Mohon tunggu...
Aunurrofiq
Aunurrofiq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

What doesn't kill you make you stronger

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dari Songun ke Byungjin: Ambisi Militer Korea Utara dan Upaya Denuklirisasi

13 September 2024   02:17 Diperbarui: 13 September 2024   02:47 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini ketegangan di dunia internasional semakin meningkat lantaran pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, kian berambisi untuk meningkatkan kekuatan senjata nuklir mereka. Sejak tahun 2006, Korea Utara tercatat telah melakukan uji coba nuklir sebanyak 6 kali. Hal ini menjadi ancaman serius terhadap keamanan negara di kawasan terutama bagi Korea Selatan dan Jepang, sebagai sekutu dari musuh Korea Utara, AS. Lebih jauh lagi, jika perang nuklir benar-benar terjadi, akan ada lebih dari 150.000 diaspora Indonesia di Jepang dan Korea Selatan yang perlu dievakuasi oleh pemerintah Indonesia.

Jika kita menelisik lebih jauh terkait ambisi militer dan pengembangan senjata di Korea Utara, kita akan sampai pada masa awal pemerintahan Kim Jong-il. Pada 1995, ia merumuskan ideologi Songun Jeongchi atau "military-first" dan memasukkan ideologi tersebut ke dalam konstitusi Korea Utara melalui amandemen 1998 sebagai guideline dalam membuat kebijakan. Ideologi ini juga dinilai sebagai perkembangan dari ideologi Juche. Pada awalnya, ideologi ini sendiri menekankan pada penguatan tentara alih-alih pengembangan senjata. Namun, seiring berjalannya waktu, Korea Utara mulai mengembangkan gun-oriented philosophy sebagai basis ideologi Songun untuk mereformasi kekuatan militer.

Berangkat dari ideologi Songun ini, tidak heran saat Korea Utara mengakui bahwa mereka diam-diam sedang mengelola uranium untuk program pengembangan senjata nuklir pada tahun 2002. Pengakuan itu sekaligus melanggar beberapa perjanjian internasional terkait penggunaan nuklir dan Korea Utara secara resmi keluar dari Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT). Setelah wafatnya Kim Jong-il, tajuk kepemimpinan diambil alih oleh anaknya, Kim Jong-un, yang kemudian merumuskan ideologi Byungjin.

Saat Kim Jong-un diangkat menjadi pemimpin pada 2011, ia mengembangkan sebuah ideologi baru yang disebut Byungjin atau parallel development. Ideologi ini kemudian diperjelas pada sidang paripurna Partai Buruh tahun 2013 sebagai strategi yang menyeimbangkan antara perkembangan ekonomi dengan pembangunan senjata nuklir.

Ideologi Byungjin yang diperkenalkan Kim Jong-un tidak hanya memperkuat kebijakan nuklir Korea Utara, tetapi juga mengubah cara negara tersebut menempatkan senjata nuklir dalam strategi militernya. Sidang paripurna Partai Buruh pada 2013 menjadi titik di mana Korea Utara mengambil keputusan untuk terus mengembangkan senjata nuklir dan sistem peluncuran yang lebih kecil dan ringan secara berkesinambungan, sekaligus mengesahkan legalisasi kepemilikan nuklir secara permanen. Hal ini menandakan bahwa Korea Utara tidak lagi memandang nuklir semata-mata sebagai alat diplomasi atau bagian dari strategi deterensi (penangkal), tetapi sebagai komponen inti dari kekuatan militernya.

Lebih jauh lagi, Korea Utara tidak hanya memperluas arsenal nuklirnya dalam hal kuantitas, tetapi juga meningkatkan kualitasnya. Pengembangan taktik dan strategi operasional yang menempatkan senjata nuklir sebagai poros sentral semakin memperjelas ambisi Korea Utara untuk siap menggunakan kekuatan destruktif tersebut dalam menghadapi lawan-lawannya. Keputusan ini memunculkan skenario di mana senjata nuklir Korea Utara bukan lagi ancaman teoritis, melainkan sudah menjadi bagian dari postur militer aktif yang dapat diterapkan dalam konflik nyata, terutama dengan negara-negara tetangga seperti Korea Selatan dan Jepang.

Dalam sidang paripurna tersebut, Kim Jong-un juga mencoba menjustifikasi program nuklir Korea Utara dengan mengatakan itu sebagai balasan terhadap kebijakan Amerika Serikat yang dianggap merugikan. Pada saat yang sama, Korea Utara juga berbicara tentang keinginan mereka untuk mendukung denuklirisasi global, kenyataannya justru sebaliknya. Korea Utara terus memperkuat program nuklirnya dan mengklaim bahwa kepemilikan senjata nuklir adalah bagian permanen dari kebijakan mereka. Hal ini membuat janji-janji tentang perdamaian dunia terdengar seperti omong kosong.

Lantas apa yang dilakukan dunia internasional dalam upaya "menenangkan" Korea Utara dalam pengembangan senjata nuklir? Pada tahun 2018, AS sebenarnya telah melakukan negosiasi dengan Korea Utara dan Kim menyetujui penghancuran lokasi uji coba mesin rudal. Kemauan ini dinilai sebagai itikad baik dalam proses denuklirisasi sekaligus upaya reunifikasi. Akan tetapi, negosiasi tersebut gagal karena AS menolak usulan dari pihak Korea Utara dan tetap melanjutkan embargo. Hingga saat ini, belum ada lagi upaya dari negara lain dalam proses peredaan krisis nuklir di Korea. Di sisi lain, Korea Utara semakin menjauh dari upaya denuklirisasi dengan menolak negosiasi AS pada 2022, bahkan telah terjadi peningkatan tensi antar kedua Korea terutama terkait permasalahan reunifikasi Korea.

Melihat negosiasi yang selalu gagal, diperlukan negosiasi yang bersifat inklusif dan adil.  Diplomasi multilateral bisa menjadi kunci untuk meredakan ketegangan. Korea Utara dan AS beserta sekutu masing-masing negara  seperti China, Rusia, Jepang, dan Korea Selatan harus aktif dalam membangun dialog terbuka. Selain itu, strategi bertahap yang menawarkan insentif ekonomi sebagai imbalan atas pengurangan senjata nuklir Korea Utara bisa jadi solusi yang realistis, alih alih mengandalkan sanksi embargo ekonomi yang selalu menjadi ide mainstream. Langkah ini bisa menciptakan kepercayaan sekaligus mengurangi tekanan dari kedua belah pihak.

Di sisi lain, diperlukan juga mekanisme keamanan regional yang lebih kokoh untuk mencegah konflik tak terduga. Dialog antara Korea Utara dan negara-negara tetangganya harus difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral dan dipercaya. Selain itu, kesepakatan yang dihasilkan harus dipantau secara ketat oleh pengawas independen, untuk memastikan bahwa setiap langkah konkret dilakukan demi perdamaian yang berkelanjutan. Di luar itu semua, masih banyak tantangan dalam upaya perdamaian ini. Mengingat Korea Utara seringkali melanggar perjanjian yang sudah ada sehingga menurunkan kepercayaan masyarakat internasional.

Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun