tiba 

Dari awal aku salah
Mengira menaklukan macan yang belum pernah kukenal
Dan kini dinding kamar pun tak lagi mampu berpura-pura
Menertawai lambanku, menyadari kami, sesama sebatas pengguna jasa 

Aku memang patah hati
Karena kukira satu-satunya yang tersisa
Telah menguap menjadi mendung yang tak akan menghujan turun
Namun, aku pemercaya lahirnya hal baik dari matinya hal, baik tak baik, yang lain

Hatiku masih luas
Patah satu teras, tak kan mati seluruh badan
Aku mengaku, lama-lama ia kebas
Mati rasa, tuna akan kepekaan
Namun, bagaimana pun, aku masih bersisa
Tak adil jika harus berhenti karena alasan sisa 

Baik, mungkin harus lebih berhati-hati memberi hati 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun