Mohon tunggu...
aurallya shalsabilla ayu
aurallya shalsabilla ayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Aurel, wanita berusia 19 tahun yang merupakan mahasiswa aktif Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga. Memiliki kemampuan yang baik dalam kerja sama tim dan berkomunikasi dalam tim. Memiliki kepribadian tekun, disiplin, dan sabar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UKT Melonjak: Peluang Perbaikan atau Ancaman Ketidakadilan?

5 Juni 2024   14:43 Diperbarui: 5 Juni 2024   15:12 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi yang menggambarkan tekanan finansial yang dihadapi mahasiswa dalam membayar ukt yang tinggi. /VOA Islam

Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia selalu menjadi topik yang kontroversial dan memicu perdebatan sengit.

Uang Kuliah Tunggal (UKT) adalah sistem pembayaran biaya kuliah dan memainkan peran yang sangat penting dalam pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia. UKT bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pendidikan.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 25 Tahun 2020 mengatur Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) yang menjadi dasar penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Pasal 2 ayat (3) menyatakan bahwa SSBOPT menjadi acuan untuk menentukan UKT. Sumber pendapatan utama PTN untuk biaya operasional ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Peraturan ini memastikan penetapan biaya pendidikan di PTN sesuai dengan standar yang konsisten dan adil.

Namun, alokasi Anggaran Pendidikan hanya sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dianggap tidak cukup untuk membiayai pendidikan tinggi di kampus. Apakah kondisi ini mendorong perguruan tinggi melakukan penyesuaian dengan menaikkan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) ?.

Isu ini memunculkan dua pandangan yang bertolak belakang: apakah kenaikan UKT merupakan investasi yang diperlukan untuk meningkatkan dan perbaikan kualitas pendidikan, atau justru eksploitasi yang membebani mahasiswa dan keluarga mereka?

Kenaikan UKT dapat dilihat dari dua perspektif. Sebagai investasi, kenaikan UKT dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan fasilitas kampus, yang pada gilirannya memberikan manfaat jangka panjang bagi mahasiswa. Namun, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang memastikan aksesibilitas bagi semua kalangan, kenaikan UKT lebih cenderung menjadi eksploitasi. 

Ini terutama terlihat ketika mahasiswa dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah harus menanggung beban keuangan yang berat tanpa jaminan peningkatan signifikan dalam kualitas pendidikan yang mereka terima.

Pendukung kenaikan UKT seringkali merujuk pada perlunya investasi dalam peningkatan kualitas pendidikan. Argumen ini mencerminkan realitas bahwa universitas memerlukan sumber daya finansial yang memadai untuk menyediakan fasilitas modern, memperbarui kurikulum, dan mempertahankan tenaga pengajar berkualitas. Mereka berpendapat bahwa kenaikan UKT adalah langkah yang diperlukan untuk memastikan keberlangsungan universitas dan peningkatan mutu pendidikan.

Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia yang juga mengalami kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada beberapa kesempatan. Rektor ITB, Prof. Reini Wirahadikusumah mengatakan "Kenaikan UKT di ITB adalah hasil dari evaluasi mendalam mengenai kebutuhan operasional dan pengembangan universitas. Kami berkomitmen untuk memastikan bahwa dana dari UKT digunakan secara transparan dan akuntabel untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan fasilitas kampus."

Namun, pandangan kritis juga menyoroti konsekuensi sosial dan ekonomi dari kenaikan UKT. Mahasiswa, terutama mereka dari latar belakang ekonomi rendah, seringkali menjadi korban dari kebijakan ini. Mahasiswa dari keluarga kaya akan tetap dapat membayar biaya yang lebih tinggi, sementara mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu akan semakin tertinggal.

Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bisa disebut sebagai bentuk eksploitasi karena mengambil keuntungan dari situasi di mana mahasiswa tidak memiliki banyak pilihan.

Kebutuhan akan pendidikan tinggi sering kali membuat mahasiswa menjadi ketergantungan pada sistem yang menetapkan UKT. Kenaikan tersebut dapat dieksploitasi untuk menghasilkan pendapatan tambahan bagi perguruan tinggi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap mahasiswa.

Survei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020) sekitar 45% mahasiswa di perguruan tinggi negeri melaporkan bahwa mereka merasa terbebani oleh kenaikan UKT. Beban ini dirasakan terutama oleh mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah dan menengah.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2023 tercatat sebanyak 25,90 juta orang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Angka ini mencerminkan tantangan ekonomi yang signifikan di negara kita, di mana banyak keluarga berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Namun dengan meningkatnya UKT ini akan memperberat beban finansial bagi mahasiswa dan keluarganya, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Ketika biaya pendidikan meningkat, banyak mahasiswa dari latar belakang ekonomi lemah mungkin harus mempertimbangkan kembali keputusan mereka untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Hal ini menciptakan jurang sosial dan ekonomi yang semakin lebar dalam aksesibilitas pendidikan.

Mahasiswa yang tidak mampu secara finansial mungkin terpaksa menunda atau bahkan menghentikan studi mereka karena tidak mampu membayar biaya pendidikan yang lebih tinggi.

Beban finansial yang meningkat juga dapat memberikan tekanan psikologis yang serius pada mahasiswa. Stres dan kecemasan terkait dengan masalah keuangan dapat mengganggu fokus dan performa akademis mereka.

Ketidakpuasan dan protes dari mahasiswa dan masyarakat harus menjadi peringatan bagi pihak kampus dan pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan kenaikan UKT ini.

Oleh karena itu diperlukannya, program dan bantuan yang ditawarkan oleh pemerintah, seperti beasiswa, subsidi, dan pinjaman pendidikan seperti LPDP atau singkatan dari "Lembaga Pengelola Dana Pendidikan", yang merupakan langkah positif untuk meringankan beban mahasiswa dalam menghadapi kenaikan biaya kuliah. 

Namun, penting untuk mengevaluasi secara cermat efektivitas kebijakan pemerintah ini dalam menjaga keseimbangan antara meningkatkan kualitas pendidikan dan menjaga biaya kuliah tetap terjangkau bagi semua kalangan.

Kita semua perlu mempertimbangkan perspektif yang beragam ini dengan hati-hati. Marilah kita mendorong dialog terbuka antara semua pemangku kepentingan yaitu mahasiswa, universitas, pemerintah, dan masyarakat luas untuk bersama-sama mencari solusi terbaik. Dengan kerja sama dan komunikasi yang baik, kita dapat menciptakan sistem pendidikan tinggi yang lebih adil, berkelanjutan, dan berkualitas di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun