“Dan kau masih saja terus menggombal, mas.”
“Aku mencoba serius, Nad.”
“Seserius apa?”
Pertanyaan Nadia kali ini menusukku. Aku hanya diam, menatap pohon-pohon Trembesi raksasa yang tegar berdiri di sekitar area TPK (Tempat Pelelangan Kayu) depan stasiun. Aku ragu dengan diriku yang tak punya cukup nyali untuk melamarnya, hati kecilku seakan-akan ada bisikan bahwa keluarganya tak kan menerimaku. Meski hal itu aku belum pernah mencobanya.
“Mas, seserius apa?”
“Aku belum bisa menjelaskan sekarang, Nad. Maaf.”
“Ah, keluar gombalnya lagi.”
“Ini bukan gombal Nad, tapi maukah bapakmu menerimaku?, statusku sebagai kuli pabrik kerupuk di Hong Kie yang gajinya kecil.”
“Keberanian tidak diukur dengan penghasilan, keberanian tetaplah keberanian, dan penakut sampai kapanpun tetaplah penakut.”
“Nad!”
“Buktikan, mas.”
Aku seperti ditendang perutku hingga limbung dan terhuyung-huyung. Nadia memaksaku untuk membicarakan hubungan yang lebih serius dengan bapaknya. Sedangkan aku tahu, bahwa bapaknya adalah orang yang berada di kampung ini. Setidaknya aku bisa menebaknya bahwa Nadia yang disekolahkan sampai perguruan tinggi, pasti bapaknya punya pilihan yang lebih baik, paling tidak seorang dokter atau sesama teman kuliahnya. Meski aku tahu Nadia menyukaiku. Tapi bermodal suka belum tentu bapaknya menerimaku.