“Akang, kemarilah. Sudah waktunya makan siang!” Suara Dayang Sumbi yang memanggilnya dengan lantang menarik perhatian Jaka. Lelaki itu lekas menghampiri Dayang Sumbi sembari membawa empat ekor kelinci dan seekor rusa hasil buruannya.
“Hari ini kau banyak mendapatkan kelinci,” ujar Dayang Sumbi setibanya Jaka di hadapannya. “Kau benar. Maukah kau mengolah daging kelinci ini untuk makan malam?” Anggukan pelan diberikan Dayang Sumbi sebagai jawaban atas permintaan kekasih hatinya.
Di tengah hutan yang rindang dekat aliran sungai, Jaka duduk bersama Dayang Sumbi. Wangi harum masakan berlomba memasuki indera penciuman Jaka ketika rantang berisikan makanan sudah tersaji. “Masakanmu sangat lezat. Seolah kau selalu memberi bumbu rahasia tiap suapannya,” ucap Jaka dengan senyum menawan.
Rasa senang tak mampu disembunyikan Dayang Sumbi. “Apakah tubuhmu akan merasakan sakit yang teramat jika tak membuatku melambung atas pujianmu terhadap masakanku barang sehari?” Tawa Jaka mengudara mendengar pertanyaan jenaka yang dilontarkan Dayang Sumbi barusan.
“Mari kita habiskan waktu sedikit lebih lama sebelum kembali,” usul Jaka. Ditemani cahaya matahari yang sesekali mengintip melalui celah-celah daun pepohonan besar, membuat suasana siang hari antara dua sejoli itu penuh dengan suka cita.
Sembari menikmati hembusan angin yang terasa sejuk, Dayang Sumbi hendak menyisiri helaian rambut Jaka yang sedang beristirahat di atas pahanya dengan jari-jari lentiknya. Dengan perlahan ia buka ikat kepala yang Jaka pakai. Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Dayang Sumbi terkejut menemukan bekas luka di kepala Jaka yang mengingatkannya dengan seseorang.
“Dari mana kau dapatkan luka ini, Akang?” Jaka membuka matanya mendengar suara lirih Dayang Sumbi.
“Kemurkaan ibuku,” ucap Jaka seraya memejamkan kembali kelopak matanya. “Berburu sudah seperti teman sejatiku sejak kecil. Dulu, ada seekor anjing yang turut menemani ketika aku pergi berburu. Ia peliharaan ibuku, Tumang namanya,” jelas Jaka.
“Namun, suatu ketika Tumang membuatku kesal ketika sedang berburu. Maka kujadikan saja ia sebagai buruanku hari itu. Ibu murka begitu mengetahui lauk yang kita makan adalah hati Tumang. Ia melempariku dengan centong nasi dari kayu dan kemudian mengusirku.”
“Kau… kau kah itu Sangkuriang?” Jaka bergegas bangkit memandangi Dayang Sumbi dengan keterkejutan. “Aku ibumu, Sangkuriang. Ibumu…,” lanjut Dayang Sumbi. Lelehan air mata sudah jatuh membasahi pipi, tak kuasa mendengar penuturan Sangkuriang yang membawanya kembali pada masa itu.
“Barangsiapa mengambilkan teropong milikku yang terjatuh, bila laki-laki akan aku jadikan suami, namun bila perempuan aku akan menjadikannya saudari,” nazar seorang putri kerajaan, Dayang Sumbi, ketika alat tenun yang ia pakai terus terjatuh di lantai istana.
Seekor anjing peliharaan istana bernama Tumang tanpa disangka datang menghampiri dengan teropong di mulut. Tak ingin ingkar janji, Dayang Sumbi lalu menikah dengan Tumang dan tinggal jauh dari istana. Mereka dikaruniai seorang putra yang diberi nama Sangkuriang. Akan tetapi, Tumang memiliki satu permintaan kepada Dayang Sumbi, yaitu merahasiakan bahwa ia sebenarnya adalah jelmaan dewa berwujud anjing dari Sangkuriang.
Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang gemar berburu. Setiap hari ia pergi ke hutan untuk mendapatkan rusa, kelinci, atau babi hutan. Suatu pagi, Dayang Sumbi meminta kepada Sangkuriang, “Nak, tolong bawakan hati rusa untuk lauk malam nanti.”
Pergilah Sangkuriang menuju hutan bersama Tumang. Sekian lama menunggu, tak kunjung juga ia lihat seekor rusa. Bagaikan menemukan harta karun, seekor babi hutan kemudian melintas dengan cepat membuat Sangkuriang meminta Tumang untuk mengejar babi hutan tersebut.
Sayangnya, perintah Sangkuriang tak diindahkan oleh Tumang. Dengan kesal ia akhirnya membidik Tumang dengan panah yang ia bawa. Setelah menyimpan hati Tumang dalam kendi, Sangkuriang bergegas pulang.
Warna jingga di langit sebagai penanda hari sudah sore membuat Dayang Sumbi bertanya-tanya ke mana perginya Tumang. “Mengapa Tumang belum kembali? Hari akan segera gelap,” khawatir Dayang Sumbi.
Sangkuriang menolehkan kepala ketika pendengarannya menangkap pertanyaan Dayang Sumbi. “Hati yang barusan adalah milik Tumang.”
Dayang Sumbi begitu murka sampai melempari Sangkuriang centong nasi yang dipegangnya. Darah segar keluar dari kepala Sangkuriang. Ia merasa sakit hati karena berpikir ibunya lebih menyayangi anjing mereka dan tidak menyayanginya. Dayang Sumbi bahkan dengan tega mengusir Sangkuriang.
Waktu berlalu, Sangkuriang tumbuh menjadi lelaki tampan dengan kemampuan berburunya yang tak diragukan lagi. Kegemarannya berpetualang yang membuatnya sering bepergian dari satu desa ke desa lain, mempertemukan ia kembali dengan Dayang Sumbi. Kecantikan abadi Dayang Sumbi membuat Sangkuriang terpikat hingga berencana meminangnya.
“Kita tak bisa menikah. Aku tak mungkin menikahi darah dagingku.”
“Tidak. Jangan berbohong. Katakan dengan sejujurnya bila kau memang tak ingin menikah denganku. Apakah kau memiliki lelaki lain?!”
“Tak masuk akal. Sadarlah Sangkuriang. Aku ibumu. Sadarlah!”
Tanpa memperdulikan kebenaran yang disampaikan Dayang Sumbi, Sangkuriang tetap bersikeras ingin mempersunting Dayang Sumbi. Dengan penuh percaya diri ia berkata, “Sebutkan permintaanmu. Niscaya akan aku kabulkan apapun itu.”
Dayang Sumbi memikirkan hal-hal mustahil yang tak dapat dilakukan Sangkuriang. “Buatkan aku danau dengan perahu hanya dalam satu malam. Jika kau tak berhasil maka kita tidak akan menikah.”
Ambisi Sangkuriang membuatnya meminta bantuan kepada jin tanpa sepengetahuan Dayang Sumbi. Berita bahwa Sangkuriang hampir menyelesaikan syarat yang ia minta membuat Dayang Sumbi merasa takut. Ia lalu pergi ke gua yang terletak di bukit utara desa.
“Aku datang,” ucap Dayang Sumbi.
“Apa yang kau butuhkan?” Seorang nenek tua keluar dari dalam gua menggunakan tongkat dari batang pohon bidara.
“Jaka... ia ternyata Sangkuriang. Anakku, Sangkuriang. Tolong gagalkan usahanya. Ia hampir berhasil menyelesaikan permintaanku membuat danau dan perahu.”
“Sudah kukatakan. Ketamakanmu untuk memiliki kecantikan abadi dengan meminum darah saudaramu sendiri akan mencelakai dirimu.”
“Tolong bantu aku. Akan kulakukan apapun keinginanmu.”
“Pergi ke tempat lelaki itu berada sekarang dan bawa ini,” perintah nenek tua. Ia memberi Dayang Sumbi kantong kecil berwarna hijau lumut. “Kau harus berhasil menyebar kantong berisi bubuk ini ke dalam danau. Kau tak boleh tertangkap ada di sana olehnya.” Dayang Sumbi bergegas pergi meninggalkan gua dengan harapan Sangkuriang belum menyelesaikan persyaratan darinya.
Sungguh nasib malang, Sangkuriang menyadari kehadiran Dayang Sumbi ketika ia sedang menyebar bubuk. Air danau yang sudah terisi seketika kering seperti lautan pasir di gurun. Sangkuriang yang melihat itu marah karena merasa Dayang Sumbi mempermainkannya.
“Kau! Kau sungguh wanita licik!” Akibat kegagalan yang disengaja Dayang Sumbi, Sangkuriang menendang perahu yang dikerjakannya hingga terbalik.
Dayang Sumbi dengan terburu berlari menuju gua untuk menghindari kemarahan Sangkuriang. Tragis, gelapnya malam membuat Dayang Sumbi tersandung akar pohon yang menjalar di atas permukaan tanah. Kepalanya kemudian terkena batu besar yang membuat wajah cantiknya hancur bersimbah penuh banyak darah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H