Mohon tunggu...
Joy Miracle Aurelia
Joy Miracle Aurelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Murid

Saya adalah seorang murid SMP yang mengikuti tantangan 1 hari 1 tulisan dari guru saya! :D

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengatasi Toxic Positivity dan Memahami Emosi Secara Sehat

29 Oktober 2024   15:16 Diperbarui: 29 Oktober 2024   15:32 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar nasihat untuk "tetap positif," "ambil hikmahnya," atau "jangan menyerah!" Walaupun niatnya baik, dorongan ini bisa menjadi toxic positivity jika mengabaikan emosi negatif yang juga penting untuk dirasakan. Toxic positivity adalah dorongan untuk selalu tampak bahagia atau berpikir positif, meski sebenarnya perasaan yang kita alami lebih kompleks. Alih-alih membantu, toxic positivity dapat membuat kita merasa tidak diperbolehkan untuk merasakan emosi negatif, yang justru berdampak buruk.

Berikut adalah cara mengenali toxic positivity, perbedaan dengan sikap positif yang sehat, dan tips untuk merespons emosi secara bijak.

1. Apa itu Toxic Positivity?

Toxic positivity terjadi ketika seseorang, baik diri sendiri atau orang lain, berusaha menutupi emosi negatif dengan berpura-pura bahagia atau dengan menekankan sisi positif secara berlebihan. Hal ini sering dilakukan agar orang merasa lebih baik, tetapi dalam jangka panjang dapat menyebabkan stres dan perasaan tidak autentik.

Contoh-contoh toxic positivity yang umum antara lain:

* "Jangan sedih, semuanya akan baik-baik saja."

* "Kamu harus bersyukur, masih ada yang lebih menderita."

* "Jangan pikirkan yang buruk, ambil sisi positifnya saja."

Kalimat-kalimat ini terdengar menyemangati, tetapi sebenarnya dapat membuat seseorang merasa bahwa perasaannya tidak valid atau tidak layak untuk diekspresikan.

2. Perbedaan Sikap Positif dan Toxic Positivity

Sikap positif yang sehat menghargai semua jenis emosi, baik positif maupun negatif. Sikap ini tidak mengabaikan perasaan yang sulit, melainkan mengakui bahwa sedih, kecewa, atau marah adalah bagian dari kehidupan.

Sebaliknya, toxic positivity cenderung membuat kita menekan emosi-emosi tersebut. Jika kita memaksakan untuk "selalu bahagia," kita mungkin akan kehilangan kesempatan untuk memproses perasaan yang sebenarnya dan belajar dari pengalaman tersebut. Misalnya, perasaan kecewa setelah kegagalan sebenarnya dapat memberi kita pelajaran yang penting jika diterima dan dipahami dengan baik.

3. Cara Mengenali Toxic Positivity

Beberapa tanda toxic positivity yang perlu diwaspadai antara lain:

* Menghindari pembicaraan tentang masalah atau hanya mau mendengar hal-hal yang positif.

* Selalu memberikan respons seperti "kamu harus tetap positif" tanpa mendengarkan keluhan atau perasaan yang ada.

* Merasa tidak nyaman dengan orang yang mengungkapkan emosi negatif atau mengalami konflik internal saat harus menunjukkan perasaan sedih.

Dengan mengenali tanda-tanda ini, kita bisa mulai mengganti sikap yang kurang sehat dengan cara yang lebih empatik dan menerima.

4. Cara Merespons Emosi Orang Lain Secara Empatik

Untuk merespons emosi orang lain dengan empati, berikut beberapa tips yang bisa diikuti:

* Dengarkan Tanpa Menghakimi - Biarkan mereka menceritakan perasaan mereka tanpa menyela atau menawarkan solusi.

* Validasi Perasaan - Berikan respon yang menunjukkan bahwa kita memahami dan menghargai emosi mereka, misalnya dengan mengatakan, "Aku bisa mengerti mengapa kamu merasa seperti itu."

* Tanyakan Apa yang Mereka Butuhkan - Terkadang seseorang hanya butuh didengarkan, bukan diberi nasihat. Menanyakan hal ini dapat membantu memberikan dukungan yang lebih sesuai.

5. Membangun Hubungan yang Terbuka terhadap Emosi

Ketika kita membangun lingkungan di mana emosi---baik positif maupun negatif---dianggap normal, kita menciptakan ruang yang sehat bagi diri sendiri dan orang lain. Cobalah terbuka terhadap berbagai jenis emosi, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Jangan ragu untuk mengakui perasaan, karena itulah yang membuat kita lebih autentik.

Toxic positivity dapat berdampak negatif dengan menghilangkan ruang bagi emosi yang lebih kompleks. Sebaliknya, sikap positif yang sehat memberi tempat bagi semua emosi, tanpa menekan atau mengabaikannya. Dengan merespons emosi secara empatik dan membangun hubungan yang terbuka, kita bisa menjadi lebih peka terhadap perasaan orang lain dan diri sendiri. Tidak perlu selalu terlihat bahagia---yang penting adalah menjadi autentik dan menerima setiap emosi sebagai bagian dari kehidupan.

Terima Kasih!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun