Seketika aku menelan ludah. Nyaliku jadi ciut bahkan hanya sekedar untuk berbalik badan. Tapi jika aku tak melihatnya, ini bisa jadi berbahaya.
Kuputuskan untuk melakukan ini, berbalik badan sambil mengayunkan pisau. Jika orang itu adalah salah satu dari kawanan begal, maka itu adalah hal yang bagus. Kalau hanya orang biasa, aku tinggal meminta maat dan bertanggung jawab atas lukanya, aku cukup beralasan sedang dalam mode melindungi diri.
Sayangnya aku hanya memerkirakan dua kemungkinan, antara begal atau orang biasa.
Sungguh saat itu aku tak menyangka apa yang kulihat bukanlah sesuatu yang pernah kubayangkan sebelumnya.
Tanganku menembus sosok transparan berjubah putih itu.
Lalu yang kuingat terakhir kali adalah seringai lebar dan wajah berlumuran darah.
Keesokan paginya, aku terbangun. Rupanya aku ditemukan pingsan oleh Koh Candra, pemilik gudang lama yang malam itu tengah melihat-lihat gudangnya karena hendak dijual.
Aku tak pernah menceritakan pada siapapun alasan sebenarnya kenapa aku bisa ada di sana, kusimpan juga rapat-rapat trauma ini.
Jangan keluar larut malam.
Bagiku bukan perkara begal lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H