Meskipun Jawaharlal Nehru tertarik dengan ide itu, tetapi dia membayangkan bagaimana sulitnya mengadakan konferensi yang besar yang mempertemukan negara Asia dan Afrika karena negara-negara Asia dalam yaitu memiliki perbedaan ideologi politik kultural.
Gagasan kerjasama Asia-Afrika itu karena alasannya Asia-Afrika dan juga PBB sendiri sudah mulai terbentuk secara informal yang menyikapi isu-isu kolonialisme di Afrika Utara.
Kelompok Asia-Afrika menurut gagasan ini sangat relevan dan konkrit untuk negara Asia- Afrika yang dianggap lemah tak berdaya sehingga bisa menyuarakan keprihatinan mereka di KAA. Di dalam Konferensi Kolombo mereka menerima usulan bapak Ali Sastroamidjojo untuk mengadakan konferensi Asia-Afrika di Indonesia.
Pada akhirnya seiring waktu berjalan, bapak Ali Sastroamidjojo berhasil meyakinkan para pemimpin Asia-Afrika. Relevansi gagasan dari konferensi Asia-Afrika ini menghadapi berbagai dampak yang terjadi di wilayah Asia dan juga baru merealisasikan sebuah kerjasama mengeluarkan konsep yang bisa disebut Pancasila. “Kalau kita kan Pancasila, mereka juga punya konsep Pancasila gitu loh berisi tentang gagasan mereka tentang eksistensi-eksistensi damai antara India dan Cina dan juga di regional Asia itu” (tutur dosen sejarah UGM itu). Jadi gagasan itu semakin dilihat relevan dan yang paling krusial.
Konferensi Asia-Afrika ini menjadi turning Point dalam sejarah abad ke-20. Karena untuk pertama kalinya 29 negara Asia dan Afrika yang baru merdeka itu pertama kalinya berkumpul di tanah air Indonesia. Mereka sendiri baik para pelajar dari Asia di masa kolonial mereka lebih nyaman berkumpul di Eropa karena lebih aman akhirnya pasca perang dunia kedua mereka bisa berkumpul di tanah mereka sendiri.
Hal ini menjadi momentum penting negara- negara yang disebut dunia ketiga untuk membicarakan konperensi mereka dalam politik internasional termasuk menyikapi perang dingin didalamnya.
Mayoritas yang tidak memiliki haluan non-blok meskipun pada akhirnya haluan non-blok berhasil di konferensi ini jadi ada kelompok negara yang pro Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Tetapi yang luar biasa adalah setelah prestasi di dalam Konferensi ini yang melelahkan sekali sehingga akhirnya negara-negara Asia-Afrika itu bisa menghasilkan konsensus.
Karena ada kesamaan pandangan terhadap kolonialisme dan imperialisme dan dikira bisa menghasilkan konsensus bersama untuk mencari satu formulasi dalam mengkritik kolonialisme dan imperalisme.
Jadi mereka mengutuk kolonialisme dalam segala bentuknya intervensi eksternal atas kedaulatan dan mengkritik kontestasi perang dingin, penggunaan nuklir dunia, serta mendorong terciptanya perdamaian dunia. Itu semua terangkum dalam “Dasasila Bandung” atau nantinya dikenal sebagai bahasa yang digunakan oleh akademisi dan aktivis internasional sebagai “Bandung Spirit”.