Dampak Deindustrialisasi Terhadap Ekonomi dan Masyarakat
Runtuhnya industri manufaktur memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Dampak ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Berkurangnya Lapngan Kerja FormalÂ
Dengan terbatasnya peluang kerja di sektor formal, banyak tenaga kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan dan akhirnya terdorong untuk masuk ke sektor informal. Perubahan dalam struktur pasar kerja di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, di mana terjadi penurunan jumlah lapangan kerja formal dan peningkatan dominasi sektor informal. Penurunan aktivitas di sektor manufaktur menyebabkan berkurangnya penciptaan lapangan kerja formal yang selama ini menjadi penopang stabilitas ekonomi. Sektor informal seringkali didominasi oleh pekerjaan dengan teknologi rendah dan keterampilan minim. Pekerjaan ini cenderung tidak stabil, berupah rendah, serta tidak memiliki jaminan sosial.
2. Meningkatnya PengangguranÂ
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023 terdapat 9,89 juta atau sekitar 22,25% penduduk muda Indonesia berusia 15-24 tahun yang termasuk kategori NEET (Not in Employment, Education, or Training), yaitu tidak bekerja, tidak mengenyam pendidikan, maupun tidak mengikuti pelatihan. Meskipun angka ini telah menurun dibandingkan masa Pandemi COVID-19, persentase NEET di Indonesia masih lebih tinggi dari rata-rata global, yakni 21,6%. BPS mengidentifikasi beberapa penyebab tingginya angka NEET di kalangan muda, termasuk keterbatasan akses pendidikan, kendala finansial, kewajiban rumah tangga, dan disabilitas. Ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja dengan kebutuhan pasar kerja menjadi salah satu alesan kenapa hal ini bisa terjadi. Di era globalisasi dan digitalisasi, sumber daya manusia di Indonesia  tergolong dalam kategori low skill atau keterampilan rendah. Kondisi ini menjadi tantangan besar di tengah persaingan dunia kerja yang semakin kompetitif dan terus berkembang dengan tuntutan keterampilan yang lebih tinggi.
3. Maraknya Fenomena PHKÂ
Beberapa tahun terakhir sejumlah perusahaan melakukan penutupan operasi atau mengalami kebangkrutan, yang menyebabkan ribuan tenaga kerja harus mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut data, jumlah pekerja yang mengalami PHK di 34 provinsi cenderung meningkat. Pada tahun 2022, PHK mencapai 25.114 orang. Setahun kemudian, jumlah PHK meningkat drastis menjadi 359.858 orang. Pada periode Januari-Juni 2024 terdapat 32.064 orang tenaga kerja yang ter-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Tenaga kerja ter-PHK paling banyak terdapat di Provinsi DKI Jakarta yaitu sekitar 23,29 persen dari jumlah tenaga kerja ter-PHK yang dilaporkan.
4. Kemerosotan Kelas Menengah
Kelompok masyarakat kelas menengah yang sebelumnya stabil kini menghadapi tantangan serius, di mana banyak di antara mereka mengalami penurunan kelas sosial. Dari yang tadinya tergolong kelas menengah, mereka kini masuk ke dalam kategori menengah dan rentan miskin. Pendapatan yang tidak menentu dan tekanan biaya hidup yang terus meningkat menyebabkan fenomena ini terjadi, membahayakan kesejahteraan dan stabilitas ekonomi mereka
REKOMENDASI KEBIJAKAN