Mohon tunggu...
Anifatun Mu'asyaroh
Anifatun Mu'asyaroh Mohon Tunggu... freelance -

Pengangguran yang gemar berkhayal. Penulis pemula-pemalu. Pembaca diam-diam. Saya cinta fiksi 💚...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengapa Kau Melamarku Saat Itu?

22 Februari 2016   17:35 Diperbarui: 22 Februari 2016   18:01 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Singkirkan!" kataku dengan suara sedikit bergetar. Kau menurut tanpa sedikit pun memandangku. Aku dapat melangkah masuk, tetapi aku merasa terusir oleh cintaku sendiri. Apakah ini benar-benar telah berakhir? Cinta yang bertepuk sebelah tangan tak akan pernah menemukan pasangan tangannya? Tak akan pernah benar-benar bertepuk tangan? 

Kembali aku bertanya, "Mengapa kau melamarku saat itu?" 


***** 

Langit senja Jakarta. Tak kemuning, tak dilukisi jingga memerah. Abu-abu. Abu-abu di mana-mana. Aku menikmatinya sembari duduk di atas ayunan. Monumen bermahkota emas itu berdiri tegak, mencuat ke atas seperti ingin menusuk langit. Mengapa harus dia yang terhadir di hadapanku? Mengapa aku duduk di atas ayunan karet ini? Berayun tanpa henti, sembari memandangi monumen tua congkak, yang tampak berlompat-lompat seiring ayunanku yang bergerak konstan, ke depan dan belakang. 

Aku terhenyak, bersandar ke penyangga punggung ayunan karet itu. Gerimis sedikit demi sedikit mengiklankan diri, mendarat lemah di atas pangkuanku dan membuat basah rok coklat panjangku. 

'Aaargh, aku masih ingin di sini,' teriakku dalam hati. Aku tak peduli lagi dengan malam yang mulai menyergapi, dengan gerimis yang mulai membanjiri. Aku ingin membekukan perasaanku untukmu, menghanyutkan semua pikiran ilegalku tentangmu. 

Kutarik penutup kepala yang menyatu dengan jaket hoodie-ku. Terbungkam. Suara gerimis terdengar sedikit terbungkam, menyisakan suara dalam yang bergemericik menghantam tanah merah di bawahku. Terpagari. Aku hanya melihat ke depan, ke monumen bermahkota emas yang samar-samar mulai terselimuti kabut, tanpa melirik ke samping, tanpa menilik ke belakang. 

Bermenit-menit, aku masih melayang, berayun lemah tanpa ingin memijak tanah. Air langit ini mulai menelusup memasuki pori jaketku. Dingin mulai menjilati kulitku. Langit mulai menghitam pekat. Mungkin sudah seharusnya kusudahi upacara kesedihan bermandikan gerimis ini. 

Kuberhentikan laju ayunanku. Diam di tempat, kutatap monumen bermahkota emas itu untuk terakhir kalinya di hari ini. Semenit? Mungkin lebih. 

Aku tak pernah berkawan ketika pulang dan kali ini ingin sekali aku memilikinya. Aku kembali teringat akan kau. Kau lagi dan kau lagi! Apa tak cukup gerimis ini menyingkirkanmu dari pikiranku? Aku tertunduk frustasi. 

Tetiba, suara terkekeh terdengar dari arah kananku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun