Akhir-akhir ini kegelisahan masyarakat tentang begal semakin meningkat berbanding lurus dengan kasus yang semakin merebak. Para orangtua mewanti-wanti anak mereka untuk tidak pulang larut agar tidak terkena masalah, ini adalah hal yang menurutku sangat konyol. Iya, benar-benar konyol.
Mengapa harus melarang dan membatasi orang yang tidak bersalah? Harusnya para begal itu yang diburu sampai habis. Bukan kami yang dibiarkan untuk mengalah!
Bayangkan bila semua orang sudah berada di dalam rumah namun mereka masih menjadi manusia yang jahat, mereka pasti akan mulai memasuki rumah warga satu persatu. Lalu kalau sudah begitu masyarakat harus mengalah bagaimana lagi?
Berbekal pemikiran seperti itu aku mulai memberananikan diri untuk membereskan masalah ini sendiri. Aku sudah tak tahan lagi bila disuruh menunggu para petugas beraksi, selagi bengong dalam ketakutan, korban-korban pasti akan kembali berjatuhan.
Malam ini adalah waktunya. Aku sudah membawa ponsel dan pisau lipat kecil yang kuselipkan di saku celana. Tak lupa memakai masker dan topi. Setelah memastikan kedua orangtuaku sudah terlelap, aku pun segera meninggalkan rumah dengan perlahan. Jangan sampai ada seorangpun yang tau pergerakanku malam ini.
Tempat tujuan pertamaku adalah sebuah gudang lama yang sering digosipkan sebagai tempat berkumpulnya begal di malam hari. Aku menyelinap di balik pepohonan, mengintip ke arah satu bangunan dari gudang tersebut yang terdapat cahaya. Mereka pasti sudah berkumpul di sana. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar, aku mulai bergerak mendekat. Mengendap-endap tanpa suara.
Tangan kananku sudah merogoh saku dan mengeluarkan pisau lipat. Pokoknya, jika aku menemukan salah satu orang yang terlihat seperti begal sedang sendirian, akan kusikat tanpa basa-basi.
Nyatanya, semua rencana yang tertulis apik di otak tak dapat dieksekusikan dengan baik.
Aku mendengar sesuatu di belakang punggungku.Â
Ada yang mendekat.
Seketika aku menelan ludah. Nyaliku jadi ciut bahkan hanya sekedar untuk berbalik badan. Tapi jika aku tak melihatnya, ini bisa jadi berbahaya.
Kuputuskan untuk melakukan ini, berbalik badan sambil mengayunkan pisau. Jika orang itu adalah salah satu dari kawanan begal, maka itu adalah hal yang bagus. Kalau hanya orang biasa, aku tinggal meminta maat dan bertanggung jawab atas lukanya, aku cukup beralasan sedang dalam mode melindungi diri.
Sayangnya aku hanya memerkirakan dua kemungkinan, antara begal atau orang biasa.
Sungguh saat itu aku tak menyangka apa yang kulihat bukanlah sesuatu yang pernah kubayangkan sebelumnya.
Tanganku menembus sosok transparan berjubah putih itu.
Lalu yang kuingat terakhir kali adalah seringai lebar dan wajah berlumuran darah.
Keesokan paginya, aku terbangun. Rupanya aku ditemukan pingsan oleh Koh Candra, pemilik gudang lama yang malam itu tengah melihat-lihat gudangnya karena hendak dijual.
Aku tak pernah menceritakan pada siapapun alasan sebenarnya kenapa aku bisa ada di sana, kusimpan juga rapat-rapat trauma ini.
Jangan keluar larut malam.
Bagiku bukan perkara begal lagi.