Mohon tunggu...
Aurelia Giacinta Tamirin
Aurelia Giacinta Tamirin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Indonesia

Sedang menjadi mahasiswa semester lima di Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Suka menonton film thriller, main dengan kucing, dan gonta-ganti cita-cita.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kontribusi Kriminologi Forensik dalam Pendampingan Korban Kekerasan Seksual

4 Januari 2023   14:10 Diperbarui: 4 Januari 2023   14:18 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sekitar satu tahun saya bergabung dengan perkumpulan HopeHelps. Bagi yang belum familiar, HopeHelps merupakan pengada layanan tanggap dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. 

HopeHelps mengakomodasi kanal pelaporan dan pendampingan kepada korban kekerasan seksual serta berupaya untuk terus mengadvokasi isu dan kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. 

Sejak tahun 2021, saya bergabung menjadi pengurus salah satu local chapter HopeHelps sekaligus tempat berdirinya HopeHelps tahun 2017 lalu, universitas tempat saya menimba ilmu, Universitas Indonesia. 

Dari tahun 2021 hingga saat ini, salah satu tanggung jawab saya dalam perkumpulan ini adalah membantu proses advokasi dan pendampingan korban/penyintas kekerasan seksual dalam mengakses pemenuhan haknya melalui kanal-kanal yang tersedia. 

Pendampingan yang dimaksud singkatnya dibagi menjadi tiga bentuk pendampingan: psikologis, hukum, dan lain-lain (disesuaikan dengan kebutuhan korban). 

Sejak duduk di bangku SMP, saya memang memiliki ketertarikan dan perhatian akan isu-isu terkait perempuan dan kelompok rentan lainnya. Maka dari itu, melalui langkah ini, saya berharap dapat sedikit-sedikit berkontribusi dalam penciptaan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. 

Sebelum terjun ke lapangan untuk secara langsung merespon laporan kasus yang masuk melalui hotline, mendampingi korban, dan mengadvokasi kasusnya, seluruh (calon) pendamping korban di HopeHelps diwajibkan untuk berhasil melewati serangkaian proses seleksi dan pelatihan. 

Direktorat Advokasi, direktorat yang bertanggung jawab dalam pendampingan korban, mendapat pelatihan yang secara khusus membahas segala hal yang berhubungan dengan pendampingan korban dan mengundang praktisi-praktisi di bidangnya. Praktisi yang diundang untuk berbagi antara lain mulai dari advokat-advokat, psikolog, dosen-dosen/akademisi, penggelut organisasi nirlaba di isu yang sama, dan lain-lain. 

Sebagai mahasiswa Kriminologi, saya merasa sangat bersyukur karena ilmu yang saya pelajari benar-benar relevan sekali dengan peran saya di HopeHelps. Bagi yang belum familiar dengan kriminologi, singkatnya di sini kami mempelajari kejahatan secara ilmiah dari berbagai sudut pandang, mulai dari bagaimana perspektif pelakunya, korbannya, serta reaksi terhadap kejahatan tersebut. 

Setelah lebih dari dua tahun menjadi mahasiswa Kriminologi, saya merasa bersyukur karena saya cukup terlatih untuk melihat "kekerasan seksual" lebih sebagai isu sosial dan kemanusiaan, dari pada hanya sekadar pelanggaran hukum pidana. 

Saya belajar bahwa sanksi bagi pelaku itu ya.. penting, tetapi yang tidak kalah penting dari pada itu adalah perlindungan dan pemulihan bagi korban. Saya belajar pula bahwa rehabilitasi dan reintegrasi pelaku juga penting untuk mencegah kejadian berulang. Setidaknya ini dari kacamata saya. 

Salah satu mata kuliah di Kriminologi yang bagi saya menarik dan sangat relevan dengan peran saya sebagai pendamping adalah Kriminologi Forensik. Fokus pembahasan kriminologi "forensik" adalah pengaplikasian kajian-kajian kriminologi dalam investigasi berbasis hukum untuk mengungkap suatu kejahatan. Ilmu kriminologi forensik memiliki hubungan yang erat dengan disiplin ilmu forensik lain.

Di kelas ini setiap minggunya, dihadirkan akademisi dan/atau praktisi dari berbagai bidang ilmu untuk membagikan peran disiplin ilmunya dalam investigasi kejahatan. Salah satu pembahasan menarik yang menurut saya paling linear dengan peran saya sehari-hari sebagai pendamping korban kekerasan seksual adalah ilmu psikologi forensik.

Pada pertemuan kali itu, kami diberikan kesempatan untuk mempelajari dasar-dasar aplikasi psikologi forensik dalam membantu jalannya proses peradilan. Psikologi forensik sendiri merupakan metode pengaplikasian psikologi untuk mengungkap suatu kasus di ranah hukum. Penerapannya bukan didasarkan oleh common sense melainkan berbagai metode praktik profesional yang saintifik, teknis, dan terspesialisasi dengan ilmu-ilmu psikologi. 

Aplikasi psikologi forensik dalam pengungkapan kejahatan sangat krusial dalam proses pengambilan keterangan atau kesaksian, baik dari sisi terduga pelaku/tersangka, saksi, maupun korban, yang mana ada hampir di setiap kasus, salah satunya di kasus kekerasan seksual. Ketika mendampingi proses advokasi kasus-kasus kekerasan seksual untuk penanganan internal di tingkat kampus saja, keterangan korban dan/atau saksi dalam jalannya proses penanganan sudah amat sangat penting. 

Walaupun begitu, peran seorang psikolog forensik pun di satu sisi bisa menjadi sangat dilematis. 

Di satu sisi, korban kekerasan seksual memiliki hak untuk mendapatkan pemulihan dan juga pendampingan selama proses hukum berlangsung, salah satunya dari aspek psikologis yang dapat dibantu prosesnya dengan kehadiran psikolog. Dengan demikian, "psikolog" forensik di satu sisi juga perlu untuk sensitif terhadap pengalaman korban.  

Namun, di sisi lain, psikolog forensik haruslah tetap objektif dalam menggali dan mengevaluasi keterangan yang disampaikan oleh terduga pelaku, korban, maupun saksi-saksi demi kepentingan hukum dan jalannya peradilan. Psikolog forensik tidak boleh bias dengan nilai-nilai, pengalaman, atau budaya. 

Menanggapi dilema ini, psikolog forensik tentu memiliki "standar operasional prosedur" (SOP) dalam menjalankan tugasnya. Namun, dengan kehadiran SOP pun, kenyataannya penerapan psikologi forensik tetaplah kompleks. 

Pada akhirnya, dengan metode saintifik pun, psikolog forensik tetap bukanlah Tuhan yang dapat benar-benar menyimpulkan apakah keterangan yang disampaikan jujur atau bohong. Namun, dengan metode ilmiah yang ada, psikolog forensik berupaya untuk bergerak mendekati kebenaran. 

Dari "dilema" ini, tercetuslah suatu ungkapan menarik bahwa "psikolog tidak bisa memakai jubah klinis dan jubah forensik secara bersamaan". Pemakaian dua "jubah" secara bersamaan terbukti dapat menyebabkan konflik peran. Walaupun psikolog forensik tetaplah seorang "psikolog", perannya tidaklah sama dengan psikolog klinis lain. 

Pengetahuan baru ini membuat saya kembali berefleksi. Walaupun saya bukan psikolog (tidak mendekati sama sekali), tetapi saya bisa menjumpai keterkaitan dan mendapatkan ilmu-ilmu baru dari penerapan disiplin ilmu forensik. 

Saya menyimpulkan bahwa sebagai pendamping korban kekerasan seksual, penting supaya saya tetap dapat berfokus pada pengalaman korban, tetapi tetap dapat menempatkan diri sesuai dengan konteks situasi dan kebutuhan. Hal ini karena sebagai pendamping pun, ada kalanya saya bukan hanya berfokus untuk menjadi peer counselor korban, tetapi sebagai pendamping yang perlu untuk menggali keterangan korban dan/atau saksi atau membantu korban menyampaikan pembelaannya dalam proses advokasi. 

Namun, di atas semua itu, pelajaran ini kembali membuat saya menggarisbawahi bahwa sebagai pendamping korban, sudah sepatutnya objektif utama saya adalah untuk mendukung korban hingga berdaya. Berdaya dalam arti bahwa mendukung keterlibatannya dalam proses penanganan kasus yang menimpa dirinya. Berdaya hingga ia menjadi penyintas seutuhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun