Beberapa hari surat darimu datang, mengabarkan kau akan menikah dan menetap di kota Banjarmasin. “Akhirnya kau jadi pergi juga, Nad.” Gumamku. Dan meninggalkanku sendiri mematung di stasiun tua ini. Stasiun yang telah di bangun dengan arsitektur Kolonial Belanda itu kini di musnahkan dan tidak di bangun lagi. Begitu mudahnya orang-orang itu menghancurkannya, namun sulit untuk membangun lagi. Begitu juga perasaanku yang telah dihancurkan oleh keluarga Nadia. Bapaknya tak sudi jika anaknya punya suami hanya dari kelas kuli. Tapi aku sadar. Aku tahu, hati Nadia tak kan mudah melupakan namaku dalam hatinya. Meski bisa, tapi setidaknya namaku pernah tertulis rapi di sudut hatinya yang temaram. Dan jika kereta api yang datang silih berganti, selalu mengingatkanku pada Nadia, jika aku sering menjemput bidadari manis di stasiun tua di kampungku yang kini telah sirna bersama kenangan-kenangan di dalamnya.
*Penulis aktif di Komunitas Literasi Kali Kening Bangilan-Tuban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H