Mohon tunggu...
Cerpen

Maskot

2 September 2017   08:10 Diperbarui: 2 September 2017   09:45 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://pontianak.tribunnews.com/2015/05/03/busana-etnik-dari-bahan-daur-ulang

            "Untuk format rias dan kostumnya dua hari lagi, Nem. Nanti aku beritahukan lagi padamu. Agar kau bisa mencari perias dan kostum disalon yang kau inginkan. Oh iya, kamu pesan duluan ke salon agar tak keduluan yang lain." Bicara Bu Milla yang terus mengiang-ngiang ditelingaku. Aku hanya tersenyum meski hati ini agak kecut dan ragu. Kenapa? Emak dirumah apakah setuju dengan keinginanku. Keinginan yang telah lama menggumpal dalam pikiran dan hatiku. Emak pasti tak punya uang. Musim tanam jagung di tanah persilan belum juga panen. Baru saja tanam, sedangkan modal tanam yang pinjam dari bank dengan setoran waktu panen tiba, kini telah habis. Belanja kebutuhan setiap hari juga ngebon di Toko Bu Kaji Endang kian menumpuk-numpuk. Belum lagi setoran sepeda motor yang tiap bulan harus bayar. "Ah, bagaimana ini? Aku jadi bingung, kenapa aku tadi dengan percaya diri menerima tawaran Bu Milla sedangkan kondisi ekonomi keluargaku lagi kesulitan." Batinku membuncah-buncah. Mataku menerawang tak semangat lagi ketika pertama kali namaku disebut oleh bu Milla. "Ah, sudahlah. Kesempatan tidak datang dua kali. Aku akan tetap izin sama Emak. Siapa tahu Emak masih punya uang slempitan yang disimpan di bawah bantal, diatas lemari, atau dibawah baju-bajunya." Hatiku masih berontak dengan alasan-alasan dan kemungkinan-kemungkinan yang kecil harapan dan bertautan dengan keinginanku yang masih berputar-putar mencari solusinya.

            Mendengar aku akan dijadikan maskot. Tak semua kawan-kawan bersikap senang. Bahkan mereka yang tak suka hanya bersikap sinis padaku. Sedikitpun tak ada rasa empati meski hanya sekedar memberikan support. Apalagi si Mouly yang kaya, namun bodinya yang tak mendukung. Tapi tetap saja bu Milla memilihnya karena ia telah menyanggupi untuk menyewa mobil truk Fuso besar yang akan ia sulap untuk dijadikan taman istana raja untuk sang putri. Dan tentu saja semua biaya ia yang akan menanggungnya. Luar biasa. Menjadi kaya itu memang mulia. Semua urusan menjadi mudah. Bapaknya yang kaya sebagai bos di sebuah perusahaan selalu memanjakannya. Apa yang ia inginkan selalu saja terwujud. Sedangkan aku sebagai anak petani miskin sulit berbuat sesuatu. Selalu saja kesulitan pada uang, uang, dan uang. Sampai kapan miskin selalu mengikuti kehidupanku? Menyulitkan langkah-langkahku. "Ah, sudahlah. Kita semua punya kelemahan dan kelebihan. Aku tak mau membuang-buang waktu hanya untuk berandai-andai. Percuma. Aku masih punya waktu berfikir dan membicarakan dengan Emak dirumah. Jika memang cita-citaku untuk menjadi maskot hanya sebatas angan, apa boleh buat. Anak seorang Emak sebagai petani persil yang berkeinginan menjadi maskot karnaval hanya sebuah impian saja. Padahal semua orang berhak dan berkesempatan untuk menjadi maskot, bukan hanya orang yang berduit saja namun aku juga bisa menjadi maskot. " Hatiku masih meronta-ronta dibuatnya.

            Ketika sampai dirumah kucari Emak yang sudah tak ada lagi dirumah. Pasti masih berada di hutan untuk bercocok tanam jagung. Menggapai sejuta harapan untuk menghidupi keluarga ini. Keluarga yang telah ditinggal sang bapak karena meninggal terpatok ular dihutan sewaktu menunggui tanaman kacang mendekati musim panen tiba. Emaklah pejuang sejati dalam keluarga. Hingga kini masih kuat berjibaku melawan angan-angan. Tak ada orang hebat didunia ini sehebat Emak. Dan akupun segera menyusul Emak ke kebun.

            "Emak..." Panggilku.

            "Iya, Nem, ada apa? Sudah pulang?" Jawab Emak dengan senyum senang.

            "Aku dipilih bu Milla untuk menjadi maskot karnaval, Emak."

            "Oh iya. Tapi..." jawab Emak dengan sedikit tertekan.

            "Tapi apa Emak? Bukankah kita senang Emak, dipilih bu Milla untuk menjadi maskot."

Emak masih diam memandangiku dengan penuh ketulusan. Seakan-akan ada yang hilang dariku. Tak berkedip sedikitpun. Mata Emak yang indah berkaca-kaca.

            "Memang kau cantik, Nem. Kulitmu putih, tubuhmu tinggi semampai, rambutmu panjang hitam dan lebat,  alismu juga bagus, hidungmu seperti noni-noni Belanda, dan matamu indah sekali. Emak membayangkan kau, betapa cantiknya anak Emak ketika berjalan paling depan dengan diiringi dayang-dayang. Tapi, Nem..."

            'Tapi apa Emak?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun