Mohon tunggu...
Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Stasiun Tua di Kampungku

25 Maret 2017   16:45 Diperbarui: 26 Maret 2017   01:00 2440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangunan stasiun tua itu telah sirna. Berganti bangunan perumahan warga, tanahnya terkavling-kavling untuk berbagai macam kepentingan, ada yang dibuat rumah, ruko, dan ada yang dibuat kebun jati, kebun pisang dan kebun sayur-sayuran. Aku termangu di depan puingnya, hatiku masih merasakan getaran kereta api tua jurusan Bojonegoro-Rembang, seakan-akan suasana itu masih jelas terekam dalam ingatan. Dan mataku masih memperhatikan puing-puingnya.

Ada sepotong kenangan yang tertinggal dalam puing-puing stasiun tua itu. Suatu hari aku menunggumu di taman stasiun yang penuh dengan bunga kamboja. Hembusan angin memainkan daun dan bunganya yang bertebaran jatuh ke tanah, tak kalah aroma harum bunga itu ikut terbawa. Mungkin kereta api datang di stasiun tua ini kurang lebih sejam lagi. Telat, karena harus menunggu kereta api dari Rembang menuju Bojonegoro dan bertemu di stasiun Sembung terlebih dahulu. Meski agak lama, aku harus tetap menunggumu dengan hatiku yang bertalu-talu. Dan yang kutunggu akhirnya datang juga.

Dari kejauhan lokomotif tua berjalan menderu-deru dengan terompet khasnya yang memekakkan telinga. Tibalah kereta api di stasiun tua ini. Senyum manismu membuatku semakin meraju.

“Sudah lama kau menungguku mas?” tanyamu

“Baru sejam. Dan itu hal biasa dalam dunia kereta api.”

“Apa itu mas?”

“Terlambat.”

“Iya. “

“Lebih baik datang terlambat asalkan selamat dan utuh.”

“Apa maksudmu mas?”

“Ehm, utuh dengan senyum manismu.”

“Kau mencoba merayuku.”

“Tidak, aku hanya mengatakan sejuju-jujurnya bahwa senyummu memang manis.”

“Gombal.”

“Serius Nad!, aku rela menunggu bidadari manis di stasiun ini mulai dari pukul 15.00, dan kau baru muncul pukul 16.15. Lumayan lama kan.”

“Bidadari tak ada yang manis, yang ada cantik, mas.”

“Oh iya, ini bidadari unik, bidadari yang suka naik kereta.”

“Ha..ha..mas selalu begitu, selalu menggombal di depanku.”

“Dan tidak ada cukup bukti aku sedang gombal-in kau.”

“Sama saja mas.”

“Apanya…”

“Gombalnya.”

“Ih kau, Nadia. Kita langsung pulang, atau…”

“Makan dulu mas.”

“Di warung Kang Tarman?”

“Iya.”

“Sip.”

Stasiun tua di kampungku itu perlahan-lahan mulai sepi. Meski masih ada satu perjalanan lagi kereta api malam dari Rembang yang akan menuju Bojonegoro, sekitar pukul 19.00 WIB. Tapi hatiku tak lagi sepi, ada Nadia di sampingku yang baru pulang dari Bojonegoro. Ia baru saja pulang dari kuliahnya yang mengambil jurusan sekolah guru. Ia perempuan tangguh meski hampir semua perempuan seusianya telah sibuk mengurus keluarga dan anaknya, ia masih sibuk mengejar impiannya. Sedangkan aku belum punya kesempatan kuliah, tak apalah, suatu saat pasti aku bisa. Setidaknya ada niat dalam hati ini.

Di warung kang Tarman juga terlihat sepi, hanya ada beberapa anak pondok yang sedang asyik menikmati makanan. Begitu juga aku dan Nadia.

“Tak biasanya kamu pulang Nad?, biasanya sebulan atau lebih, perasaanku baru seminggu kau sudah pulang lagi.”

“Kau tak suka?”

“Bukan, sekalian tak usah kembali lagi ke Bojonegoro juga tak apa, Nad.”

“Kau berani menanggungku?”

‘Tergantung.”

“Kok tergantung.”

“Tergantung, jika kau mau menerimaku dengan sederhana, tahu sendiri kan, statusku masih belum jelas, kerja juga belum.”

“Ah kau mas. Terlalu bicara hari esok. Hari esok itu berjalan melambat mas, masih bisa kita pikir hari ini. Biarlah esok apa kata dunia. Hidup itu lebih asyik mengikuti arus saja mas. Lebih enak dan tidak berat.”

“Relatif, Nad.”

“Itu bukan jawaban yang kusuka, mas.”

“Lantas…”

“Jadi lelaki itu yang pasti, tak usah berbelit-belit mas. Kalau iya bilang saja iya, kalau tidak ya tidak, kenapa mas harus menunggu ini dan itu dulu?”

“Keadaan Nad.”

“Memangnya keadaannya kenapa?”

“Aku belum menjadi lelaki yang mapan, aku tak ada keberanian untuk melamarmu.”

“Dan kau masih saja terus menggombal, mas.”

“Aku mencoba serius, Nad.”

“Seserius apa?”

Pertanyaan Nadia kali ini menusukku. Aku hanya diam, menatap pohon-pohon Trembesi raksasa yang tegar berdiri di sekitar area TPK (Tempat Pelelangan Kayu) depan stasiun. Aku ragu dengan diriku yang tak punya cukup nyali untuk melamarnya, hati kecilku seakan-akan ada bisikan bahwa keluarganya tak kan menerimaku. Meski hal itu aku belum pernah mencobanya.

“Mas, seserius apa?”

“Aku belum bisa menjelaskan sekarang, Nad. Maaf.”

“Ah, keluar gombalnya lagi.”

“Ini bukan gombal Nad, tapi maukah bapakmu menerimaku?, statusku sebagai kuli pabrik kerupuk di Hong Kie yang gajinya kecil.”

“Keberanian tidak diukur dengan penghasilan, keberanian tetaplah keberanian, dan penakut sampai kapanpun tetaplah penakut.”

“Nad!”
 “Buktikan, mas.”

Aku seperti ditendang perutku hingga limbung dan terhuyung-huyung. Nadia memaksaku untuk membicarakan hubungan yang lebih serius dengan bapaknya. Sedangkan aku tahu, bahwa bapaknya adalah orang yang berada di kampung ini. Setidaknya aku bisa menebaknya bahwa Nadia yang disekolahkan sampai perguruan tinggi, pasti bapaknya punya pilihan yang lebih baik, paling tidak seorang dokter atau sesama teman kuliahnya. Meski aku tahu Nadia menyukaiku. Tapi bermodal suka belum tentu bapaknya menerimaku.

“Baiklah, Nad. Aku akan mencobanya.”

Nadia hanya diam. Matanya menatap halaman stasiun yang masih saja sepi. Hanya ada beberapa orang mondar-mandir tak tahu tujuannya. Aku tahu ia kecewa. Aku hanya berani bertemu di stasiun untuk menjemputnya lalu aku antar dengan sepeda jengki cukup sampai di depan pasar Bangilan.

“Ehm, aku mau pulang, mas.”

“Masih mau aku antar?”

Kau hanya mengangguk tak bersemangat.

Dan esoknya ketika ia akan balik lagi ke kota Bojonegoro, ia mengajakku bertemu di bawah pohon Trembesi raksasa dekat telaga, anginya sepoi-sepoi menerpa rambutmu yang bergoyang-goyang sendu. Sesendu wajahmu menatapku. Seakan-akan kau enggan untuk membuka pembicaraan denganku. Seperti ada gumpalan kecemasan yang menindih hatimu. Ikan-ikan yang biasanya berloncat-loncatan di telaga juga tak tampak. Hanya yuyu yang terlihat malu-malu menampakkan supitnya, matanya menatapmu seakan-akan ingin mencubitmu dan mengajakmu bercanda.

“Ada apa Nad?” aku beranikan diri lagi untuk bertanya.

“Kau tidak marah atau kecewa jika aku mengatakan hal ini padamu, mas?”

“Kenapa?.” Tanyaku cemas.

“Dari mana aku harus memulai untuk mengatakannya, mas. Aku bingung bercampur takut.”

“Sudah katakan saja!”

“Ehm, kepulanganku kemarin ada maksud dari bapak bahwa malam itu sehabis kau antarkan aku pulang dari stasiun, ada tamu dari teman dekatnya bapak, dari kota Banjarmasin yang sengaja datang ke rumah, karena ingin memintaku untuk dijodohkan dengan anaknya. Anak laki-laki semata wayangnya yang baru saja menuntaskan studinya di fakultas kedokteran di Jakarta dan saat ini sudah dinas di rumah sakit Banjarmasin.”

Tulang-tulang persendianku serasa copot, rasanya ingin ambruk, hatiku panas seakan-akan disambar geledek di siang ini, aku tak bisa berkata-kata, hanya wajahku yang senantiasa gugup menyimpan luka. Aku bersandar pada pohon trembesi raksasa, terkulai lemas dengan menatap telaga yang airnya seakan menderu-deru tersapu sang bayu.

“Kau menerimanya?” kataku lesu.

“Tak tahu mas, bapak yang mengatur semuanya.”

Dan aku semakin terpojok dengan jawaban Nadia. Sebentar lagi aku menjadi orang yang kalah, lalu menepi dengan perasaan dongkol yang menyelimuti hati seumur hidup. Apalah arti diriku bagi dia dan keluarganya?. Hanya sepotong gabus dan tak berarti apa-apa, itulah alasanku sampai saat ini aku tak punya cukup keberanian untuk melamarmu. Orang kecil yang hanya ingin mengayuh rembulan. Sampai kapanpun takkan pernah sampai. Meski mengayuh cinta tak kan pernah salah. Semua manusia berhak merengkuhnya.

“Mas, kenapa diam?”

“Aku sedang membayangkan kau akan pergi jauh dariku. Dan bisakah kau pergi dariku sekarang? Agar aku punya kesempatan untuk melukis punggungmu.”

“Mas, aku belum memberikan jawaban padanya. Kenapa kau sudah menyuruhku pergi?”

“Pergi sekarang atau pergi nanti, sama saja. Karena sama-sama pergi.”

“Katanya tadi tidak akan emosi. Kenapa sekarang malah emosi.”

Sejenak kita hanya terdiam. Mematung dan membisu, namun kereta tua jurusan Bojonegoro telah datang, dan kita masih membisu, hanya memandang semua orang yang hilir mudik menuju tempat tujuan masing-masing. Kereta api punya stasiun untuk berhenti dan berlalu, manusia punya hati untuk merasakan kenangan-kenangan yang datang dan berlalu.

“Aku tidak emosi Nad, hanya belum kuat menahan emosiku tentang kabarmu tadi. Tapi kau punya pilihan Nad, dan kau sendiri yang akan menentukan pilihanmu yang paling tepat. Aku tidak punya hak mempengaruhimu, kau perempaun berpendidikan tinggi tentunya punya kebijakan yang lebih logis.”

“Itu sama saja kau emosi, mas. Kau sanggup membawaku lari mas?”

“Dan itu bukan kebijakan yang paling tepat, hanya cara untuk menghindari saja, Nad. Namun kau punya keluarga dan aku juga punya keluarga, bukankah menikah itu juga memadukan dua keluarga?, dan paling sulit memadukan keluarga kita, Nad.”

“Lalu apa pendapatmu tentang masalah ini, mas?”

“Kau turuti saja kemauan bapakmu, Nad.”

“Apaaa?”

“Iya. Kau ikuti saja dulu kemauan bapakmu.”

“Kamu?”

“Biarkan aku menjadi senja yang sempat menghiasi hatimu sejenak, setelah itu pergi kembali dan menghilang dalam pekat malam.”

“Kau mulai menggombal lagi, mas.”

“Tidak.”

Beberapa hari surat darimu datang, mengabarkan kau akan menikah dan menetap di kota Banjarmasin. “Akhirnya kau jadi pergi juga, Nad.” Gumamku. Dan meninggalkanku sendiri mematung di stasiun tua ini. Stasiun yang telah di bangun dengan arsitektur Kolonial Belanda itu kini di musnahkan dan tidak di bangun lagi. Begitu mudahnya orang-orang itu menghancurkannya, namun sulit untuk membangun lagi. Begitu juga perasaanku yang telah dihancurkan oleh keluarga Nadia. Bapaknya tak sudi jika anaknya punya suami hanya dari kelas kuli. Tapi aku sadar. Aku tahu, hati Nadia tak kan mudah melupakan namaku dalam hatinya. Meski bisa, tapi setidaknya namaku pernah tertulis rapi di sudut hatinya yang temaram. Dan jika kereta api yang datang silih berganti, selalu mengingatkanku pada Nadia, jika aku sering menjemput bidadari manis di stasiun tua di kampungku yang kini telah sirna bersama kenangan-kenangan di dalamnya.

*Penulis aktif di Komunitas Literasi Kali Kening Bangilan-Tuban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun