Maskot
Oleh. Rohmat Sholihin*
Bu Mila memasuki ruangan kelasku dengan membawa catatan kertas putih. Lalu duduk dimeja guru dengan penuh wibawanya. Kaca matanya mengarah kepada seisi ruangan tanpa berkedip sedikitpun. Sesekali pulpen yang ia pegang, ia tuliskan pada kertas putih itu. Entah apa yang ia tulis? Tak ada yang tahu, hanya hati menebak-nebak, pasti bu Milla akan memilih anak-anak untuk mengikuti perlombaan karena bulan ini adalah bulan Agustus, bulan penuh dengan kegiatan lomba dalam rangka memperingati hari ulang tahun Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus.
      Dalam pikiranku membayangkan, bagaimana menjadi pemeran seorang putri maskot dalam karnaval? Dengan berdandan cantik, memakai baju indah berjuntai-juntai, memakai lipstik, memakai sanggul dengan kerlap-kerlip mahkotanya, bersepatu indah, senyum cantik indah mempesona. Semua penonton pasti akan tertuju padaku, semua mendekat lalu mengambil gambar untuk diabadikannya, fotoku akan dipajang kemana-mana, di Facebook, WhatsApp, BB, Messenger, dan media sosial lainnya. Serasa aku menjadi bintang idola anak semua bangsa. Seluruh dunia akan menyaksikan gambar-gambar indahku yang telah dibagikan.
      Sekali lagi bu Milla aku pandangi. Dan ia tersenyum manis yang tidak biasa ia lakukan padaku. Ia katakan dengan lirih namun telingaku menangkap suara itu dengan kuat.
      "Nem, kau ku pilih jadi maskot ya." Bicaranya padaku dengan senyum manisnya.
      "Oh iya," aku terkejut tapi dalam hatiku menjerit-jerit bahagia. Tepat seperti apa yang aku impikan.
      "Apa tidak salah, bu Milla?" Jawabku untuk meyakinkan.
      "Tidak, kau jadi maskot, Nem." Jawab bu Milla pasti.
Hatiku melonjak girang, senang bukan buatan. Inilah yang aku inginkan. Lebih tepatnya pikiran untuk menjadi maskot ada sejak aku masih kecil. Ketika sering diajak Emak melihat karnaval dikecamatan setiap bulan Agustus. Dan tanpa basa-basi aku jawab, "iya bu." Meski hatiku sedikit kecut namun masih kalah dengan keinginanku yang menghentak luar biasa.
      "Baiklah, Nem aku catat ya, sekalian ini surat pemberitahuan dari sekolah untuk orang tuamu dirumah." Bu Milla menyodorkan surat padaku. Hatiku kembali ragu, aku terima atau tidak. "Ah, sudahlah aku terima saja, setidaknya ada langkah-langkah lain yang bisa kupertimbangkan dengan Emak dirumah." Batinku sambil kupegang surat pemberitahuan itu.
      "Untuk format rias dan kostumnya dua hari lagi, Nem. Nanti aku beritahukan lagi padamu. Agar kau bisa mencari perias dan kostum disalon yang kau inginkan. Oh iya, kamu pesan duluan ke salon agar tak keduluan yang lain." Bicara Bu Milla yang terus mengiang-ngiang ditelingaku. Aku hanya tersenyum meski hati ini agak kecut dan ragu. Kenapa? Emak dirumah apakah setuju dengan keinginanku. Keinginan yang telah lama menggumpal dalam pikiran dan hatiku. Emak pasti tak punya uang. Musim tanam jagung di tanah persilan belum juga panen. Baru saja tanam, sedangkan modal tanam yang pinjam dari bank dengan setoran waktu panen tiba, kini telah habis. Belanja kebutuhan setiap hari juga ngebon di Toko Bu Kaji Endang kian menumpuk-numpuk. Belum lagi setoran sepeda motor yang tiap bulan harus bayar. "Ah, bagaimana ini? Aku jadi bingung, kenapa aku tadi dengan percaya diri menerima tawaran Bu Milla sedangkan kondisi ekonomi keluargaku lagi kesulitan." Batinku membuncah-buncah. Mataku menerawang tak semangat lagi ketika pertama kali namaku disebut oleh bu Milla. "Ah, sudahlah. Kesempatan tidak datang dua kali. Aku akan tetap izin sama Emak. Siapa tahu Emak masih punya uang slempitan yang disimpan di bawah bantal, diatas lemari, atau dibawah baju-bajunya." Hatiku masih berontak dengan alasan-alasan dan kemungkinan-kemungkinan yang kecil harapan dan bertautan dengan keinginanku yang masih berputar-putar mencari solusinya.
      Mendengar aku akan dijadikan maskot. Tak semua kawan-kawan bersikap senang. Bahkan mereka yang tak suka hanya bersikap sinis padaku. Sedikitpun tak ada rasa empati meski hanya sekedar memberikan support. Apalagi si Mouly yang kaya, namun bodinya yang tak mendukung. Tapi tetap saja bu Milla memilihnya karena ia telah menyanggupi untuk menyewa mobil truk Fuso besar yang akan ia sulap untuk dijadikan taman istana raja untuk sang putri. Dan tentu saja semua biaya ia yang akan menanggungnya. Luar biasa. Menjadi kaya itu memang mulia. Semua urusan menjadi mudah. Bapaknya yang kaya sebagai bos di sebuah perusahaan selalu memanjakannya. Apa yang ia inginkan selalu saja terwujud. Sedangkan aku sebagai anak petani miskin sulit berbuat sesuatu. Selalu saja kesulitan pada uang, uang, dan uang. Sampai kapan miskin selalu mengikuti kehidupanku? Menyulitkan langkah-langkahku. "Ah, sudahlah. Kita semua punya kelemahan dan kelebihan. Aku tak mau membuang-buang waktu hanya untuk berandai-andai. Percuma. Aku masih punya waktu berfikir dan membicarakan dengan Emak dirumah. Jika memang cita-citaku untuk menjadi maskot hanya sebatas angan, apa boleh buat. Anak seorang Emak sebagai petani persil yang berkeinginan menjadi maskot karnaval hanya sebuah impian saja. Padahal semua orang berhak dan berkesempatan untuk menjadi maskot, bukan hanya orang yang berduit saja namun aku juga bisa menjadi maskot. " Hatiku masih meronta-ronta dibuatnya.
      Ketika sampai dirumah kucari Emak yang sudah tak ada lagi dirumah. Pasti masih berada di hutan untuk bercocok tanam jagung. Menggapai sejuta harapan untuk menghidupi keluarga ini. Keluarga yang telah ditinggal sang bapak karena meninggal terpatok ular dihutan sewaktu menunggui tanaman kacang mendekati musim panen tiba. Emaklah pejuang sejati dalam keluarga. Hingga kini masih kuat berjibaku melawan angan-angan. Tak ada orang hebat didunia ini sehebat Emak. Dan akupun segera menyusul Emak ke kebun.
      "Emak..." Panggilku.
      "Iya, Nem, ada apa? Sudah pulang?" Jawab Emak dengan senyum senang.
      "Aku dipilih bu Milla untuk menjadi maskot karnaval, Emak."
      "Oh iya. Tapi..." jawab Emak dengan sedikit tertekan.
      "Tapi apa Emak? Bukankah kita senang Emak, dipilih bu Milla untuk menjadi maskot."
Emak masih diam memandangiku dengan penuh ketulusan. Seakan-akan ada yang hilang dariku. Tak berkedip sedikitpun. Mata Emak yang indah berkaca-kaca.
      "Memang kau cantik, Nem. Kulitmu putih, tubuhmu tinggi semampai, rambutmu panjang hitam dan lebat,  alismu juga bagus, hidungmu seperti noni-noni Belanda, dan matamu indah sekali. Emak membayangkan kau, betapa cantiknya anak Emak ketika berjalan paling depan dengan diiringi dayang-dayang. Tapi, Nem..."
      'Tapi apa Emak?"
      "Uang simpanan Emak telah habis untuk modal tanam jagung dan belanja untuk kebutuhan sehari-hari. Adikmu juga butuh membayar LKS yang kemarin belum Emak kasih. Cicilan sepeda motor juga belum ku bayar." Bicara Emak dengan mata berkaca-kaca.
      "Tapi aku telah dipilih bu Milla, Emak."
      "Iya aku tahu, Nem. Karena kau cantik. Dan aku tak tahu kenapa kau cantik, Nem? Karena yang ngasih itu Tuhan. Aku yang hanya sebagai petani persilan yang miskin tapi punya anak yang cantik sepertimu. Kau tak berdandan saja sudah cantik , apalagi berdandan?" Bicara ibu lagi.
      "Ah Emak."
      "Tahun kemarin Lek Tumi cerita waktu si Kinkinarti mengikuti karnaval dan merias di salon habis sekitar 750ribu padahal tidak menjadi maskot, Nem. Kalau maskot bisa jadi sejuta lebih. Uang darimana lagi, Nem? Mau utang rentenir tak bisa kubayangkan bunganya, pasti selangit dan mencekik." Bicara pelan Emak lalu mengusap dahinya yang penuh dengan keringat.
Aku hanya terdiam. Rasa kecewa singgah lagi dalam hati. Dan Emak paling mengerti tentang perasaanku.
      "Coba besok bilang sama bu Milla, kau tetap ikut, tapi aku sendiri yang akan merias dan menentukan pilihan bajunya." Jawab Emak tegas.
      "Emak, kau serius, Emak."
      "Iya, aku serius, Nem."
      "Nem akan dipermak Emak jadi maskot apa?"
      "Nanti kalau sudah waktunya akan Emak beritahu. Ayo kita pulang! Hari telah berangsur sore." Ajak Emak.
      Mereka berduapun pulang dengan langkah yang tetap percaya bahwa esok hari masih menjadi miliknya. Meski hidup dalam kesulitan dan itu tidak menjadi biang kendala untuk terus mengabdi kepada dirinya dan keluarganya. Hidup tidak hanya tenggelam dalam kesedihan karena keadaan, hidup itu merdeka, bebas menentukan pilihan mesti harus bersusah payah untuk mewujudkannya. Semua orang selalu berkutat dengan kelemahannya masing-masing meski sisi lain punya banyak kelebihan. Terkadang itu tidak disadarinya.
      Dan ketika aku bertemu bu Milla disekolah aku utarakan keinginan Emak padanya. Tak ada protes, bu Milla hanya mendukung saja. Karena bu Milla hanya ingin aku ikut dan berada dalam bagian team karnaval tahun ini. Hanya baru tahun ini aku bersedia menjadi bagian dari team karnaval disekolahku, dua tahun kemarin aku tak mau. Menginjak kelas tiga aku baru bersedia.
      Beberapa hari ini Emak selalu pulang sore menjelang petang. Jika aku tanya, Emak hanya diam. Tidurpun selalu malam. Bangun fajar dan sudah menghilang. Emak semakin sibuk dan sibuk. Jarang bersenda gurau lagi setiap akan tidur malam, ditanah persil juga hanya sebentar dan aku disuruh cepat pulang. Seakan-akan Emak menutup diri beberapa hari ini. Aku bingung dan khawatir. Apakah Emak terbebani dengan keinginanku menjadi maskot? Aku kasihan pada Emak, jika tak bisa dipaksa lebih baik aku batalkan saja. Daripada harus menyiksa Emak.
Saat pulang sekolah dan kurang dari dua hari pelaksanaan karnaval, aku belum tahu akan menjadi apa? Emak tak pernah bercerita lagi padaku tentang rencananya itu. Aku sendiri tak berani menanyakannya lagi. Malam menjelang tidur aku dipanggil Emak diruang tengah. Duduk dan menanyakan lagi rencanaku menjadi maskot.
"Nem, kau masih ingin menjadi maskot? Kok tak pernah lagi kau bicara tentang itu Nem." Tanya Emak pelan.
"Entahlah, Emak. Aku kasihan pada Emak."
"Kasihan...."
"Iya, Emak."
"Aku berani hidup tidak untuk minta dikasihani oleh siapapun, Nem. Termasuk kau sendiri sebagai anakku. Aku hidup merdeka, Nem. Merdeka menentukan langkahku kemana kita pergi?" Jawab Emak.
"Lantas, Emak, Nem akan jadi maskot apa?" Tanyaku pelan.
"Kemarilah, Nem. Kau ini sudah cantik sejak dalam kandunganku. Kau ini cantik sebagai takdir Tuhan. Dan kecantikanmu adalah anugerah dari Tuhan sebagai kelebihan anak manusia. Kau hanya butuh aku rias sendiri, tak usah ke salon dengan make-up yang tebal untuk menutupi kulit pipimu yang sudah putih bersih ini. Kau hanya butuh dipoles sedikit saja." Bicara ibu meyakinkanku.
"Nem akan menjadi maskot apa, Emak?" Tanyaku lagi.
"Nem akan menjelma sebagai Putri Klobot Alas Gede." Jawab Emak percaya diri.
"Seperti apa Emak? Nem penasaran sekali. Sepertinya Emak memberikan kejutan pada Nem." Nem tersenyum bahagia.
"Sebentar aku ambilkan model bajunya. Pasti cocok untuk anak cantik sepertimu, Nem." Emak meninggalkan Nem sendirian duduk diruang tengah. Menunggu Emaknya masuk keruang kamarnya. Dan benar, tak berapa lama Emak keluar dengan membawa seuntai gaun indah dari bahan alami klobot jagung yang telah dipermak dengan rapi dan unik. Unik dengan selempang klobot yang dipadu dengan gaya batik yang eksotik. Aku tak percaya Emak bisa mengerjakan model baju yang hebat begini. Aku tertegun tak percaya. Khayalku menjulang tinggi ke awan, seakan model gaun baju didepanku adalah gaun baju yang dikirim malaikat Jibril dari langit. Jatuh secara tiba-tiba. Air mataku menetes. Aku tampar pipiku berulang-ulang hingga terasa panas. Apakah aku mimpi malam ini? Oh tidak, ini nyata, Emak. Aku peluk Emak dengan kebahagiaan yang mahal tiada tara. Emakku, malaikatku yang sengaja Tuhan kirim untuk menemaniku.
Siang itu cuaca tidak terlalu panas, mendung namun tidak hujan. Malamnya yang telah diguyur hujan membuat siang itu menjadi teduh dan tidak berdebu. Aku berjalan dengan senyum bangga. Tentu saja bangga dengan Emakku yang telah menyulapku menjadi maskot Putri Klobot Alas Gede di karnaval Agustusan. Luar biasa. Dahsyat tak terhingga. Semua orang terkagum-kagum dengan baju Emak. Alami, unik dan eksotik. Gemas dan penasaran dengan gaun yang telah kupakai. Berjuntai-juntai seperti putri salju padahal bahannya hanya dari klobot jagung emak didapur belakang. Aku tak habis pikir, Emak memang luar biasa. Idenya brilian.
Berganti-ganti orang untuk berfoto ria denganku. Sengaja mengabadikan keunikan penampilanku. Dan hampir semua penonton meneriaki namaku. Hebat bukan buatan. Sungguh menawan. Gambarku bercerai-berai dan berhamburan memenuhi dunia maya hingga menjadi penampilan yang paling viral. Sekali lagi aku tampar kedua pipiku, apakah aku mimpi? Tentu saja tidak. Telingaku dipenuhi oleh suara bu Milla dari pengeras suara yang tiada henti mengelu-elukan penampilanku, meski semua peserta juga ikut disebut dengan mendayu-dayu.
Keterangan:
Persilan, merupakan kegiatan bercocok tanam dengan menyewa kawasan hutan.
Ngebon, berhutang.
Slempitan, sisa uang yang disimpan disuatu tempat.
Bangilan, Agustus 2017.
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H