"Dhis coba rasakan getaran nadanya" sambil mengarahkan tangan Adhisti kembali ke tuts piano.
Senyum Adhisti kembali muncul, pak Jaya mengusap air mata Adhisti dan memeluknya. Lalu Adhisti menceritakan lomba yang Hasna beritahu, pak Jaya memberi dukungan agar Adhisti mencoba melatih kembali kemampuannya.
"Ayah yakin kamu bisa Dhis, bunda juga pasti dukung kamu dari sana" ucap pak Jaya dalam bahasa isyarat.Â
Adhisti tersenyum dan langsung memeluk ayahnya lagi.
Hari-hari berikutnya diisi dengan latihan dan lebih banyak latihan. Adhisti bermain piano setiap hari, belajar merasakan musik melalui getaran. Sahabat-sahabatnya, Aruna dan Hasna, juga sangat mendukung. Mereka sering datang ke rumah Adhisti untuk menemani dan membantunya.Â
Perjuangan Adhisti tidak mudah. Ada hari-hari ketika dia merasa frustrasi dan ingin menyerah. Tapi, dia selalu ingat kata-kata ayahnya  dan itu selalu memberinya kekuatan untuk melanjutkan.
"Aku sudah siap"
Setelah beberapa bulan berlatih, Adhisti mendaftar untuk sebuah kompetisi piano lokal. Saat dia berjalan ke panggung, dia bisa merasakan detak jantungnya berdebar kencang. Dia duduk di depan piano, dan mulai memainkan lagu pertamanya. Meskipun dia tidak bisa mendengar musiknya sendiri, dia bisa merasakannya dan itu terpancar melalui permainannya.
Ketika Adhisti selesai bermain, penonton memberinya tepuk tangan meriah. Dia tersenyum, merasa lega dan bahagia. Dia melihat ayahnya di antara penonton, menangis dan bertepuk tangan. Dia juga melihat Aruna dan Hasna, yang tampak bangga dan gembira.
"Anakku ayah bangga sekali, bunda kamu pasti menangis bahagia melihatmu" ucap pak Jaya dalam bahasa isyarat.
"Ayah, terimakasih, tanpa ayah Adhisti gak mungkin bisa diposisi ini, terimakasih udah bikin Adhisti semangat lagi buat bermusik, Adhisti sayang ayah" Balas Adhisti.Â