Indonesia merupakan negara demokrasi yang memberlakukan desentralisasi dengan memberikan otonomi kepada daerah untuk memilih sendiri para pemimpinnya dan mengelola daerah dalam rangka memaksimalkan sumber daya serta berbagai potensi yang dimiliki.Â
Di samping itu, Desentralisasi turut memunculkan pemimpin-pemimpin lokal yang bersifat neopatrimonialistik yaitu melakukan ekspansi dan kekuatan menggunakan sistem kekerabatan.
Desentralisasi membuka celah bagi "orang-orang penting" seperti para tetua, tokoh agama, juragan besar, maupun tokoh adat untuk menegakkan kekuasaan di lingkup daerah karena memiliki sumber daya politik yang mumpuni.Â
Fenomena semacam itu dapat menghambat proses peningkatan kesejahteraan rakyat karena kurangnya sirkulasi dan inovasi
kepemimpinan.Â
Kurang bervariasinya pemegang kekuasaan di suatu daerah yang disebabkan oleh adanya dinasti politik di mana para pemegang kekuasaan terdahulu memiliki hasrat yang besar untuk terus menegakan kekuasaan melalui jaringan luas berupa penempatan kerabat dan keluarga dalam posisi strategis yang dapat menguntungkan dan memperkuat kekuasaan politik "keluarga" tersebut di tingkat daerah.Â
Dinasti Politik dalam Pilkada (Pemilihan kepala daerah) sempat diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada pada pasal 7 poin q mengatur mengenai pembatasan bakal calon yang memiliki hubungan dengan petahana yaitu pada poin q di mana calon pemimpin daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.Â
Namun, keputusan tersebut dibatalkan dengan dikeluarkannya putusan MK Nomor 34/PUU-XIII/2015 dengan mempertimbangkan bahwa hubungan darah tidak dapat dikategorikan sebagai penghalang seseorang karena merupakan kodrat yang melekat dalam diri masing-masing individu dan bersifat sakral.
Menurut Haboddin (2017) terdapat tiga basis material yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga petahana dalam rangka melanggengkan politik yang berlandaskan kekerabatan.
Pertama adalah kinerja sebelumnya yang dianggap baik oleh masyarakat membuat keluarga petahana yang mencalonkan diri akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi dan pamor yang baik di mata masyarakat serta memberi harapan adanya program lanjutan yang berhasil pula.Â
Kedua, koneksi petahana baik secara formal dan non-formal dapat mempengaruhi perolehan suara, seperti koalisi partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, pegiat LSM, maupun masuk ke dalam birokrasi.Â
Ketiga, kekayaan material untuk membayar lembaga survei, konsultan politik, biaya kampanye, biaya bagi partai politik, hingga biaya sanksi di TPS. Tiga basis material perannya amat fundamental dalam Pilkada karena berkaitan dengan koneksi serta investasi politik yang harus dimiliki oleh para calon.Â
Langgengnya kekuasaan dinasti politik di tingkat daerah sudah seharusnya perlu disadari oleh masyarakat karena dinasti politik membawa dampak negatif seperti ketidaksetaraan kesempatan politik, kekuasaan hanya oleh satu keluarga, menghambat pengawasan terhadap pemerintah, dan merebaknya KKN di suatu daerah.Â
Referensi:
Fitri, Adelia. 2019. Dinasti Politik pada Pemerintahan di Tingkat Lokal. KEMUDI: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 4(1), 91-111.
Fitriyah. 2020. Partai Politik, Rekrutmen Politik, dan Pembentukan Dinasti Politik pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). POLITIKA: Jurnal Ilmu Politik, 11(1), 1-17.
Haboddin, Muhtar. 2017. Politik Keluarga dalam Pilkada Serentak. Jurnal Transformative, 3(2). 1-15.
Sujarwoto, 2016, Desentralisasi, Dinasti Politik dan Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, 1(2), 1-6.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H