Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bisa disebut sebagai bentuk eksploitasi karena mengambil keuntungan dari situasi di mana mahasiswa tidak memiliki banyak pilihan.
Kebutuhan akan pendidikan tinggi sering kali membuat mahasiswa menjadi ketergantungan pada sistem yang menetapkan UKT. Kenaikan tersebut dapat dieksploitasi untuk menghasilkan pendapatan tambahan bagi perguruan tinggi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap mahasiswa.
Survei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020) sekitar 45% mahasiswa di perguruan tinggi negeri melaporkan bahwa mereka merasa terbebani oleh kenaikan UKT. Beban ini dirasakan terutama oleh mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah dan menengah.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2023 tercatat sebanyak 25,90 juta orang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Angka ini mencerminkan tantangan ekonomi yang signifikan di negara kita, di mana banyak keluarga berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Namun dengan meningkatnya UKT ini akan memperberat beban finansial bagi mahasiswa dan keluarganya, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Ketika biaya pendidikan meningkat, banyak mahasiswa dari latar belakang ekonomi lemah mungkin harus mempertimbangkan kembali keputusan mereka untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Hal ini menciptakan jurang sosial dan ekonomi yang semakin lebar dalam aksesibilitas pendidikan.
Mahasiswa yang tidak mampu secara finansial mungkin terpaksa menunda atau bahkan menghentikan studi mereka karena tidak mampu membayar biaya pendidikan yang lebih tinggi.
Beban finansial yang meningkat juga dapat memberikan tekanan psikologis yang serius pada mahasiswa. Stres dan kecemasan terkait dengan masalah keuangan dapat mengganggu fokus dan performa akademis mereka.
Ketidakpuasan dan protes dari mahasiswa dan masyarakat harus menjadi peringatan bagi pihak kampus dan pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan kenaikan UKT ini.
Oleh karena itu diperlukannya, program dan bantuan yang ditawarkan oleh pemerintah, seperti beasiswa, subsidi, dan pinjaman pendidikan seperti LPDP atau singkatan dari "Lembaga Pengelola Dana Pendidikan", yang merupakan langkah positif untuk meringankan beban mahasiswa dalam menghadapi kenaikan biaya kuliah.Â
Namun, penting untuk mengevaluasi secara cermat efektivitas kebijakan pemerintah ini dalam menjaga keseimbangan antara meningkatkan kualitas pendidikan dan menjaga biaya kuliah tetap terjangkau bagi semua kalangan.
Kita semua perlu mempertimbangkan perspektif yang beragam ini dengan hati-hati. Marilah kita mendorong dialog terbuka antara semua pemangku kepentingan yaitu mahasiswa, universitas, pemerintah, dan masyarakat luas untuk bersama-sama mencari solusi terbaik. Dengan kerja sama dan komunikasi yang baik, kita dapat menciptakan sistem pendidikan tinggi yang lebih adil, berkelanjutan, dan berkualitas di Indonesia.