Kau mengenakan kaos biru muda berhiaskan pelangi dan tampak tengah memiliki percakapan setengah serius dengan sepupu perempuanku. Kalian berdiri memalang di pintu laboratorium. Bagaimana kalian bisa menjadi begitu dekat? Bahkan ketika berbulan-bulan aku dan kau hidup bersama, waktu itu, kita berdua tak cukup memiliki kedekatan seperti itu.Â
Ini membuatku bertanya-tanya, "Mengapa kau melamarku saat itu? Bukan dia saja atau perempuan yang bertetangga kamar dengannya, yang pernah sangat kau cintai lahir dan batin?"Â
Aku benci harus melewati kalian yang tengah berbincang akrab tanpa tahu tempat. Aku ragu, lalu kuputuskan untuk menunggu. Beberapa menit berlalu kalian tak juga berpindah tempat, meski belasan orang berlalu lalang melewati pintu itu.Â
"Kalian mengganggu! Sial!" teriak seorang remaja lelaki berseragam SMA, yang baru saja melewati pintu itu. Entah mengapa, aku merasa senang, mereka diteriaki.Â
Akhirnya, aku memutuskan untuk mengikuti jejak anak lelaki bermulut kasar itu. Aku sudah menyiapkan kata-kata makian, yang lebih memerahkan telinga, untuk kalian. Aku siap memaki, kalau-kalau kalian terlalu sulit untuk menyingkirkan badan. Dan tentu saja aku tidak peduli jika wajahku akan terlihat oleh kalian berdua. Toh, aku dan kau tak lagi punya urusan, tak lagi tersatukan oleh sebuah ikatan. Terlebih aku yakin, di sini hanya aku yang merasakan kesakitan oleh kecemburuan. Ya, aku memang akan tetap dan terus cemburu, meski kini aku tak lagi berhak melakukan itu.Â
Aku mendekat. Kebetulan kau membalikkan badan. Kalian tak lagi saling berhadapan. Punggungmu terlihat jelas membelakanginya. Apa kalian tetiba bertengkar?Â
Namun, hey, ini kesempatan baik untukku lewat tanpa terlihat. Kunaikkan kecepatan langkahku dan sekejap telah kucapai pintu. Dengan sigap, aku putar daun pintu hingga kaitnya terbuka dan badan pintu itu terhuyung ke dalam.Â
Aku siap berlari ke dalam laboratorium. Namun, tiba-tiba, "Hap," tangan kananmu memblokade jalanku dengan rentangannya yang membentuk sebuah palang pintu. Aku terhalang, terhenti di antara kalian. Kau masih membelakanginya dan kini bertambah aku. Mata kita tak bertemu, tapi aku yakin sepasang mata lain dari sosok sepupu bertalian darah, yang tengah berdiri di belakangku, tengah tertuju padaku. Aku dapat merasakan tusukan imajiner yang membuat isi kepalaku tak lagi bekerja sesuai tugasnya.Â
'Please, boy! Get out of my way. I wanna come in!' batinku.Â
Tetiba kau menyingkirkan tangan kananmu, memberikan akses untukku. Aku terkaget. Otakku menyuruhku untuk berlari, segera masuk. Namun, tubuhku berpendapat lain. Ia bergeming, tak sedikit pun mau bergeser dari tempat yang menyulut kengerian itu. Apa ini? Jantungku berdegup kencang seperti ketika pertama kali aku bertemu denganmu. Jatuh untuk kedua kali?Â
Butuh lima detik hingga aku dapat menguasai dan mengendalikan diriku sendiri. Ketika aku siap untuk melangkah masuk, kau membalikkan badanmu. Dan sekali lagi, kau menghalangi jalanku, berganti dengan tangan kirimu. Dengan jelas aku melihat wajahmu. Wajah yang sama, yang menyimpan misterinya sendiri, yang tak pernah dapat kemengerti. Melihat wajah itu, pilu dan amarah menghardirkan tenaga baru bagiku.Â