Kembali ke review utama, dengan fokus tentang tokoh elit-nya, Cindy Adams harus mengetahui batasan-batasannya sebagai “interviewer”, apalagi yang diwawancarai adalah orang nomor satu Indonesia. Diketahui bahwa Presiden RI pertama ini sangat benci dikritik terutama oleh wartawan Amerika Serikat, yang kala itu menuliskan berita yang menghujat dirinya. Berita ini pula yang menjadikan ‘oral tradition’ terdengar dan tersampaikan langsung kepada saya. Saya masih ingat kata-kata yang tersirat dari nenek saya perihal kunjungan Presiden Sukarno di Kalimantan. “Beliau dicintai dan dipuji oleh rakyatnya dikala itu, namun beliau sangat membenci apabila ada orang yang mengkritik dirinya”.
Berbagai polemik seputar perselisihan antara diri Bung Karno dan Pers pun bermunculan dari mulut ke mulut. Tanpa tulisan dari pena, tentu koran tidak dapat dipublikasikan. Sukarno seolah membungkam pers, tak memberi kebebasan dan tidak sudi menerima kritik dan wawancara dari mereka. Padahal pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Sukarno sering memanfaatkan pers untuk menyuarakan kritiknya. Lalu mengapa Sukarno mau diwawancarai oleh Cindy Adams? padahal beliau sangat membenci tingkah laku wartawan Amerika.
Dalam narasinya, ketika Sukarno mengadakan kunjungan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1956, beliau dihormati dan dicintai oleh setiap orang. Namun, ketika sebuah majalah remaja Amerika tersebar dan sampai ditangannya. Sukarno kaget bukan main karena ternyata terdapat penyimpangan pada konteks majalah tersebut. Hal demikianlah yang membuat Sukarno benci terhadap Amerika di kala itu.
Singkat cerita, Sukarno bertemu John F. Kennedy untuk membicarakan kekecewaan apa yang Ia rasakan. Pertemuan tersebut berlangsung di kamar tidur Kennedy. Mereka bercakap dan berbincang layaknya hubungan dua sahabat. Seperti merasakan hal yang sama, Kennedy pun menanggapi, bahwa Ia merasa dikutuk di negaranya sendiri akibat kebebasan pers. Namun bagi dirinya, kebebasan pers adalah bagian dari pusaka arsip Amerika.
Dari sekian banyak wartawan yang datang kepada Sukarno, jawaban yang diterima mereka adalah “tidak”. Hanya kepada Cindy Adams lah akhirnya Bung Karno mau menuturkan kisah hidupnya untuk dijadikan otobiografi. Walaupun dibujuk oleh siapapun, kalau yang mewawancarai dan menulis bukan Cindy Adams, Bung Karno tak akan pernah sudi. Jawabannya Bung Karno hanya sepatah kalimat yaitu, “wawancara dengan Cindy Adams itu menyenangkan sekali dan tidak menyakitkan hati”.
Buku dengan sampul cover warnah merah yang menyala ini, berisi kata pengantar dan kata sambutan dari Letnan Jendral Suharto serta kutipan pers luar negeri tentang buku otobiografi ini. Buku ini juga dilengkapi dengan gelar Doctor Honoris Causa yang dianugerahkan kepada Presiden Sukarno yang terhitung sejak kurun tahun 1951 – 1965. Buku ini menceritakan mulai dari masa kanak-kanak sampai masa kekuasaannya, ditulis dalam daftar isi yang singkat namun penuh makna yang berharga serta dilengkapai dengan ilustrasi gambar yang terhitung mulai hlm. 225 – 256.
Dalam buku tersebut, termuat kehidupan sejati pribadi Soekarno. Sebagai manusia perasa, seorang seniman, taktik politiknya, harapannya, serta pola pikirnya baik itu sosialis, agamis dan komunis. Semuanya dikisahkan menggunakan gaya bahasa khas Bung Karno. Buku ini akan sangat menarik bagi para ahli sejarah seperti Peter Kasenda dan Kuntowijoyo. Apalagi bagi orang-orang yang fokus pada sejarah Presiden RI pertama ini.