Mohon tunggu...
Aurelia Winona Ayutantri
Aurelia Winona Ayutantri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Euthanasia: Antara Hak untuk Hidup dan Hak untuk Mati

13 Desember 2022   17:05 Diperbarui: 13 Desember 2022   17:14 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Euthanasia [Shutterstock/ Joel Bubble Ben]

Euthanasia dan legalisasinya telah menjadi topik perdebatan banyak orang sejak dahulu. Variasi paradigma dari publik dan berbagai perspektif mengenai euthanasia terus bertambah dan masih menjadi kontroversi hingga saat ini. 

Secara singkat, Euthanasia sendiri merupakan tindakan medis yang bertujuan untuk mengakhiri rasa sakit dari pasien yang biasanya dilakukan dengan pengajuan dari pasien itu sendiri atau keluarganya. Bentuk euthanasia dapat berupa euthanasia aktif, pasif, sukarela, dan terpaksa. 

Euthanasia sukarela ialah saat prosedur ini dilakukan atas permintaan langsung dari pasien, sedangkan di beberapa situasi dimana pasien sudah tidak memiliki kesadaran  permintaan tersebut diwakilkan oleh keluarga terdekat dan disebut euthanasia terpaksa.  

Berlangsungnya proses euthanasia dapat berupa euthanasia aktif, yakni dimana petugas medis secara langsung melakukan tindakan untuk mengakhiri hidup pasien, dan euthanasia pasif dimana dilakukan pembatasan alat penunjang hidup pasien. Salah satu tindakan euthanasia yang paling dikenal adalah 'suntik mati', dimana suntikan ini akan menghentikan jantung pasien dan mengakhiri hidupnya. 

Di banyak kasus, kasus euthanasia pasif sulit untuk dibuktikan. Kematian dalam dunia kedokteran didefinisikan dari berhentinya fungsi sirkulasi yakni jantung dan pembuluh darah dan tidak dapat dikembalikan lagi. Pasalnya penghentian alat-alat penunjang hidup pasien dan apakah itu menjadi parameter indikator euthanasia pasif pun masih harus ditinjau lebih lanjut. 

Hak Untuk Hidup sebagai Hak Asasi

Beberapa negara telah melegalkan tindakan euthanasia, salah satunya ialah negara yang pertama melakukan deklarasi legalisasi euthanasia, yakni Belanda. Belanda menyatakan praktik euthanasia bagi para pasien yang secara medis dinyatakan tidak memiliki harapan untuk sembuh. 

Hal ini menimbulkan banyak perdebatan karena dianggap menyalahi konsep Hak Asasi Manusia (HAM), moral, dan juga agama dimana ketiga hal tersebut menjunjung tinggi kehidupan manusia. 

Dari perspektif HAM, praktik euthanasia sendiri dinilai menyalahi salah satu hak fundamental yakni hak untuk hidup. Hak untuk hidup dalam HAM merupakan salah satu non-derogable rights atau hak yang wajib dipenuhi tanpa terkecuali. Proses penghilangan nyawa secara sengaja bertentangan dengan hak pasien untuk hidup  yang seharusnya dilindungi oleh negara. 

Kendati demikian, eksistensi hak untuk hidup juga menimbulkan konsekuensi logis lainnya berupa hak untuk mati. Manusia yang memiliki hak untuk 'mempertahankan kehidupannya' dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa manusia pun punya hak untuk tidak 'mempertahankan kehidupannya' yang juga linear dengan hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri.


Tubrukan Moral, Agama, dan Ilmu Pengetahuan

Jika ditinjau dari segi moral dan agama, akan sangat sulit menarik benang merah dari variasi pemikiran dan kepercayaan yang dipegang setiap individu dan golongan karena dipengaruhi banyaknya faktor, salah satunya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Seiring perkembangan IPTEK, terdapat pergeseran moral dari berbagai aspek serta perkembangan pola pikir. Tidak dapat dipungkiri bahwa moral yang ditanamkan masyarakat serta kepercayaan mereka ikut mempengaruhi norma dan hukum yang berlaku pada tempat tersebut. 

Contohnya di Indonesia, dalam aspek yuridis belum ada undang-undang yang secara spesifik dan tegas mengatur tentang diperbolehkan atau tidaknya praktik euthanasia dalam masyarakat, namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa siapapun yang secara sengaja menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri dapat diancam pidana. 

Hukum ini berlaku atas dasar norma yang telah mengakar dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh kepercayaan bahwa nyawa adalah anugerah sakral yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun selain Tuhan. Para agamawan memandang tindakan euthanasia sebagai tindakan yang menentang takdir Tuhan.

Di sisi lain perkembangan IPTEK tadi juga membawa banyak perkembangan pola pikir termasuk kesadaran-kesadaran baru yang timbul dalam dunia medis. Hal ini berakar pada praktik euthanasia itu sendiri, sebagai langkah yang diambil para petugas medis atas permintaan pasien atau keluarganya, yang dalam hal ini dalam perkembangan terbaru IPTEK dalam dunia medis, pasien tersebut dinilai secara ilmiah tidak dapat disembuhkan. Ini juga dapat bertabrakan dengan masing-masing individu dan golongan yang mempercayai bahwa pada hakikatnya manusia bukan Tuhan yang dapat menentukan hidup dan mati seseorang. Tidak hanya dalam perihal euthanasia, perkembangan ilmu pengetahuan dalam berjalannya waktu akan selalu bertubrukan dengan moral dan agama. Dalam kode etik kedokteran, menyembuhkan pasien adalah tanggung jawab bagi seorang dokter. 

Para dokter juga dituntut untuk mengimbangi antara tugas mereka untuk memegang teguh moral dan kode etik yang menjunjung tinggi kehidupan serta rasa kemanusiaan juga penghormatan hak dan kebebasan pasien.

Kepentingan Pasien dan Pergeseran Moral

Apabila ditinjau dari perspektif pasien dan keluarganya, terdapat banyak faktor yang menyebabkan mereka mengajukan legalisasi euthanasia. Pertama, rasa sedih yang tak tertahankan melihat anggota keluarga yang menderita dalam waktu yang lama dan tidak bisa menjalani kehidupan dengan normal. 

Rasa sakit tak tertahankan dan proses penyembuhan yang tak kunjung membuahkan hasil yang dirasakan oleh pasien juga membuat kondisi mental pasien tertekan dan memikirkan cara untuk mengakhiri penderitaannya. 

Kondisi ekonomi keluarga juga menjadi pertimbangan diajukannya tindak euthanasia. Biaya tak murah untuk rangkaian tindakan medis yang panjang demi menunjang hidup sehari-hari pasien  yang juga tetap menderita dapat menjadi faktor kuat pengajuan permohonan euthanasia.

Diskusi publik dalam cakupan yang lebih awam dan luas juga menghasilkan berbagai macam opini. Beberapa kalangan publik menilai walau secara moral kemanusiaan euthanasia berniat untuk meringankan penderitaan pasien, legalisasi euthanasia dapat berdampak negatif pada bagaimana masyarakat memandang sebuah kehidupan. 

Dikhawatirkan legalisasi euthanasia dapat disalahgunakan oleh banyak pihak sebagai jalan pintas untuk mengakhiri kehidupan, permainan politik, dan lain sebagainya.

Hak untuk Hidup dan Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri

Euthanasia dalam perspektif HAM mungkin dinilai sebagai pelanggaran akan hak hidup, namun seorang pasien juga manusia yang mempunyai hak sendiri atas apa yang akan terjadi pada kehidupannya yang juga merupakan hak asasi. Sebagai manusia, pasien memiliki hak untuk menentukan nasib hidupnya sendiri. 

Pada dasarnya, perdebatan mengenai euthanasia cukup kompleks karena tidak adanya pembatasan yang jelas dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan International Covenant on Civil and Political Rights ( ICCPR) serta dokumen internasional lainnya mengenai hak untuk hidup dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri dimana kedua hal ini berhubungan dengan Euthanasia. 

Belum lagi berbagai macam perspektif yang telah mengakar di masyarakat, norma dan kepercayaan serta rasa kemanusiaan yang bertubrukan dengan abu-abunya parameter hak asasi dan legalisasi euthanasia mungkin dapat membawa pengaruh besar termasuk hal negatif dalam masyarakat.  Namun ada baiknya perhatian lebih juga dapat difokuskan ke perspektif pasien yang menderita dan haknya untuk dapat hidup dengan nyaman. 

Legalisasi euthanasia semestinya diatur dengan jelas dan dibatasi dengan ketat, agar baik dari pihak pasien dan keluarga serta masyarakat mendapat dampak negatif sekecil-kecilnya dari tindak euthanasia serta perlindungan bagi kemanusiaan dan profesi dokter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun