Tubrukan Moral, Agama, dan Ilmu Pengetahuan
Jika ditinjau dari segi moral dan agama, akan sangat sulit menarik benang merah dari variasi pemikiran dan kepercayaan yang dipegang setiap individu dan golongan karena dipengaruhi banyaknya faktor, salah satunya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Seiring perkembangan IPTEK, terdapat pergeseran moral dari berbagai aspek serta perkembangan pola pikir. Tidak dapat dipungkiri bahwa moral yang ditanamkan masyarakat serta kepercayaan mereka ikut mempengaruhi norma dan hukum yang berlaku pada tempat tersebut.Â
Contohnya di Indonesia, dalam aspek yuridis belum ada undang-undang yang secara spesifik dan tegas mengatur tentang diperbolehkan atau tidaknya praktik euthanasia dalam masyarakat, namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa siapapun yang secara sengaja menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri dapat diancam pidana.Â
Hukum ini berlaku atas dasar norma yang telah mengakar dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh kepercayaan bahwa nyawa adalah anugerah sakral yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun selain Tuhan. Para agamawan memandang tindakan euthanasia sebagai tindakan yang menentang takdir Tuhan.
Di sisi lain perkembangan IPTEK tadi juga membawa banyak perkembangan pola pikir termasuk kesadaran-kesadaran baru yang timbul dalam dunia medis. Hal ini berakar pada praktik euthanasia itu sendiri, sebagai langkah yang diambil para petugas medis atas permintaan pasien atau keluarganya, yang dalam hal ini dalam perkembangan terbaru IPTEK dalam dunia medis, pasien tersebut dinilai secara ilmiah tidak dapat disembuhkan. Ini juga dapat bertabrakan dengan masing-masing individu dan golongan yang mempercayai bahwa pada hakikatnya manusia bukan Tuhan yang dapat menentukan hidup dan mati seseorang. Tidak hanya dalam perihal euthanasia, perkembangan ilmu pengetahuan dalam berjalannya waktu akan selalu bertubrukan dengan moral dan agama. Dalam kode etik kedokteran, menyembuhkan pasien adalah tanggung jawab bagi seorang dokter.Â
Para dokter juga dituntut untuk mengimbangi antara tugas mereka untuk memegang teguh moral dan kode etik yang menjunjung tinggi kehidupan serta rasa kemanusiaan juga penghormatan hak dan kebebasan pasien.
Kepentingan Pasien dan Pergeseran Moral
Apabila ditinjau dari perspektif pasien dan keluarganya, terdapat banyak faktor yang menyebabkan mereka mengajukan legalisasi euthanasia. Pertama, rasa sedih yang tak tertahankan melihat anggota keluarga yang menderita dalam waktu yang lama dan tidak bisa menjalani kehidupan dengan normal.Â
Rasa sakit tak tertahankan dan proses penyembuhan yang tak kunjung membuahkan hasil yang dirasakan oleh pasien juga membuat kondisi mental pasien tertekan dan memikirkan cara untuk mengakhiri penderitaannya.Â
Kondisi ekonomi keluarga juga menjadi pertimbangan diajukannya tindak euthanasia. Biaya tak murah untuk rangkaian tindakan medis yang panjang demi menunjang hidup sehari-hari pasien  yang juga tetap menderita dapat menjadi faktor kuat pengajuan permohonan euthanasia.
Diskusi publik dalam cakupan yang lebih awam dan luas juga menghasilkan berbagai macam opini. Beberapa kalangan publik menilai walau secara moral kemanusiaan euthanasia berniat untuk meringankan penderitaan pasien, legalisasi euthanasia dapat berdampak negatif pada bagaimana masyarakat memandang sebuah kehidupan.Â