Judu: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
Penerbit: Gunung Agung, Jakarta, Cet. Pertama, 1966
Judul sli: Sukarno An Autobiography as Told to Cindy Adams
Penerbit Asli: The Bobbs Merrill Company, Inc, New York, 1965
Penulis: Cindy Adams
Penerjemah: Mayor Abdul Bar Salim
Pencetak: Percetakan Gita Karya
Tebal: XXIII + 470 halaman
Ilustrasi: Halaman 225-256
Ukuran: 16×24 cm
Kategori: Autobiografi
Harga buku: Rp. 120.000
Sekilas:
“Saya merasa bangga bahwa saya ikut serta pada permulaan dari ditulisnya buku ini. Buku tersebut amat menarik dan penting, karena melalui buku itu terbukalah kesempatan bagi dunia untuk mengenal Sukarno sebagaimana kawan-kawannya yang terdekat mengenalnya – masa mudanya, masa bertahun-tahun dalam penjara, perjuangannya, dan pandangannya tentang masalah-masalah dunia. Buku tesrebut mengungkapkan sifat dan jiwa beliau secara menyeluruh”. Howard P. Jones (bekas Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia)
- Sinopsis cover luar bagian belakang
Dalam review kali ini, saya ditantang oleh dosen pengampu kuliah saya untuk menyelesaikan laporan bacaan yang merujuk pada sumber sejarah lisan. Maka dari itu, saya memilih sumber sejarah dalam bentuk fisik yang saya miliki berupa buku. Buku yang akan saya ulas kali ini merupakan buku tua yang cukup rapuh keadaanya. Usia nya mencapai 50 tahun keatas dan buku ini tergolong buku ‘langka’ dikarenakan keberadaanya yang sulit ditemukan dewasa ini.
“Sukarno an Autobiography as told to Cindy Adams” merupaka judul asli dari buku ini, edisi Amerika Serikat yang diterbitkan oleh The Bobbs Merrill Company inc. Karena banyaknya permintaan pembaca diseluruh kepulauan Indonesia akhirnya tibalah edisi berbahsa Indonesia dengan tajuk “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Buku yang saya jadikan acuan dalam tulisan ini merupakan sumber sejarah lisan dari wawancara antara Cindy Adams dan Presiden Sukarno, yang terbit bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun beliau yang ke-65 pada tanggal 6 Juni 1966. Dengan kata lain, buku ini sudah berusia sekitar 54 tahun lamanya.
Dalam buku tersebut, Cindy Adams diketahui sebagai pewawancara asing yang berkebangsaan Amerika Serikat, sehingga buku otobiografi tersebut tidak menutup kemungkinan bisa mencapai hasil yang seobjektif mungkin karena disusun dan ditulis dari hasil wawancaranya dengan Sukarno. Dengan menggunakan teknik wawancara yang aktual, Cindy Adams memfokuskan pada topik dan pendekatan pengalaman hidup tokoh Bung Karno (life history). Dari buku ini kita dapat mengetaui segala sesuatu yang menyangkut jati diri Bung Karno, seperti masa mudanya, pedidikannya, perjuangannya, pengalamannya dan ide-idenya mengenai manusia, persahabatan, agama dan cintanya.
Karena Cindy Adams mendapat ‘responden’ atau interviewee dari salah satu tokoh papan atas yaitu petinggi negara, maka bisa dikatakan bahwa Cindy Adams mengangkat sejarah lisan pada abad ke-19 di Barat, yang pada kala itu mulai fokus mengenai “pengalaman elit”, seperti yang ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1948. Dengan peranan sejarah lisan yang demikian, wartawan wanita asing itu harus mengumpulkan informasi penting yang dikisahkan oleh tokoh besar tersebut.
Sedangkan pada sejarah yang lain, yaitu kasus ‘orang-orang kecil’. Perkembangan historiografi Indonesia berawal sejak tahun 1970 sampai 1980. Tema-tema bergeser dari sejarah orang-orang besar, tokoh elit, tradisi besar ke sejarah orang-orang kecil atau masyarakat biasa. Sebagai contoh, pelopor yang mengangkat tema-tema “orang kecil” yaitu terdapat dalam Disertasi Sartono Kartodirdjo mengenai “Pemberontakan Petani Banten tahun 1888” dengan perspektif yang Indonesia sentris. Dimana tulisan tersebut fokus pada para petani Banten yang melawan tentara kolonial Belanda.
Kembali ke review utama, dengan fokus tentang tokoh elit-nya, Cindy Adams harus mengetahui batasan-batasannya sebagai “interviewer”, apalagi yang diwawancarai adalah orang nomor satu Indonesia. Diketahui bahwa Presiden RI pertama ini sangat benci dikritik terutama oleh wartawan Amerika Serikat, yang kala itu menuliskan berita yang menghujat dirinya. Berita ini pula yang menjadikan ‘oral tradition’ terdengar dan tersampaikan langsung kepada saya. Saya masih ingat kata-kata yang tersirat dari nenek saya perihal kunjungan Presiden Sukarno di Kalimantan. “Beliau dicintai dan dipuji oleh rakyatnya dikala itu, namun beliau sangat membenci apabila ada orang yang mengkritik dirinya”.
Berbagai polemik seputar perselisihan antara diri Bung Karno dan Pers pun bermunculan dari mulut ke mulut. Tanpa tulisan dari pena, tentu koran tidak dapat dipublikasikan. Sukarno seolah membungkam pers, tak memberi kebebasan dan tidak sudi menerima kritik dan wawancara dari mereka. Padahal pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Sukarno sering memanfaatkan pers untuk menyuarakan kritiknya. Lalu mengapa Sukarno mau diwawancarai oleh Cindy Adams? padahal beliau sangat membenci tingkah laku wartawan Amerika.
Dalam narasinya, ketika Sukarno mengadakan kunjungan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1956, beliau dihormati dan dicintai oleh setiap orang. Namun, ketika sebuah majalah remaja Amerika tersebar dan sampai ditangannya. Sukarno kaget bukan main karena ternyata terdapat penyimpangan pada konteks majalah tersebut. Hal demikianlah yang membuat Sukarno benci terhadap Amerika di kala itu.
Singkat cerita, Sukarno bertemu John F. Kennedy untuk membicarakan kekecewaan apa yang Ia rasakan. Pertemuan tersebut berlangsung di kamar tidur Kennedy. Mereka bercakap dan berbincang layaknya hubungan dua sahabat. Seperti merasakan hal yang sama, Kennedy pun menanggapi, bahwa Ia merasa dikutuk di negaranya sendiri akibat kebebasan pers. Namun bagi dirinya, kebebasan pers adalah bagian dari pusaka arsip Amerika.
Dari sekian banyak wartawan yang datang kepada Sukarno, jawaban yang diterima mereka adalah “tidak”. Hanya kepada Cindy Adams lah akhirnya Bung Karno mau menuturkan kisah hidupnya untuk dijadikan otobiografi. Walaupun dibujuk oleh siapapun, kalau yang mewawancarai dan menulis bukan Cindy Adams, Bung Karno tak akan pernah sudi. Jawabannya Bung Karno hanya sepatah kalimat yaitu, “wawancara dengan Cindy Adams itu menyenangkan sekali dan tidak menyakitkan hati”.
Buku dengan sampul cover warnah merah yang menyala ini, berisi kata pengantar dan kata sambutan dari Letnan Jendral Suharto serta kutipan pers luar negeri tentang buku otobiografi ini. Buku ini juga dilengkapi dengan gelar Doctor Honoris Causa yang dianugerahkan kepada Presiden Sukarno yang terhitung sejak kurun tahun 1951 – 1965. Buku ini menceritakan mulai dari masa kanak-kanak sampai masa kekuasaannya, ditulis dalam daftar isi yang singkat namun penuh makna yang berharga serta dilengkapai dengan ilustrasi gambar yang terhitung mulai hlm. 225 – 256.
Dalam buku tersebut, termuat kehidupan sejati pribadi Soekarno. Sebagai manusia perasa, seorang seniman, taktik politiknya, harapannya, serta pola pikirnya baik itu sosialis, agamis dan komunis. Semuanya dikisahkan menggunakan gaya bahasa khas Bung Karno. Buku ini akan sangat menarik bagi para ahli sejarah seperti Peter Kasenda dan Kuntowijoyo. Apalagi bagi orang-orang yang fokus pada sejarah Presiden RI pertama ini.
Banyak yang bilang bahwa Sukarno itu orang sakti karena luput dari hal-hal mistis. Baik itu properti yang digunakannya, seperti peci hitam, cicin merah delimanya, dan tongkat komandonya. Banyak orang-orang yang sampai saat ini mencari barang-barang pusaka yang berhubungan dengan Bung Karno. Namun dimata para sejarawan, hal-hal ini tentu dapat berhubngan jika barang pusaka dan data tersebut benar adanya, sehingga bisa dibuktikan dan dapat diarsipkan untuk Museum Nasional demi melestarikan sejarahnya.
Sejujurnya, saya pun bangga karena cinta yang dimiliki Bung Karno bisa saya rasakan juga lewat buku otobiografinya. Presiden Sukarno yang mengajarkan kita untuk mencintai sesama manusia melalui hakikat sosialisnya, menyadarkan kita akan pentingnya bersaudara, berkeluarga dan bernegara. Tidak ada kasta!!, jusrtru yang di tekankan itu mencintai rakyat kecil, dengan begitu kita akan saling peduli untuk dan saling menyayai kepada yang lemah. Bung Karno juga memperkenalkan budaya asli Indonesia, yaitu gotong royong yang mendarah daging dan tertanam sejak nama Nusantara lahir.
Buku ini menceritakan rekam jejak kehidupan Bung Karno dari kecil sampai ia tua. Meski termasuk buku lawas dan antik, konteks yang disajikan dalam buku ini masih layak dan relevan untuk dibaca hingga saat ini. Penulisan otobiografi ini pun terasa mengalir ketika dibaca. Meski secara fisik cukup tebal, namun karena cara penulisannya yang mengalir, buku ini pun jadi terasa ringan untuk dibaca.
Buku ini sangat cocok untuk jadi rujukan bacaan. Buku ini dapat digunakan sebagai sumber primer, karena diperoleh dari hasil sejarah lisan. Apalagi bagi yang mengaku dirinya sebagai ‘sukarnois’. Dan buku ini layak dijadikan tambahan sebagai koleksi yang wajib dimiliki bagi para pencinta esai-esai Bung Karno. Dan buku ini tidak kalah bagusnya dengan buku “DBR” yang banyak dicari-cari.
Dari penjelasan mengenai penulisan sejarah lisan yang ditulis oleh Cindy Adams dapat disimpulakn bahwa tema-tema mengenai sejarah ‘tokoh elit’ baik itu Presiden, pejabat tinggi, raja atau pun ratu dengan para ajudannya yang terkenal, merupakan tema yang sudah banyak ditulis dan diteliti oleh para sejarawan. Adapun sebaliknya pembantu, tukang becak, dan buruh, merupakan tema-tema yang sulit ditemukan dalam sumber-sumber arsip. Karena itu, penggunaan sumber-sumber Sejarah lisan dapat dianggap sebagai sejarah alternatif penting dan menawarkan banyak harapan.
Dengan demikian, maka sejarah lisan membutuhkan metode untuk menelusuri dan menggali pengalaman serta kesaksia narasumber dari pengalaman-pengalaman mereka yang dapat direkam lalu dicatat. Hal itu karena hasil wawancara yang dimuat dalam buku tersebut dalam kenyataannya bermanfaat sebagai sumber sejarah. Tentunya untuk kemaslahatan rakyat republik Indonesia.
“Djangan Sekali-kali Meninggallkan Sedjarah!” Ir. Sukarno
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H